Katakanlah, buku yang diluncurkan oleh MUI, Mengenal dan Mewaspadai
Kesesatan Syi’ah di Indonesia[5], telah ditelanjangi
habis-habisan oleh buku Syi’ah Menurut Syi’ah.[6] Sampai detik ini -sampai Anda
membaca tulisan ini- belum terlihat batang hidung sanggahan dari
mereka yang sedang panik karena buku Hitam di Balik Putih. Memang tak bisa
dipungkiri, kehadiran buku ini adalah sebuah ultimatum telak bagi Syi’ah.
Begitu apik al-Ustadz memaparkan epistimologis periwayatan Syi’ah
sebagaimana beliau begitu lugas memaparkan epistimologis periwayatan Ahl
as-Sunnah.[7] Dengan balutan-balutan keotentikan sumber data yang
dimiliki, beliau begitu tegas dan aceg panceg dalam
membidik sasaran; tujuan dari isi buku tersebut, “menshahihkan” seluruh kitab
rujukan Syi’ah seperti; al-Kāfī, al-Istibshār,
dan Man Lā Yahdhuruh al-Faqih.
Maka, daripada itu sudah seyogyanya
kita mengikuti langkah beliau dalam berdiskusi dengan santun dan tidak lepas
dari keilmiahannya, serta yang paling penting tidak menyembunyikan data.
Telaah Buku : Syiah Menurut Syiah
Adapun fokus kita sekarang adalah buku Syi’ah Menurut Syi’ah, sebuah buku
hasil evolusi dari Buku Putih Madzhab Syi’ah. Konten yang ada hampir mirip,
persis, dan beda-beda tipis. Hanya saja edisi evolusi ini lebih 4C (calutak, campelak jeung caliweura plus culangung)
dibanding edisi sebelumnya. Hal ini dapat diidentifikasi dengan tiga modifikasi
umum buku tersebut; 1). Tidak seceroboh edisi sebelumnya dalam mengemukakan
pendapat dan menulis rujukan[8] 2). Mengadopsi pemikiran Barat hingga mengaburkan makna[2], dan 3). Gaya bahasa yang lebih elegan dibanding
sebelumnya, hingga fakta dan wacana adalah suatu hal yang tidak kentara.[3]
Okeh, siapkan mata, pemikiran, dan ketelitian Anda
sebelum membaca centre opinion ini. Cermati, kritisi,
dan tanggapi.[4]
“Pernyataan bahwa hanya Syiah moderat saja (tidak beraqidah Rafidhah)[5] yang riwayatnya dapat diterima oleh para ulama hadits, sama sekali tidak terbukti. Justru dalam banyak kasus, beberapa perawi Syiah yang dituduh sebagai Rafidhah muncul dan diterima keunggulannya sebagai perawi hadits yang terpercaya.” (Syiah Menurut Syiah : 2014, hal. 77).[6]
Sebelumnya, buku ini sudah membawakan data-data perawi Syi’ah yang diterima periwatannya oleh kalangan ahl as-Sunnah, bahkan Bukhari dan Muslim (hal. 73-76)[7]. Hal ini dibuktikan dengan referensi yang mereka berikan dari kitab-kitab rijal yang dimiliki oleh ahl as-Sunnah.[8] Kemudian pendapat-pendapat yang mereka ajukan tak tanggung-tanggung bersumber dari para tokoh ahl as-Sunnah seperti; Ibn al-Jauzi[9], Ibnu Hajar[10] bahkan Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah[11].
Kemudian di antara sederet rawi yang tercantum di dalam Bukhari dan Muslim ialah;
1. Abbad bin Ya’qub Al-Asadi[12] 2. Adi bin Tsabit al-Anshari al-Kufi[13] 3. Abdullah bin Abd al-Quddus[14] 4. Yahya bin al-Jazzar al-‘Urani[15] 5. Sulaiman bin Qarm[16] 6. Ubaidullah bin Musa al-Abusi[17].
Nama-nama di atas bukan hanya sekedar isapan jempol belaka. Komentar para ulama hadits pun begitu menerima akan periwayatan mereka. Ibnu Hajar al-‘Asqalaaniy berkata, “Abbad bin Ya’qub al-Rawajini ...jujur, seorang Rafidhi, yang hadisnya terdapat dalam Bukhari.” (Taqrieb at-Tahdzieb, h. 483-4).[18]
Yahya bin al-Jazzar al-‘Urani menurut Imam adz-Dzahabi, “Yahya bin al-Jazzar meriwayatkan dari Ali. Dia seorang yang jujur lagi terpercaya. Al-Hakam bin ‘Utaibah mengatakan bahwa dia seorang Rafidhah.” (Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal, juz 7, h. 166).[19]
Ubaidillah bin Musa
al-Abusi, masih menurut adz-Dzahabi, “Ubaidullah bin Musa bin Abul Mukhtar,
seorang imam, hafiz, ahli ibadah, gelarnya Abu Muhammad al-‘Abusi, tuannya
orang Kufah. Beliau adalah ahli ibadah yang saleh, pemberani, berakhlaq mulia
namun Syiah yang malang. Karena dia mempelajarinya dari penduduk yang berpegang
pada bid’ah.” (Siyaru A’lam an-Nubala’, juz 9 h. 553-7).[20]
Itulah beberapa rawi yang memiliki kredibilitas di dalam meriwayatkan hadits. Lalu mengapa MUI menyatakan hal yang demikian? Apakah MUI hanya asal comot? Jadi bagaimanakah institusi yang seharusnya memberi teladan kepada umat Islam Indonesia malah mengajarkan teror pada masyarakat? Daripada meresahkan, kenapa tidak sebaiknya MUI ini dibubarkan saja?[21]
Selanjutnya Nashibi. Apa
itu Nashibi[22]?
وكان
مما يزيد في شنآنه تشيعه لامراء بني أمية ماضيهم وباقيهم، واعتقاده لصحة
إمامتهم، حتى لنسب إلى النصب
Adapun sesuatu yang menambah keburukannya adalah loyalitas Ibnu Hazm kepada pembesar Bani Umayyah, dari awal hingga akhir. Dan keyakinan-nya bahwa kepemimpinan mereka itu sah, karena itu, Ibnu Hazm dituduh sebagai Nashibi. (Syi’ah Menurut Syi’ah, hal. 93/Siyaru A’lam an-Nubalaa’, juz 18 hal. 201).[23]
Bila orang yang terlalu berlebihan cintanya kepada Ali radhiya-Llahu ‘anhu dinamakan sebagai Rafidhah, sebaliknya orang yang membencinya adalah Nashibi. Kemudian setelahnya, Tim Ahl al-Bait Indonesia mengkritik habis-habisan Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah, terutama kitab beliau, Minhaj as-Sunnah. Di sana beliau dituduh sebagai Nashibi, karena telah mencaci Ali. Maka, pantaskah seorang yang dijadikan sebagai teladan oleh Ahl as-Sunnah memberi contoh yang buruk pada para pengikutnya. Orang yang hanya bisa mencaci, sebenarnya tidak mengetahui apa yang harus ia lakukan pada dirinya sendiri.[24]
Di bawah ini beberapa
cuplikan pendapat Ibnu Taimiyyah yang menjadi pemicu perselisihan antar umat
Islam (Syi’ah di antaranya) :
Kondisi politik lebih
tertata pada masa kepemimpinan Muawiyah daripada masa Ali, karena itu, wajib
menganggap para pejabat Muawiyah lebih baik daripada para pejabat Ali. (Minhaj as-Sunnah, juz 5 hal. 466).[25]
Seandainya dibolehkan
bagi Rafidhi untuk mengatakan, sesungguhnya ini (Muawiyah) adalah orang yang
mencari kejayaan serta kedudukan, maka Nashibi juga boleh mengatakan Ali adlaah
orang yang zalim, yang mencari kekayaan dan kedudukan, Ali berperang untuk
meraih kekuasaan, sehingga orang Islam berperang satu sama lain, sementara dia
belum pernah membunuh orang kafir, dan sepanjang kekuasaannya tidak membawa
keberhasilan apa pun bagi muslimin kecuali keburukan dan fitnah yang dalam
agama dan dunia mereka[26]. (Minhaj as-Sunnah, juz
2 hal. 60).[27]
Jadi apa salah Syi’ah
bila mereka ingin membela Ahl al-Bait[28], yang sudah
tentu dalilnya ketimbang dengan Muawiyah yang baru saja masuk Islam? Apalagi
dulu ia bersama dengan ayahnya, Abu Sufyan bin Harb[29],
sering menyakiti bahkan memerangi Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam.
