Al-Muhasibi, nama lengkapnya Abu Abdillah Al-Harits bin Asad al-Baghdādī al-Muḥāsibi. Beliau lahir pada tahun 165 H/ 781 M di Bashrah. Pada masanya, Islam sedang berada dalam kejayaannya, yaitu pada abad pertengahan ketika khilafah Abbasiah mengalami masa keemasannya.[1] Ketika itu, tahun 165-243 H./781837 M, di Baghdad, merupakan era kepemimpinan al-Mahdi (775-785 M.), al-Hadi (785-786 M.), Harun al-Rasyid (786-909 M.), al-Amin (809-813), al-Ma’mun (813-833 M.), dan al-Mu’tashim (833-842). Di era ini, disiplin ilmu tumbuh dan berkembang, bukan hanya teologi, fikih, ushul fikih, dan tasawuf, melainkan juga sastra dan seni. Sebab pada waktu itu, khalifah ikut mendorong pengembangan ilmu pengetahuan.[2]

Al-Muhasibi merupakan salah seorang guru para Sufi, termasuk guru dari al-Junaid al-Baghdādi. Ia dijuluki al-Muhasibi karena banyak menghisabi diri.[3] Syaikh Abu 'Amr Ibnu Shalah berkomentar dalam kitabnya at-Thabaqat, “beliau (al-Muhāsibī) adalah seorang imam kaum Muslimin dalam bidang fiqh, tashawwuf, hadits,[4] dan kalam.”[5] Selaras dengan Ibnu Shalāḥ, Imam Al-Ghazālī juga mengatakan, “Abu ‘Abdillah al-Hārits bin Asad al-Muḥāsibī al-Baghdādī menguasai ilmu kalam, ilmu fikih, ahli hadits, serta dikenal sebagai tokoh yang zuhud dan wara’.”[6] 

Abdul Qādir Aḥmad ‘Athā, dalam pengantar kitab al-Ri’āyah li Ḥuqūqi Allah[7] mengatakan bahwa Imam al-Muḥāsibī adalah seorang sufi yang mendasarkan tasawufnya kepada ilmu, dzauq dan hāl.[8] Selain itu, ia juga ahli dalam bidang akidah, baik secara dzauq, i’tiqad ataupun secara ilmu. Beliau juga seorang ahli fikih dalam madzhab imam al-Syāfi’ī. Ia juga seorang ahli Hadits yang meriwayatkan dari banyak ulama Hadits, dari thabaqah yazid bin Harun. Hal itu menunjukkan keagungan beliau.

Abu Abdillah bin Khafif berkata; “bergurulah kalian kepada lima dari guru-guru kami, yaitu al-Hārits al-Muḥāsibī, al-Junayd, Ruwaim, Ibnu ‘Atha dan ‘Amr bin Utsman al-Makki. Mereka adalah orang-orang yang menguasai Ilmu dan Hakikat.”[9] ‘Abdul Qādir Aḥmad ‘Athā menyebutkan lagi dalam pengantar kitab al-Ri’āyah li Huqūq Allah, bahwa Beliau (al-Muḥāsibī) layak disebut sebagai pelopor madzhab spiritualitas yang berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah dan akal dalam kesatuan yang harmonis. Dengan kesadaran spiritualitas ini, setiap jiwa-jiwa akan ditundukan kepada Allah subhānahū wata’ālā. Dengan begitu, seorang hamba dapat menuju Allah dan menggapai keselamatan.[10]

Jika diperhatikan, masa hidupnya al-Muhasibi sesungguhnya satu generasi dengan para pendiri Madzhab Fikih. Seperti Imam Malik bin Anas, lahir pada tahun 95 H dan wafat pada 179 H. Walau usinya terpaut jauh dengan al-Muhāsibi, namun beliau masih sezaman dengan Imam Malik, mengingat al-Muhāsibi sudah lahir sejak tahun 165 H.  Sementara itu, al-Muḥāsibi terpaut lebih muda 15 tahun dari Imam al-Syāfi’ī, karena al-Syāfi’ī lahir pada tahun 150 H dan wafat 204 H. Berbeda dengan Imam Malik dan Imam al-Syāfi’ī yang jarak umurnya cukup jauh, al-Muḥāsibi lebih muda satu tahun dari Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau lahir pada tahun 164 H, sementara al-Muhāsibi lahir pada tahun 165 H. Adapun dengan imam Abu Hanifah, al-Muḥāsibi tidak sezaman, karena beliau sudah wafat pada tahun 150 H, ketika Imam al-Syāfī’i lahir.[11]
Imam Al-Muḥāsibi meninggal pada tahun 243 H/ 837 M di Baghdad. Wafatnya beliau merupakan sebuah kesedihan yang mendalam bagi kaum Muslimin saat itu. Hal itu tidak lain karena sosok beliau yang sangat inspiratif dan berpengaruh. Bahkan Imam al-Qusyairi mengatakan, “Innahū kāna ‘adīm al-naẓīr fī zamānihī ‘ilman wa wara’an wa mu’āmalatan wa hālan.” (Al-Muḥāsibi memang tidak ada bandingnya, baik dari segi ilmunya, pergaulannya, maupun hal ihwal kesehariannya). [12] Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada beliau.