Ada beberapa hal yang
sangat diinginkan ‘Umar radhiya-Llahu ‘anhu yang dimiliki oleh Ali. Di
antaranya; menjadi panglima saat perang khaibar dan menikahi putri Rasulullah,
Fathimah az-Zahra radhiya-Llahu ‘anha.
Untuk masalah Khaibar,
bukan karena ingin dipuji orang atau mendapat kehormatan, tapi karena kriteria
yang disebutkan adalah bahwa panglima tersebut itu mencintai Allah dan Allah
pun mencintainya.[30] Maka, tak ada kata cinta
bertepuk sebelah tangan. (lihat; Pupus, Kasih Tak Sampai).
Lalu, menikahi putri
Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam adalah hal yang paling membahagiakan
dan menentramkan. Menikahi putri seorang mama ajengan saja (contoh; Dewi
Mandala Wangi) sudah bahagia, apalagi menikahi putri dari seorang yang paling
mulia di muka bumi ini. Padahal Ali saat itu adalah seorang pemuda yang tidak
memiliki apa-apa. Ia hanya memberikan mahar sebuah baju besi pada Fathimah[31]. Namun, dengan ketulusan seorang istri shalihah
pernikahan barakah itu pun terjadi. Pernah ada sebuah riwayat yang menyebutkan
bahwa Fathimah pernah menyukai seorang laki-laki ketika kecil-nya hingga
membuat Ali cemburu. Tapi ternyata laki-laki itu adalah orang yang semasa kecil
senantiasa bermain dengan Fathimah, berada dalam satu didikan yang sama,
didikan seorang nabi, Ali radhiya-Llahu ‘anhu. So sweet.
Namun, di samping hal itu
Ali pun pernah melakukan kesalahan-kesalahan, di antaranya; pernah membangkang
saat disuruh bangun untuk tahajud oleh Rasul dan menyepelekan Aisyah di hadapan
Rasul.
Rasulullah shalla-Llahu
‘alaihi wa sallam pernah membangunkan Ali sekeluarga, namun ia menolak dengan
dalih, “teu dihudangkeun gé ké hudang sorangan.”[32] Hingga
turunlah ayat bahwa manusia adalah yang paling banyak perdebatannya. Kemudian
Ali pun pernah mengatakan sesuatu yang tidak pantas di hadapan Nabi, meski
memang maksud Ali adalah bercanda untuk menghibur Nabi, tapi tong dianggap
heureuy. Hal itu terjadi saat kejadian yang sangat kontroversial, hadits
al-Ifki, dengan tenangnya ia mengatakan, “Wanita selainnya masih banyak.”[33] Sakit rasanya hati wanita bila mendengar hal
itu, seolah wanita adalah pakaian yang bila telah usang bisa diganti dengan
yang baru. Habis manis sepah dibuang.
Jalaluddin as-Suyuuthi
dalam kitabnya, Tarikh al-Khulafa’[34], menuliskan
sebuah hadits yang cukup dijadikan pegangan bagi sikap kita terhadap sahabat
yang satu ini. Yang sepantasnya kita bersikap seimbang dalam menyikapinya.[35]
Rasulullah
shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam pernah memanggil Ali radhiya-Llahu ‘anhu,
kemudian beliau bersabda, “Wahai Ali! Sesungguhnya pada dirimu ada perumpamaan
sebagaimana Isa, yang dibenci oleh orang-orang Yahudi hingga menuduh ibunya
(pelacur). Dan yang dicintai oleh orang-orang Nashrani hingga menempatkannya
pada tempat yang tidak pantas baginya (menjadi tuhan/anak tuhan). [H.R. al-Bazzar, Abu Ya’la dan al-Hakim].[36]
By:
Hayatul Fauji S.Hum
[1] Diterbitkan oleh : al-Qalam.
[2] Cetakan IV, Desember 2012. Buku yang mendapat Kata
Pengantar dari Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M.A., di mana dalam kata pengantar
tersebut mencoba untuk menetralkan ketegangan antara dua belah pihak (Sunni dan
Syi’i), sebuah pembelaan pada Syi’ah dengan alasan “Kesalahpahaman.”
[3] Referensi
beliau dalam buku tersebut lebih didominasi oleh literatur-literatur Syi’ah.
Hingga menurut beliau, ada sekitar lima ribu koleksi kitab Syi’ah yang beliau
miliki.
[4] Secara lebih gamblang beliau menjelaskannya pada saat
bedah buku yang diadakan oleh IPP-IPPi Kota Bandung di Masjid al-Fitrah
Bandung. Meski tak terasa seperti bedah buku pada umumnya, karena yang dibahas
adalah motif dari penulisan dan luka-liku penulisan buku tersebut.
[5] Tim Penulis MUI
Pusat 2013, diterbitkan oleh: Gema Insani : Depok.
[6] Sebagian isinya mencela MUI
dengan diluncurkannya buku Mengenal dan Mewaspadai Kesesatan Syi’ah di
Indonesia
[7] Mun ceuk urang
Sunda mah, “Melepah gedang.”
[1] Seperti
tidak menyertakan cetakan dan terbitan mana? Kemudian bagaimana redaksi asli
hadits tersebut. Dan biasanya mereka mengutip pada kitab-kitab yang jarang
sekali dijadikan rujukan. Seperti; Kanz al-‘Ummal, Dzakhaair al-‘Uqba,
ar-Riyaadh an-Naadhirah, al-Muraaja’aat, Nuur al-Abshaar dan ash-Shawaaiq
al-Muhriqah. Hal ini dapat ditemukan pada lampiran pertama mengenai keutamaan
Ali; Ali dalam kacamata hadits, hal. 129-146. Tak sedikit ditemukan
hadits-hadits maudhu’ apalagi dha’if. Seperti, hadits: Wahai Ali sesungguhnya
engkau adalah saudaraku di dunia dan akhirat. (Silsilah al-Ahaadits
adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah : 1/526). Inilah di antara redaksi asli yang
berhasil diketemukan dengan menggunakan bantuan Maktabah Syamilah, silahkan
takhrij sendiri haditsnya;
36446 - عن عمرو بن العاص قال : لما
قدمت من غزوة ذات السلاسل - وكنت أظن أن ليس أحد أحب إلى رسول الله صلى الله عليه
و سلم مني - فقلت : يا رسول الله أي الناس أحب إليك ؟ قال : عائشة قال : إني لست
أسالك عن النساء قال : أبوها إذن قلت : فأي الناس أحب إليك بعد أبي بكر ؟ قال :
حفصة قلت : لست أسألك عن النساء قال : أبوها إذن قلت : يا رسول الله فأين علي ؟
فالتفت إلى أصحابه فقال : إن هذا يسألني عن النفس
ابن النجار
Kanz
al-‘Ummal : 13/123
-وعن جابر بن عبد الله قال: بعث رسول الله
صلى الله عليه وسلم الوليد بن عقبة إلى بني وليعة وكان بينهم شحناء في الجاهلية
فلما بلغ بني وليعة استقبلوه لينظروا ما في نفسه فخشي القوم فرجع إلى رسول الله
صلى
الله عليه وسلم فقال: إن بني وليعة
أرادوا قتلي ومنعوني الصدقة فلما بلغ بني وليعة الذي قال الوليد عند رسول الله صلى
الله عليه وسلم أتوا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالوا: يا رسول الله لقد كذب
الوليد ولكن كان بيننا وبينه شحناء فخشينا أن يعاقبنا بالذي كان بيننا. فقال رسول
الله صلى الله عليه وسلم:
"لينتهين بني وليعة أو لأبعثن إليهم
رجلاً كنفسي يقتل مقاتلتهم ويسبي ذراريهم وهو هذا". ثم ضرب بيده على كتف علي
بن أبي طالب رضي الله عنه قال: وأنزل الله في الوليد: {يا أيها الذين آمنوا إن
جاءكم فاسق بنبأ} الآية.
%رواه الطبراني في الأوسط وفيه عبد الله بن
عبد القدوس التميمي وقد ضعفه الجمهور ووثقه ابن حبان،وبقية رجاله ثقات. ص.241
Majma’
az-Zawaaid : 7/14
يا علي أنت أخي في الدنيا والآخرة (
موضوع )
Silsilah
al-Ahaadits adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah : X/526
وعن ابن عباس رضى الله عنهما قال سمعت
رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول (يا على طوبى لمن أحبك وصدق فيك وويل لمن أبغضك
وكذب فيك) أخرجه الحسن بن عرفة العبدى (ذكر لعنة الله والنبى صلى الله عليه وسلم
على من ابغضه) عن أنس بن مالك قال صعد رسول الله صلى الله عليه وآله المنبر فذكر
قولا كثيرا ثم قال أين على بن أبى طالب فوثب إليه فقال ها أنا ذا يا رسول الله
فضمه إلى صدره وقبل بين عينيه وقال بأعلى صوته معاشر المسلمين هذا أخى وابن عمى
وختنى هذا لحمى ودمى وشعرى هذا أبو السبطين الحسن والحسين سيدى شباب أهل الجنه هذا
مفرج الكروب عنى هذا أسد الله وسيفه في أرضه على أعدائه على مبغضه لعنة الله ولعنة
اللاعنين والله منه برئ وأنا منه برئ فمن أحب أن يبرأ من الله ومنى فليبرأ من على
وليبلغ الشاهد الغائب ثم قال اجلس يا على قد عرف الله لك ذلك أخرجه أبو سعيد في شريف
النبوة.
Dzakhaair
al-‘Uqba : 1/92
12914 - عن ابن عمر قال : سمعت رسول
الله صلى الله عليه و سلم يقول في حجة الوداع وهو على ناقته فضرب على منكب علي وهو
يقول : اللهم اشهد اللهم قد بلغت هذا أخي وابن عمي وصهري وأبو ولدي اللهم كب من
عاداه في النار
( ابن النجار ) وفيه إسماعيل بن
يحيى
Kanz
al-‘Ummal :5/423
32943 - أنا وعلي من شجرة واحدة والناس
من أشجار شتى
( الديلمي - عن جابر )
Kanz
al-‘Ummal : 11/907
وعن أسماء بنت عميس قالت: سمعت رسول
الله صلى الله عليه وسلم يقول: اللهم إني أقول - كما قال أخي موسى - اللهم اجعل لي
وزيراً من أهلي أخي علياً اشدد به أزري وأشركه في أمري كي نسبحك كثيراً ونذكرك
كثيراً إنك كنت بنا بصراً.
Ar-Riyaadh an-Nadhrah fi manaaqib
al-‘Asyrah : 1/247
[2] Seperti pengertian mengenai iman yang sangat
membingungkan, hingga makna iman seolah kabur dari kemestiannya. Sebagai
contoh, mari kita simak cuplikannya (hal. 29) :
Agama sebagai
wahyu yang disampaikan Allah Swt kepada Rasul-Nya akan tetap terjaga dalam
altar kesucian dan tidak akan tersentuh dengan apapun yang tidak suci (Q.S.
al-Waaqi’ah : 79). Wahyu ketika disampaikan oleh Rasulullah Saw tetaplah suci,
karena ia manusia suci (Q.S. an-Najm : 3-4). Kemudian wahyu tersebut setelah
diinterpretasikan oleh manusia yang tidak suci, ia bukan lagi menjadi wahyu
yang suci, teteapi telah menjadi persepsi.
apa yang selama ini dipahami sebagai agama oleh manusia sesungguhnya hanyalah interpretasi wahyu. Pemahaman tersebut tidak dapat disebut agama melainkan mazhab. Konsekuensinya, mazhab tersebut tidak dapat dimutlakkan sebagaimana wahyu. Intoleransi sesungguhnya dilatarbelakangi oleh ketidakmampuan membeddakan antara agama yang mutlak dan suci dnegan agama relatif (mazhab).
apa yang selama ini dipahami sebagai agama oleh manusia sesungguhnya hanyalah interpretasi wahyu. Pemahaman tersebut tidak dapat disebut agama melainkan mazhab. Konsekuensinya, mazhab tersebut tidak dapat dimutlakkan sebagaimana wahyu. Intoleransi sesungguhnya dilatarbelakangi oleh ketidakmampuan membeddakan antara agama yang mutlak dan suci dnegan agama relatif (mazhab).
Tentu kerelatifan
agama dalam konteks persepsi tidaklah meniscayakan hilangnya kepatuhan dan
keterikatan penganut kepada agamanya karena setiap agama berdiri di atas
prinsip-prinsip logis dan aksiomatis.
Sangat kentalkan
unsur relativisme/desakralisasi-nya?
[3] Contoh : Hadits :
لا تسبوا أصحابي ((janganlah kalian mencela
sahabat-sahabatku
Mereka mengaburkan makna hadits tersebut dengan analogi
yang terlampau kacau, hingga akhirnya kedudukan hadits tersebut menjadi
dha’if. Seperti
yang tertera pada hal. 152-153, sebagai berikut; Siapakah yang menjadi lawan
bicara (mukhathab) Nabi Saw dalam hadits tersebut? Jika yang diajak bicara Nabi
Saw adalah sahabat, maka mestinya redaksi hadits Nabi Saw berbunyi, “Janganlah
kalian saling mencaci!” jika tidak, konsekuensinya adalah lawan bicara hadits
tersebut bukanlah generasi sahabat. Jika lawan bicara Nabi bukan generasi
sahabat, konsekuensinya Nabi Saw berbicara dengan selain sahabat. Jika
Nabi bukan berbicara dengan selain sahabat, konsekuensinya hadits ini tidak
diriwayatkan oleh sahabat. Jika tidak diriwayatkan oleh sahabat, maka hadits
ini tidak ada.
Begitu
mudahnya mereka meniadakan hadits yang telah diriwayatkan oleh : Imam
al-Bukhari di dalam Kitab Fadhaail ash-Shahaabah Bab Lau Kuntu Muttakhidzan Khalielan.
Imam Muslim di dalam Kitab Fadhaail ash-Shahaabah radhiya-Llahu ta’ala ‘anhum
Bab Tahriemi Sabb ash-Shahaabah. Imam Abu Daud di dalam Kitab as-Sunnah Bab fi
an-Nahyi ‘an Sabbi Ashhaab ar-Rasulillah. Imam at-Tirmidzi di dalam Kitab
al-Manaaqib Bab fieman Sabba Ashhaab an-Nabiyyi. Dan masih banyak lagi,
seperti; Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Hibban, al-Baihaqiy, Abu Daud as-Sijistaniy,
an-Nasaaiy, ath-Thabraniy dll.