Gelar al-Muḥāsibī

Imam Abu Abdillah al-Hārits ini digelari al-Muḥāsibī karena kegetolannya dalam bermuhasabah diri (muhasabah bi nafsih). Ia senantiasa memperhatikan perbuatannya sendiri agar tidak terjerumus pada perbuatan dosa dan kemaksiatan. Bahkan dalam hal-hal yang syubhat pun ia senantiasa mawas diri. Akhlaknya ini selalu ia perlihara sehingga Allah memberikan sebuah kemuliaan kepadanya dengan cara senantiasa dihindarkan dari perbuatan dosa. Pemberian Allah tersebut merupakan hijab antara dirinya dan dosa. Ia seakan tidak bisa melakukan dosa dan bahkan mengambil yang syubhat-syubhat.

Tentang kemuliaan al-Muḥāsibi, Imam al-Qusyairi pernah menceritakannya. Menurutnya, bila al-Muḥāsibī menjulurkan tangannya untuk memegang makanan yang mengandung syubhat, pembuluh darah pada tangan itu bergerak-gerak untuk mencegahnya mengambil makanan itu.[13] Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah dalam riwayat al-Bukhari, bahwa ketika seseorang telah dicintai Allah karena taqarrubnya, maka Allah akan menjadi tangannya (hamba tersebut) yang digunakan untuk bekerja, Allah akan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.[14] Maksud dari hadits itu bahwa seseorang akan senantiasa diarahkan kepada kebaikan dan dihindarkan dari kemaksiatan dan dosa.

Pada kasus yang lain, al-Muḥāsibi tidak mau menerima warisan dari ayahnya padahal warisan tersebut sangat banyak, yaitu senilai 70 ribu dinar. Ia menolak warisan tersebut karena ayahnya seorang qadariyah[15], sebagai pengamalan dari petunjuk Nabi ketika Beliau shallallāhu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa diharamkan saling mewarisi di antara dua pemeluk agama atau keyakinan yang berbeda.[16] Selain itu, sikapnya tersebut dalam rangka mengamalkan akhlak yang mulia yaitu sikap wara’ dan zuhud. Ia tidak mau bergelimang harta sehingga tidak repot memikirkan dunia, mengatur dan menjaganya.[17] Dengan demikian, sangat pantas jika gelar al-Muḥāsibi ini disematkan kepada al-Hārits.

Perjalanan Intelektual Al-Muḥāsibī

Saat di Bashrah, ia sudah memiliki kecenderungan aspek-aspek ruhiyah dalam agama. Ia kemudian memperdalam keilmuan yang berkaitan dengan hal itu di Baghdad. Perpindahannya dari Bashrah ke Baghdad, merupakan awal fase kehidupannya yang baru, yaitu ia melakukan perdebatan dalam berbagai bidang keilmuan, seperti dalam filsafat, fikih, hadits, ilmu kalam dan tashawwuf. Jika jasadnya dilahirkan di bashrah dan ia tumbuh di sana, maka kelahiran hakikinya sebagai seorang tokoh sejarah yang fenomenal adalah di Baghdad.[18]

Guru-gurunya yang terkenal dalam bidang Hadits adalah, Hasyīm, Syarīh bin yunus, Yazid bin Harun, Abu al-Nadlār, Hajjāj, Sanīd bin Dāwud. Ia juga berguru kepada Imam al-Syāfi’ī dalam rihlah kedunya ke Baghdad (pada tahun 195 H). Selain itu, Ia belajar ilmu bahasa dan ilmu al-Qur’an kepada Abu Ubaid al-Qāsim bin Salām, penulis dua kitab yang masyhur (gharīb al-Hadīts dan al-Amwāl). Adapun guru yang paling utamanya bagi al-Muḥāsibi adalah Yazīd bin Hārūn.[19]