Kemudian
masalah analogi tadi yang tidak berdasar dan terlalu mengada-ada, Ibnu Hajar di
dalam Fath al-Bari (Juz X, hal. 468 versi Maktabah Syamilah) menerangkan
sebagai berikut :
بِأَنَّ الْمُرَاد بِقَوْلِهِ أَوَّلًا "
أَصْحَابِي " أَصْحَاب مَخْصُوصُونَ ، وَإِلَّا فَالْخِطَاب كَانَ
لِلصَّحَابَةِ ، وَقَدْ قَالَ " لَوْ أَنَّ أَحَدكُمْ أَنْفَقَ "
وَهَذَا كَقَوْلِهِ تَعَالَى : ( لَا يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْل
الْفَتْح وَقَاتَلَ ) الْآيَة ، وَمَعَ ذَلِكَ فَنَهْي بَعْض مَنْ أَدْرَكَ
النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخَاطَبَهُ بِذَلِكَ عَنْ سَبّ مَنْ
سَبَقَهُ يَقْتَضِي زَجْر مَنْ لَمْ يُدْرِك النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَلَمْ يُخَاطِبهُ عَنْ سَبّ مَنْ سَبَقَهُ مِنْ بَاب الْأَوْلَى
Bahwasanya yang dimaksud dengan sabda beliau, “Sahabat-sahabatku” ialah sahabat-sahabat tertentu (seperti dalam riwayat lain disebutkan bahwa Sabab al-Wurud hadits ini ialah Khalid bin Walid yang mencaci Abdurrhman bin ‘Auf, pent.). Jika tidak maka khithab tersebut berlaku pada seluruh sahabat. Dan sungguh beliau bersabda, “Kalau sekiranya salah seorang di antara kalian berinfaq.” Ini serupa dengan firman Allah, “Tidaklah sama orang yang berinfaq dari kalian dibanding sebelum fathu Makkah dan berperang.” (Q.S. al-Hadied : 10). Dengan demikian, maka larangan itu terhadap sebagian orang yang bertemu dengan Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau berkhithab dengan menggunakan kalimat itu (Laa Tasubbuu Ashhaabiy) tentang orang yang mendahului mereka (dalam keimanan, seperti as-saabiquuna al-Awwaluun) menetapkan pula larangan bagi orang yang tidak bertemu dengan Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam meski beliau tidak berkhithab (mengajak bicara mereka) tentang mencela orang-orang yang mendahului mereka adalah sesuatu yang terlebih lagi.
[4] Siapkan pula catatan dan keseriusan Anda dalam meneliti.
Jangan hanya ingin menerima masaknya saja. Jangan hanya menjadi muqallid,
minimal muttabi’.
[5] Yang
dimaksud di sini ialah Syi’ah Zaidiyyah, di mana Syi’ah Zaidiyyah adalah Syi’ah
Ali yang tidak mengkafirkan sahabat, hanya saja lebih mengunggulkan Ali
radhiya-Llahu ‘anhu dibanding sahabat-sahabat yang lainnya. Hal ini terjadi
bukan tanpa alasan, mereka berijtihad dengan dalil-dalil yang shahih tentang
keutamaan Ali, yang sudah mahsyur di kalangan kaum muslimin. Seperti; Ali
adalah orang yang menjadi panglima Khaibar, anak paman Rasulullah yang dulu
mengurus beliau, menantu beliau, orang yang menggantikan beliau saat hijrah dan
lain sebagainya. Tapi, secara umum kaum muslimin memberikan ranking pada
sahabat yang empat; yang jadi ranking satu; Abu Bakar, ranking dua; ‘Umar,
ranking tiga; ‘Utsman dan ranking empat; Ali.
Sedangkan Rafidhah ialah : orang yang meninggalkan.
Sebagaimana Ibnu Hajar memberikan sebuah penafsiran tentang hadits ‘Aisyah yang
harus meninggalkan ‘Umrahnya karena mengalami haidh dengan perintah
beliau قوله ارفضي عمرتك أي اتركي sabda beliau, “Urfudhiy ‘umrataki” artinya ialah
tinggalkanlah umrahmu. (Hady as-Saariy, Muqaddimah Fath al-Baariy hal. 164,
cet. Daar al-Hadiets).
Lalu kenapa, Rafidhah yang berarti orang yang
meninggalkan dinisbahkan kepada orang yang membenci dan mengkafirkan Ali?
Jawabannya ada pada sejarah awal mula penisbahan Rafidhah dan Syi’ah Zaidiyyah
yang terekam oleh Ibnu Katsier di dalam kitabnya, al-Bidaayah wa an-Nihaayah
Juz IX, hal. 361. Sebagai berikut :
ثم دخلت سنة ثنتين وعشرين ومائة ففيها
كان مقتل زيد بن علي بن الحسين بن علي بن أبي طالب، وكان سبب ذلك أنه لما أخذ
البيعة ممن بايعه من أهل الكوفة، أمرهم في أول هذه السنة بالخروج والتأهب له،
فشرعوا في أخذ الاهبة لذلك.
فانطلق رجل يقال له سليمان بن سراقة إلى
يوسف بن عمر نائب العراق فأخبره - وهو بالحيرة يومئذ - خبر زيد بن علي هذا ومن معه
من أهل الكوفة، فبعث يوسف بن عمر يتطلبه ويلح في طلبه، فلما علمت الشيعة ذلك
اجتمعو عند زيد بن علي فقالوا له: ما قولك يرحمك الله في أبي بكر وعمر ؟ فقال: غفر
الله لهما، ما سمعت أحدا من أهل بيتي تبرأ منهما، وأنا لا أقول فيها إلا خيرا،
قالوا: فلم تطلب إذا بدم أهل البيت ؟ فقال: إنا كنا أحق الناس بهذا الامر، ولكن
القوم استأثروا علينا به ودفعونا عنه، ولم يبلغ ذلك عندنا بهم كفرا، قد ولوا
فعدلوا، وعملوا بالكتاب والسنة.
قالوا: فلم تقاتل هؤلاء إذا ؟ قال: إن
هؤلاء ليسوا كأولئك، إن هؤلاء ظلموا الناس وظلموا أنفسهم، وإني أدعو إلى كتاب الله
وسنة نبيه (صلى الله عليه وسلم)، وإحياء السنن وإماتة البدع، فإن تسمعوا يكن خيرا
لكم ولي، وإن تابوا فلست عليكم بوكيل.
فرفضوه وانصرفوا عنه ونقضوا بيعته
وتركوه، فلهذا سموا الرافضة من يومئذ، ومن تابعه من الناس على قوله سموا الزيدية،
وغالب أهل الكوفة منهم رافضة، وغالب أهل مكة إلى اليوم على مذهب الزيدية، وفي
مذهبم حق، وهو تعديل الشيخين، وباطل وهو اعتقاد تقديم علي عليهما، وليس علي مقدما
عليهما، بل ولا عثمان على أصح قولي أهل السنة الثابتة، والآثار الصحيحة الثابتة عن
الصحابة، وقد ذكرنا ذلك في سيرة أبي بكر وعمر فيما تقدم.
Intinya (moal diterjemahkeun panjang teuing) pada
penuturan Ibnu Katsier itu dapat disimpulkan bahwa Zaid bin Ali (salah satu
Imam Syi’ah) ini ditanya oleh segolongan Syi’ah bagaimanakah komentar beliau
mengenai Abu Bakar dan ‘Umar? Maka dijawab, “semoga Allah mengampuni mereka
berdua dan tidaklah aku mendengar satu pun dari Ahli Baitku berlepas diri dari
mereka berdua (mengkafirkan, pent.) dan tidaklah aku berkata mengenai mereka
kecuali kebaikan.” Maka segolongan Syi’ah tersebut meninggalkan Zaid bin Ali.
Mulai saat itulah dikenal-lah Rafidhah yang meninggalkan Zaid bin Ali karena
membela Abu Bakar dan Umar serta para sahabat yang lainnya, karena golongan
Syi’ah tersebut membenci para sahabat terutama Abu Bakar dan ‘Umar, maka
terkenallah mereka dengan sebutan Rafidhah. Sedangkan pengikut Zaid bin Ali
yang menghidupkan sunnah dan mematikan bid’ah. Maka di antara ulama yang
beraliran Zaidiyyah cenderung lebih moderat, seperti asy-Syaukaaniy dan
ash-Shan’aaniy. Yang jadi fokus kita hari ini ialah membahas Syi’ah
Imamiyyah/Itsna ‘Asyariyyah, karena Syi’ah Zaidiyyah sebagaimana yang
diungkapkan oleh al-Ustadz Amin ini sulit untuk dilacak peredarannya yang
semakin langka. Kemudian selanjutnya bisa dilihat di dalam Minhaj as-Sunnah Juz
2/50, disebutkan sebagai berikut :
وإنما سموا رافضة وصاروا رافضة لما خرج
زيد بن علي بن الحسين بالكوفة في خلافة هشام فسألته الشيعة عن أبي بكر وعمر فترحم
عليهما فرفضه قوم فقال رفضتموني رفضتموني فسموا رافضة وتولاه قوم زيدية لانتسابهم
إليه ومن حينئذ انقسمت الشيعة إلى رافضة إمامية وزيدية وكلما زادوا في البدعة
زادوا في الشر فالزيدية خير من الرافضة أعلم وأصدق وأزهد وأشجع
Cat. : bila dicermati secara seksama, ternyata istilah
ini bukan lahir dari kalangan “Sunni”, tapi dari Imam mereka sendiri. Maka
begitu aneh ketika mereka menulis pada hal. 164-165, sebagai berikut :
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah darimanakah tuduhan
itu berasal? Jika dikatakan berasal dari ulama salaf, maka ulama salaf manakah
yang dimaksud? Jika hanya mengatasnamakan sebuah nama tanpa dilandasi sebuah
bukti yang nyata, maka perbuatan tersebut tidak lebih sebagai bentuk fitnah
semata.
Jelaskan kepura-puraan mereka? terlebih sebelumnya mereka
mengutip pendapat Ibnu Hajar al-‘Asqalaaniy yang terlacak di dalam Hadyu
as-Saariy cetakan Daar el-Hadits hal. 613 atau versi Maktabah Syamilah hal.
460, sebagai berikut :
والتشيع محبة على وتقديمه على الصحابة فمن
قدمه على أبي بكر وعمر فهو غال في تشيعه ويطلق عليه رافضي
Orang Syi’ah ialah yang mencintai Ali dan mendahulukannya
atas sahabat yang lain maka siapa yang mendahulukan Ali di atas Abu Bakar dan
‘Umar (tanpa mencaci apalagi mengkafirkan, pent.), maka ia itu berlebihan dalam
kesyi’ahannya dan disebut pula sebagai Rafidhah ...
Tapi justru mereka tidak melanjutkan redaksi tersebut
secara utuh, yang seharusnya :
والتشيع محبة على وتقديمه على الصحابة
فمن قدمه على أبي بكر وعمر فهو غال في تشيعه ويطلق عليه رافضي وإلا فشيعي إن فإن
انضاف إلى ذلك السب أو التصريح بالبغض فغال في الرفض
... (kelanjutan
yang tadi) dan disebut pula Rafidhah, tapi bila tidak, bisa Syi’ah
saja. Karena penyandaran sebutan itu (Rafidhah) adalah sebuah celaan atau
penegasan akan kebencian (terhadap para sahabat). Maka ia itu berlebihan dalam
ke-Rafidhahannya.
Jadi, Rafidhah pun ada tingkatan-tingkatannya. Ada Syi’ah
yang mendahulukan Ali dari yang lainnya maka disebut Syi’ah
(Ghulat/berlebihan)/bisa juga disebut Rafidhah (ringan)/Syi’ah saja. Dan yang
secara terang-terangan menunjukkan kebencian disebut Rafidhah/Rafidhah yang
Ghulat/keur mah Rafidhah, Ghulat deuih. Mereka ingin mengaburkan makna
dengan memotong redaksi definisi agar tidak ada perbedaan antara Rafidhah dan
Syi’ah secara umum (Zaidiyyah di antaranya). Hal ini dalam rangka membantah
buku MUI, yang membuat mereka gatal untuk berlaku jahil pada sumber-sumber
data.
[6] Statement
ini adalah sebagai bantahan kepada MUI, yang katanya menulis di dalam bukunya,
sebagai berikut;
Syiah moderat (yang tidak beraqidah
Rafidhah) riwayatnya dapat diterima oleh para ulama hadits, tapi tidak demikian
hanya jika seorang perawi hadits tergolong Syi’ah Rafidhah yang menolak,
mencaci dan mengafirkan Abu Bakar dan Umar serta mendakwakan ajaran itu, pasti
ditolak periwayatnya. (h. 77) namun, di dalam footnote buku tersebut
disebutkan pernyataan tersebut terdapat pada buku MUI di h. 35, dan saya tidak menemukan
pernyataan tersebut benar ada di h. 35.,tapi ada di h. 31.
[7] Disebutkan sampai
seratus rawi. Masing-masing memiliki kredibelitas yang bervariatif, mulai dari
yang paling tsiqah hingga majhul dan matruk pun ada. Yang mungkin dalam
kesempatan kali ini tidak bisa dibahas satu persatu, kecuali enam rawi yang
disebutkan katanya ada di dalam riwayat Bukhari dan Muslim.
[8] Seperti; Mizan al-I’tidaal dan Siyaru A’laam an-Nubalaa karya
adz-Dzahabiy, Tahdzieb al-Kamaal karya al-Mizziy, Taqrieb at-Tahdzieb karya
Ibnu Hajar al-‘Asqalaaniy dan masih banyak lagi.
[9] Jamaaluddin Abi
al-Faraj ibn al-Jauziy al-Qurasyi al-Bakriy al-Hanbaliy. Dilahirkan pada
bulan Dzul Qa’dah tahun 580 H.
[10] Abu al-Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali
al-‘Asqalaaniy asy-Syaahir bi-Ibni Hajar. 773-852 H.
[11] Taqiyuddin Abu
al-Abbas Ahmad bin Abdil Halim bin Taimiyyah. Yang lebih dikenal dengan Syaikh
al-Islam Ibnu Taimiyyah. Meski jangan sampai tertukar dengan kakeknya
(Majduddin Ibnu Taimiyyah) dan paman kakeknya (Fakhruddin Ibnu Taimiyyah).
[12] الاسم : عباد بن يعقوب الأسدى الرواجنى ،
أبو سعيد الكوفى ، الشيعى
الطبقة : 10
: كبارالآخذين عن تبع الأتباع
الوفاة :
250 هـ
روى له : خ
ت ق ( البخاري - الترمذي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر
: صدوق رافضى
رتبته عند الذهبي
: وثقه أبو حاتم ، شيعى جلد
Adapun
hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, yang terdapat ‘Abbad bin Ya’qub
ar-Rawaajiniy, ialah :
حَدَّثَنِى
سُلَيْمَانُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنِ الْوَلِيدِ . وَحَدَّثَنِى عَبَّادُ
بْنُ يَعْقُوبَ الأَسَدِىُّ أَخْبَرَنَا عَبَّادُ بْنُ الْعَوَّامِ عَنِ
الشَّيْبَانِىِّ عَنِ الْوَلِيدِ بْنِ الْعَيْزَارِ عَنْ أَبِى عَمْرٍو
الشَّيْبَانِىِّ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ - رضى الله عنه - أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ
النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - أَىُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ « الصَّلاَةُ
لِوَقْتِهَا ، وَبِرُّ الْوَالِدَيْنِ ، ثُمَّ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ »
.