Selain mempelajari Hadits, al-Qur’an dan ilmu bahasa, beliau juga memperdalam ilmu ruhiyahnya. Dalam kitab tadzkiratul auliyā disebutkan bahwa, al-Muḥāsibī mengkhususkan pencarian ilmunya dalam memperdalam ilmu tauhid, ilmu mujāhadah, dan ilmu musyāhadah.[20]

Corak Pemikiran Tasawuf al-Muḥāsibī

Terkait dengan corak pemikiran al-Muḥāsibi, Abdul Qadīr Ahmad ‘Athā menjelaskan bahwa pada masa al-Muḥāsibī terdapat dua madrasah pemikiran. Pertama, madrasah atau madzhab Ahlu Sunnah yang pionernya waktu itu adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Madzhab ini berdiri di atas dasar-dasar agama. Agama dipahami berdasarkan nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah yang ditafsirkan berdasarkan asbāb al-Nuzūl. Berbeda dengan madzhab Ahlu Sunnah, madzhab kedua adalah Mu’tazilah. Dalam madzhab ini, agama hanya ditafsirkan dengan akal.[21]

Pemikiran Islam tidak cukup mengandalkan nash, asbab nuzul dan pemahaman akal. Mengingat, Agama Islam memiliki khazanah yang sangat luas dan cakupan yang sangat mendalam. Oleh karena itu, lahirlah madzhab ke tiga pada waktu itu, yaitu madzhab spiritualitas (dzauq al-Rūḥī), yang menghimpun nash, akal dan dzauq wijdan. Madzhab inilah yang dipelopori oleh al-Ḥārits bin Asad al-Muḥāsibī.[22]

Tasawuf al-Muḥāsibi merupakan tasawuf akhlaqī yang berdasarkan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Beliau lebih menekankan kepada pembinaan akhlak dan moralitas. Hal ini bisa dilihat dalam karya-karyanya, di mana rujukan-rujukannya adalah al-Qur’an, al-Sunnah dan Atsar para Sahabat. Syaikh Aziz Jasim mengatakan bahwa, “pilar-pilar mentalitas al-Muḥāsibī yang sudah mendarah daging telah menjauhkannya dari syatahāt”.[23] Hal ini menandakan kesesuaian ajarannya dengan syari’at. 
Selain itu, tasawuf akhlaqi-nya imam al-Muḥāsibī juga dikomentari oleh imam Al-Ghazālī. Beliau mengatakan, “al-Muḥāsibī khairu ‘l-Ummah fī ‘ilmi ‘l-mu’āmalah wa lahū ‘s-sabaq ‘alā jamī’ ‘l-bāhitsīn ‘an ‘uyūbi ‘n-nafs wa āfāti ‘l-a’māl wa a’wāri ‘l-‘ibādāt”. (Al-Muḥāsibī adalah orang terbaik di bidang mu’amalah. Dia telah melampaui para Ulama lain dalam membahas cacat jiwa, bahaya amal dan ibadah-ibadah yang rusak).[24]

Selaras dengan al-Ghazāli, Dr. Hamdani Anwar mengatakan bahwa al-Muḥāsibī telah mengingatkan murid-muridnya agar menjauhi syathahāt, karena syathahāt bisa berujung pada kesesatan.[25] Beliau tidak seperti sufi-sufi lainnya yang mengagung-agungkan ittihād atau hulūl (penyatuan dengan Allah). Meski terdapat tuntutan dari berbagai golongan agar beliau menyentuh ranah-ranah tersebut (syataḥāt), Al-Muḥāsibi tetap pada pendiriannya yaitu fokus pada pendalaman dan perbaikan akhlak.

Namun, walaupun tasawuf menekankan aspek spiritualitas, tidak berarti selurhunya abstrak, melainkan terdapat aspek-aspek ‘aqliyyah. Al-Muḥāsibi, sebagai seorang anak dari ayahnya yang Mu’tazilah, tidak terlepas dari doktrin ‘aqilyyah dari ayahnya. Namun, berbeda dengan ayahnya yang rasionalis, al-Muḥāsibi menjadikan akal untuk menyerap bimbingan dan petunjuk Allah. Al-Muḥāsibi berkata, “likulli syai`in jauhar wa jauharu ‘l-Insān al-‘aql wa jauharu ‘aql al-Taufīq”. (segala sesuatu punya inti. Inti manusia adalah akalnya, dan inti akal adalah taufiq/bimbingan dari Allah).[26] Dengan demikian, tepat jika dikatakan tasawuf al-Muḥāsibī sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.