(Kitab at-Tauhid
Bab wa samma an-Nabiyyu ash-Shalaata ‘amalan)
[13] الاسم : عدى
بن ثابت الأنصارى الكوفى ( ابن بنت عبد الله بن يزيد الخطمى )
الطبقة :
4 : طبقة تلى الوسطى من التابعين
الوفاة :
116 هـ
روى له : خ
م د ت س ق ( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر
: ثقة رمى بالتشيع
رتبته عند الذهبي
: ثقة ، لكنه قاص الشيعة و إمام مسجدهم بالكوفة
Adapun
haditsnya terdapat dalam Bukhari, sebagai berikut :
حَدَّثَنَا خَلاَّدُ
بْنُ يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا مِسْعَرٌ قَالَ حَدَّثَنَا عَدِىُّ بْنُ ثَابِتٍ
سَمِعَ الْبَرَاءَ رضى الله عنه قَالَ سَمِعْتُ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم -
يَقْرَأُ ( وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ ) فِى الْعِشَاءِ ، وَمَا سَمِعْتُ أَحَدًا
أَحْسَنَ صَوْتًا مِنْهُ أَوْ قِرَاءَةً .
Adapun
riwayat Muslim, sebagai berikut :
وَحَدَّثَنِى
زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ حَدَّثَنِى مُعَاذُ بْنُ مُعَاذٍ ح وَحَدَّثَنَا
عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ - وَاللَّفْظُ لَهُ - حَدَّثَنَا أَبِى حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ عَنْ عَدِىِّ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ الْبَرَاءَ يُحَدِّثُ عَنِ
النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ فِى الأَنْصَارِ « لاَ يُحِبُّهُمْ
إِلاَّ مُؤْمِنٌ وَلاَ يُبْغِضُهُمْ إِلاَّ مُنَافِقٌ مَنْ أَحَبَّهُمْ أَحَبَّهُ
اللَّهُ وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ أَبْغَضَهُ اللَّهُ ». قَالَ شُعْبَةُ قُلْتُ
لِعَدِىٍّ سَمِعْتَهُ مِنَ الْبَرَاءِ قَالَ إِيَّاىَ حَدَّثَ.
[14] الاسم : عبد الله بن عبد القدوس التميمى
السعدى ، أبو محمد ، و يقال أبو سعيد ، و يقال أبو صالح ، الرازى الكوفى
الطبقة :
9 : من صغار أتباع التابعين
روى له : خت
ت ( البخاري تعليقا - الترمذي )
رتبته عند ابن حجر
: صدوق رمى بالرفض ، و كان أيضا يخطىء
رتبته عند الذهبي
: قال ابن معين : رافضى ، ليس بشىء
Adapun bentuk periwayatannya yang dicantumkan oleh Imam
al-Bukhari ialah berbentuk Ta’liq (tanpa menyebutkan sanad secara utuh) atau
hanya sebagai tabi’ (penguat hadits dengan jalur sama), sebagai berikut;
حَدَّثَنَا آدَمُ
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ عَائِشَةَ - رضى الله
عنها - قَالَتْ قَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « لاَ تَسُبُّوا
الأَمْوَاتَ فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوا » . وَرَوَاهُ عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الْقُدُّوسِ عَنِ الأَعْمَشِ ، وَمُحَمَّدُ بْنُ أَنَسٍ عَنِ
الأَعْمَشِ . تَابَعَهُ عَلِىُّ بْنُ الْجَعْدِ وَابْنُ عَرْعَرَةَ وَابْنُ أَبِى
عَدِىٍّ عَنْ شُعْبَةَ .
[15] الاسم : يحيى بن الجزار العرنى الكوفى ،
لقبه زبان ، و قيل يحيى بن زبان ، مولى بجيلة
الطبقة :
3 : من الوسطى من التابعين
روى له : م
د ت س ق ( مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر
: صدوق رمى بالغلو فى التشيع
رتبته عند الذهبي
: ثقة
Imam Muslim menyebutkannya sebanyak tiga kali di dalam
kitab shahihnya, sebagai tabi’.
[16] الاسم : سليمان بن قرم بن معاذ التميمى
الضبى ، أبو داود البصرى النحوى ، ( و منهم من ينسبه إلى جده )
الطبقة :
7 : من كبار أتباع التابعين
روى له : خت
م د ت س ( البخاري تعليقا - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي )
رتبته عند ابن حجر
: سىء الحفظ يتشيع
رتبته عند الذهبي
: قال أبو زرعة و غيره : ليس بذاك
Imam Muslim menyebutkannya satu kali sebagai tabi’.
[17] الاسم : عبيد الله بن موسى بن أبى المختار
: باذام ، العبسى مولاهم ، أبو محمد الكوفى
المولد :
128 هـ
الطبقة : 9
: من صغار أتباع التابعين
الوفاة :
213 هـ على الصحيح
روى له : خ
م د ت س ق ( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر
: ثقة ، كان يتشيع
رتبته عند الذهبي
: ثقة ، أحد الأعلام على تشيعه و بدعته
Imam al-Bukhari meriwayatkan banyak hadits dari
periwayatannya, kami sebutkan satu saja, yaitu;
حَدَّثَنَا
عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى
مُرَاوِحٍ عَنْ أَبِى ذَرٍّ - رضى الله عنه - قَالَ سَأَلْتُ النَّبِىَّ - صلى
الله عليه وسلم - أَىُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ ، قَالَ « إِيمَانٌ بِاللَّهِ ،
وَجِهَادٌ فِى سَبِيلِهِ » . قُلْتُ فَأَىُّ الرِّقَابِ أَفْضَلُ قَالَ «
أَغْلاَهَا ثَمَنًا ، وَأَنْفَسُهَا عِنْدَ أَهْلِهَا » . قُلْتُ فَإِنْ لَمْ
أَفْعَلْ . قَالَ « تُعِينُ صَانِعًا أَوْ تَصْنَعُ لأَخْرَقَ » . قَالَ فَإِنْ
لَمْ أَفْعَلْ . قَالَ « تَدَعُ النَّاسَ مِنَ الشَّرِّ ، فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ
تَصَدَّقُ بِهَا عَلَى نَفْسِكَ » .
[18] Versi Syamilah
menunjukkan hal. 469-70
[19] Versi Syamilah
menunjukkan Juz IV, hal. 367
[20] Lebih tepatnya
ialah Juz iX hal. 555
[21] Pertanyaan yang
saya ajukan ini adalah intisari, atau sebagian cemoohan yang dilontarkan buku
Syi’ah Menurut Syi’ah. Seperti yang tertera di dalam hal. xiii (Sistematika
Buku) :
Prolog disampaikan
mendahului bagian-bagian lain buku ini dengan maksud menngupas secara singkat
buku yang diterbitkan oleh segelintir orang yang mengatasnamakan MUI. Prolog
ini mengupas buku tersebut semata-mata sebagai salah satu pemantik maraknya
pensesatan dan pengafiran Syiah di Tanah Air belakangan ini yang cenderung
manipulatif dan provokatif, bukan sebagai bantahan atas buku tersebut. Dalam
ungkapan lain, buku tersebut terlalu sederhana untuk ditanggapi.
Dan yang lebih lancangnya lagi ialah pada pembahasan “MUI
dan Tugas Mempersatukan Umat.” Hal. 1-5.
[22] Di dalam Qaamuus
al-Muhieth, Juz I/hal. 126, disebutkan bahwa :
والنَّواصِبُ
والنَّاصبيَّةُ وأهلُ النَّصْبِ: المُتَدَيّنونَ بِبِغْضَةِ عليّ، رضي الله عنه،
لأنَّهُمْ نَصَبُوا له، أي: عادَوْهُ.
Nashibi ialah orang-orang yang beragama dengan membenci
Ali radhiya-Llahu ‘anhu, karena mereka nashabuu lahu, yaitu: ‘aaduuhu
(memusuhinya).
[23] Versi Syamilah
Juz XVIII/hal. 201
[24] Untuk lebih
jelasnya akan disampaikan pada lampiran 2 : Menyikapi Pendirian Syaikh al-Islam
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Minhaj as-Sunnah.
[25] Untuk versi
Syamilah-nya belum diketemukan mengingat mereka tidak menyertakan teks asli
kitab Minhaj as-Sunnah. Karena sulit untuk mencari sepenggal paragraf yang
hanya disebutkan terjemahannya saja tanpa ada keyword bahasa Arabnya di dalam
kitab yang berjumlah delapan jilid tersebut.
[26] Untuk masalah Ali
radhiya-Llahu ‘anhu yang tidak mampu untuk meredam berbagai pemberontakan
adalah sebuah salah besar. Waq’atu Jamal dan Ayyaamu Shiffien adalah salah satu
saksi ketabahan beliau dalam meredam berbagai pemberontakan. Waq’atu Jamal
seperti namanya bukanlah peperangan, tapi peristiwa. Adapun bentrok senjata
yang terjadi pada Waq’atu Jamal itu adalah rekayasa orang-orang munafiq yang
ingin memecah belah kaum muslimin. Mulanya ‘Aisyah, az-Zubar dan Thalhah serta
reng-rengannya bertolak dari Makkah ialah ingin meminta klarifikasi. Dan
setelah diberi pengertian oleh Ali, maka mereka pun sepakat bahwa keadaanlah
yang membuat semua ini terjadi, hingga mereka saling mengerti dan memahami.
Namun, saat ba’da shubuh segerombolan orang munafiq mengadakan
“perang-perangan”, lalu mereka mengatak, “Ali telah menyerang, ‘Aisyah telah
menyerang” hingga membuat orang-orang yang berada dalam kemah panik dan angkat
senjata. (lihat: al-Bidaayah wa an-Nihaayah : VII/257- ...)
Kemudian Shiffien pun disebut dengan Ayyaam (hari-hari)
bukan Qitaal (peperangan). Adapun penyebab utamanya ialah terbunuhnya ‘Utsman
radhiya-Llahu ‘anhu yang belum bisa dicari pembunuhnya saat itu, karena keadaan
yang sangat kacau. Hingga berbulan-bulan Ali dan Mu’awiyah terus berkirim surat
perihal pembunuh ‘Utsman. Mu’awiyah bersikeras agar pembunuh ‘Utsman diserahkan
kepadanya, hingga menuduh salah seorang dari kubu Ali yang membunuh ‘Utsman.
Dan Ali pun tidak bisa langsung menghakimi siapa yang benar-benar membunuh
‘Ustaman, karena ketika para pendemo yang kemudian membunuh ‘Utsman semua
mengaku bahwa mereka semua yang membunuh ‘Utsman (padahal hukum harus
benar-benar adil ditimpakan kepada yang benar-benar pelakunya) (lihat :
al-Bidaayah wa an-Nihaayah : VII/281-..).
Intinya, semua yang terjadi pada masa Ali adalah takdir
Allah yang tidak dapat ditolak. Tentang hal ini Imam Ahmad hanya memberi
komentar dengan firman Allah :
(تِلْكَ
أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ وَلَا
تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ) * [البقرة: 134]
[27] Sama, masih belum
diketemukan versi Syamilahnya. Namun, untuk redaksi yang mirip seperti ini
memang tidak perlu dijadikan sebuah keheranan. Karena kitab ini menelanjangi
habis-habisan Syi’ah Rafidhah Imamiyyah Ghulat la’natu-Llahi wa
qabbbahahumu-Llahu ‘alaihim.
[28] Membela Ahl
al-Bait adalah kedok modus operani mereka dalam menyesatkan umat. Dan sering
sekali mereka menjadikan Q.S. al-Ahzaab : 33 sebagai dalih bahwa yang dimaksud
ahl al-Bait adalah Ali dan keluarganya saja. Padahal istri-istri Rasulullah
shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam serta sanak saudara beliau pun termasuk ahl
al-Bait beliau. Perhatikanlah tafsir Ibnu Katsir tentang ayat ini :
وقوله: { إِنَّمَا
يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ
تَطْهِيرًا } : وهذا نص في دخول أزواج النبي صلى الله عليه وسلم في أهل البيت
هاهنا؛ لأنهن سبب نزول هذه الآية، وسبب النزول داخل فيه قولا واحدا، إما وحده على
قول أو مع غيره على الصحيح.
(Tafsier al-Quran al-‘Azhiem VI/410)
وقال الإمام أحمد
أيضا: حدثنا محمد بن مصعب، حدثنا الأوزاعي، حدثنا شداد أبو عمار قال: دخلت على
واثلة بن الأسقع وعنده قوم، فذكروا عليًّا، رضي الله عنه، فلما قاموا قال لي: ألا
أخبرك بما رأيت من رسول الله الله عليه وسلم؟ قلت: بلى. قال: أتيت فاطمة أسألها عن
علي فقالت: تَوَجه إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم، فجلست أنتظره حتى جاء رسول
الله صلى الله عليه وسلم، ومعه علي وحسن وحسين، آخذ كل واحد منهما بيده حتى دخل،
فأدنى عليًّا وفاطمة وأجلسهما بين يديه، وأجلس حسنًا وحسينًا كل واحد منهما على
فخذه، ثم لفَّ عليهم ثوبه -أو قال: كساءه -ثم تلا هذه الآية: { إِنَّمَا
يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ
تَطْهِيرًا } ، اللهم هؤلاء أهل بيتي، وأهل بيتي أحق"، وقد رواه أبو
جعفر بن جرير عن عبد الكريم بن أبي عمير ، عن الوليد بن مسلم، عن أبي عمرو
الأوزاعي بسنده نحوه -زاد في آخره: قال واثلة: فقلت: وأنا يا رسول الله-صلى الله
عليك -من أهلك؟ قال: "وأنت من أهلي"قال واثلة: إنها من أرجى ما أرتجي
(H.R. Ahmad IV/107, Tafsier ath-Thabariy VI/22, Tafsier
al-Quran al-‘Azhiem VI/411).
[29] Abu Sufyan adalah
sepupu Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam, namanya adalah kunyahnya.
Disebutkan bahwa pertengkaran keduanya terjadi sejak mereka masih sepersusuan.
Sebenarnya Abu Sufyan sudah mengetahui kebenaran ajaran Nabi shalla-Llahu
‘alaihi wa sallam, namun karena gengsi ia pun mengurungkan niatnya. Baru
setelah Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan surat kepada
Hiraqla/Heraklius, Kaisar Romawi, dan ditanya oleh Hiraqla tentang perihal
Nabi, maka mulailah cahaya keimanan bersinar di hatinya. Ia menjawab perihal
Nabi dengan sejujur-jujurnya. Keterangan ini bisa dibaca di dalam Shahih
al-Bukhari pada hadits terakhir Kitab Bad-i al-Wahyi. Adapun anaknya, Muawiyah,
adalah seorang sekretaris Nabi, pencatat wahyu. Di mana ia pun meriwayatkan
hadits dari Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam, salah satunya ialah hadits
yang sangat bermanfaat, yaitu;
مَنْ يُرِدِ
اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
[30] Redaksi hadits
secara lengakap ialah sebagai berikut;
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِى
حَازِمٍ قَالَ أَخْبَرَنِى سَهْلُ بْنُ سَعْدٍ - رضى الله عنه - أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ يَوْمَ خَيْبَرَ « لأُعْطِيَنَّ هَذِهِ
الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً ، يَفْتَحُ اللَّهُ عَلَى يَدَيْهِ ، يُحِبُّ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ ، وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ » . قَالَ فَبَاتَ النَّاسُ
يَدُوكُونَ لَيْلَتَهُمْ أَيُّهُمْ يُعْطَاهَا فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّاسُ غَدَوْا
عَلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - ، كُلُّهُمْ يَرْجُو أَنْ
يُعْطَاهَا فَقَالَ « أَيْنَ عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ » . فَقِيلَ هُوَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ يَشْتَكِى عَيْنَيْهِ . قَالَ « فَأَرْسِلُوا إِلَيْهِ » .
فَأُتِىَ بِهِ فَبَصَقَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِى عَيْنَيْهِ ،
وَدَعَا لَهُ ، فَبَرَأَ حَتَّى كَأَنْ لَمْ يَكُنْ بِهِ وَجَعٌ ، فَأَعْطَاهُ
الرَّايَةَ ، فَقَالَ عَلِىٌّ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُقَاتِلُهُمْ حَتَّى يَكُونُوا
مِثْلَنَا ، فَقَالَ « انْفُذْ عَلَى رِسْلِكَ حَتَّى تَنْزِلَ بِسَاحَتِهِمْ ،
ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ ، وَأَخْبِرْهُمْ بِمَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ مِنْ
حَقِّ اللَّهِ فِيهِ ، فَوَاللَّهِ لأَنْ يَهْدِىَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا
خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ » .
[31] Keterangan ini
diriwayatkan oleh Abu Daud pada Kitab an-Nikaah Bab fi ar-Rajuli yadkhulu
bi-mraatihi.
[32] Ungkapan ini bukan ungkapan
langsung dari Ali, tapi hanya sebuah metafora penulis sebagai Urang Sunda.
Adapun haditsnya secara utuh ialah sebagai berikut;
حَدَّثَنَا أَبُو
الْيَمَانِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنِ الزُّهْرِىِّ قَالَ أَخْبَرَنِى عَلِىُّ
بْنُ حُسَيْنٍ أَنَّ حُسَيْنَ بْنَ عَلِىٍّ أَخْبَرَهُ أَنَّ عَلِىَّ بْنَ أَبِى
طَالِبٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - طَرَقَهُ
وَفَاطِمَةَ بِنْتَ النَّبِىِّ - عَلَيْهِ السَّلاَمُ - لَيْلَةً فَقَالَ « أَلاَ
تُصَلِّيَانِ » . فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَنْفُسُنَا بِيَدِ اللَّهِ ،
فَإِذَا شَاءَ أَنْ يَبْعَثَنَا بَعَثَنَا . فَانْصَرَفَ حِينَ قُلْنَا ذَلِكَ
وَلَمْ يَرْجِعْ إِلَىَّ شَيْئًا . ثُمَّ سَمِعْتُهُ وَهْوَ مُوَلٍّ يَضْرِبُ
فَخِذَهُ وَهْوَ يَقُولُ « ( وَكَانَ الإِنْسَانُ أَكْثَرَ شَىْءٍ جَدَلاً )
» .
Hadits
ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Kitab at-Tahajjud Bab Tahriedh
an-Nabiy ‘ala shalaah, Imam Muslim Kitab Shalaatu al-Mufassirien Bab Maa Ruwiya
Fieman Naama al-Laila Ajma’a hatta Ashbaha, Imam an-Nasaaiy Kitab Qiyaam
al-Llail wa Tathawwu’ an-Nahaar Bab at-Targheib fie Qiyaam al-Lail dan
lain-lain.
[33] Hadits ini
sebenarnya panjang sekali dan memiliki banyak redaksi, yang Imam al-Bukhari
meringkasnya dengan redaksi;
حَدَّثَنَا
الأُوَيْسِىُّ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ عَنْ صَالِحٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ
حَدَّثَنِى عُرْوَةُ وَابْنُ الْمُسَيَّبِ وَعَلْقَمَةُ بْنُ وَقَّاصٍ وَعُبَيْدُ
اللَّهِ عَنْ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - حِينَ قَالَ لَهَا أَهْلُ الإِفْكِ
قَالَتْ وَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - عَلِىَّ بْنَ أَبِى
طَالِبٍ وَأُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ حِينَ اسْتَلْبَثَ الْوَحْىُ يَسْأَلُهُمَا ،
وَهْوَ يَسْتَشِيرُهُمَا فِى فِرَاقِ أَهْلِهِ ، فَأَمَّا أُسَامَةُ فَأَشَارَ
بِالَّذِى يَعْلَمُ مِنْ بَرَاءَةِ أَهْلِهِ ، وَأَمَّا عَلِىٌّ فَقَالَ لَمْ
يُضَيِّقِ اللَّهُ عَلَيْكَ ، وَالنِّسَاءُ سِوَاهَا كَثِيرٌ ، وَسَلِ
الْجَارِيَةَ تَصْدُقْكَ . فَقَالَ « هَلْ رَأَيْتِ مِنْ شَىْءٍ يَرِيبُكِ » .
قَالَتْ مَا رَأَيْتُ أَمْرًا أَكْثَرَ مِنْ أَنَّهَا جَارِيَةٌ حَدِيثَةُ
السِّنِّ تَنَامُ عَنْ عَجِينِ أَهْلِهَا فَتَأْتِى الدَّاجِنُ فَتَأْكُلُهُ .
فَقَامَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ « يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ مَنْ
يَعْذِرُنِى مِنْ رَجُلٍ بَلَغَنِى أَذَاهُ فِى أَهْلِى ، وَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ
عَلَى أَهْلِى إِلاَّ خَيْرًا » . فَذَكَرَ بَرَاءَةَ عَائِشَةَ . وَقَالَ أَبُو
أُسَامَةَ عَنْ هِشَامٍ
Yah segitu juga sudah ringkas. Imam al-Bukhari
memasukkanya dalam Kitab al-I’tishaam bi al-Kitab Bab Qaulu-Llahi “Wa Amruhum
Syuuraa baynahum.” Imam Muslim dalam Kitab at-Taubah Bab fie Hadits al-Ifk wa
Qabuuli Taubah al-Qaadzif.
[34] Tarikh al-Khulafaa’
: 135.
[35] Yaitu bersifat
pertengahan, Sineger Tengah.
[36] Tidak diketemukan
melalui searching Maktabah Syamilah bahwa hadits ini diriwayatkan oleh
al-Bazzar dan Abu Ya’laa. Namun, dapat dilacak dalam Majma’ az-Zawaaid wa
Manba’ al-Fawaaid (IX/33) dengan komentar sebagai berikut :
ألا وإنه يهلك في
اثنان محب مفرط يقرظني بما ليس في، ومبغض يحمله شنآني على أن يبهتني، ألا وإني لست
بنبي ولا يوحى إلي ولكني أعمل بكتاب الله وسنة نبيه ما استطعت، فما أمرتكم من طاعة
الله فحق عليكم طاعتي فيما أحببتم وكرهتم.
رواه عبد الله
والبزار باختصار وأبو يعلى أتم منه وفي إسناد عبد الله وأبي يعلى الحكم بن عبد
الملك وهو ضعيف وفي إسناد البزار محمد بن كثير القرشي الكوفي وهو ضعيف.
Namun, begitulah realita yang ada dalam menyikapi sahabat
yang satu ini. Di mana orang yang terlalu membencinya dinamakan sebagai orang
yang yahudi (baca: nashibi) dan orang yang terlalu mencintainya adalah
nashraniy (baca: syi’ah). Yang jelas sebagai umat Islam (baca: ahl as-Sunnah wa
al-Jama’ah) sepantasnya kita bersifat pertengahan, tidak terlalu mencintainya
dan tidak pula membencinya. Begitulah kiranya inti dari penulisan tulisan
ini.
Terimakasih telah mengunjungi https://rukyatulislam.blogspot.com/

Social Plugin