Karya-karya al-Muḥāsibi

Al-Muḥāsibi terkenal sebagai seorang Sufi yang menguasai berbagai keilmuwan. Al-Khatib mengatakan bahwa al-Muḥāsibī menulis banyak kitab mengenai zuhud, pokok-pokok agama, dan bantahan terhadap mu’tazilah dan Rafidhah. Imam As-Sabki menyebut bahwa karya-karya al-Muḥāsibī mencapai 200 karya. Abdul Halim Mahmud mengungkap kitab-kitab al-Muḥāsibī, yaitu al-Ri’āyah li Ḥuqūqi Allah, al-Waṣāyā, Māhiyatu al-‘Aqli wa Ma’nāhu, kitāb al-Tawahhum, Ādābu al-Nufūs, al-Makāsib wa al-Wara’ wa al-Syubhah wa Bayān Mubāḥihā wa Maḥẓūrihā, risālah al-Musytarsyidīn, al-‘Aql wa fahmu al-Qur’ān, al-Masā`il fī A’māl al-Qulūb wa al-Jawāriḥ wa al-Makāsib wa al-‘Āql, Bad`u man Anāba Ila Allah, Fashlun min Kitāb Al-‘Uzhmah, Kitāb al-‘Ilm, Risālah fī al-Taṣawwuf dan lain-lain. Dari karya-karyanya tersebut, karya terpentingnya tentang tasawuf adalah kitab al-Ri’āyah li Ḥuqūq Allah.




RESUME KITAB AR RI’AYAH LI HUQŪQILLAH, KARYA IMAM AL-MUḤĀSIBI

Mengenai nama kitab ini, Imam al-Muḥāsibī memberikan penjelasan di awal penulisannya (kitab al-Ri’āyah). Beliau mengatakan,
“Wajib bagi hamba-hamba Allah mengerjakan apa yang diwajibkan Allah kepada mereka, baik yang terkait dengan diri mereka atau orang-orang yang berada dalam tanggung-jawab mereka. Pemimpin adalah penggembala umat manusia yang diwajibkan untuk menjaga seluruh urusan orang-orang gembalaannya, khusus maupun umum. Perhatikan apa yang dikatakan Umar Ibn Khattab, “sekiranya seekor domba hilang di pinggir sungai Efrat, aku khawatir Allah akan meminta pertanggung-jawaban kepadaku.” Setiap yang diwajibkan Allah atas hambanya baik yang terkait dengan dirinya atau terkait dengan relasi satu kelompok pada kelompok lain, maka Allah telah memerintahkan agar mereka menjaga dan melaksanakannya. Itulah makna dari memelihara hak Allah yang diwajibkan atas mereka”.[27]
Dalam kutipan di atas, al-Muḥāsibi menjelaskan bahwa maksud dari ri’āyah li ḥuqūqillāh adalah menjaga kewajiban setiap hamba. Menjaga dan melaksanakan kewajiban tersebut terbagi kepada dua bagian; pertama, kewajiban dirinya kepada Allah secara langsung, dan; kedua kewajiban dirinya terhadap sesama manusia. Al-Muḥāsibi mengutip perkataan Umar bin Khattab bahwa menjaga kewajiban itu seperti seorang pengembala domba/kambing, ia akan berusaha mengawasi dan menjaganya.

Selain itu, Abdul Halim Mahmud, editor kitab ini, menyebut bahwa isi kandungan kitab al-Ri’āyah sangat bermanfa’at untuk menunaikan apa yang menjadi hak-hak Allah.[28] Beliau mengatakan, al-Ri’āyah wahuwa bi al-nisbah lil-Muḥāsibī ka Iḥyā ‘ūlūm al-dīn bi al-nisbah lil-Ghazālī. wa qad hāwala al-Muḥāsibī anna al-ri’āyah fīhi al-ṭarīq al-ladzī yuḥaqqiq al-ri’āyah li-ḥuqūq Allah. (Kitab al-Ri’āyah li Huqūq Allah dari segi kedalaman kandungannya laksana Ihyā ‘ulūm al-dīn karya Imam al-Ghazālī. Al-Muḥāsibī telah berusaha menjelaskan dalam kitab tersebut sebagai jalan untuk mewujudkan terjaganya hak-hak Allah ta’ālā).[29] Pantas saja jika Kitab ini disebut-sebut sebagai magnum opus imam al-Muḥāsibī.

Rujukan Kitab

Jika kita mencermati isi dari kitab al-Ri’āyah ini maka kita akan melihat banyak kutipan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi. Dalam fihris (daftar pustaka) disebutkan terdapat 219 Hadits yang dipakai rujukan. Selain itu, banyak juga kutipan-kutipan ayat al-Qur’an. Kedua nash tersebut dapat dikatakan sebagai rujukan utama imam Al-Muḥāsibi dalam menulis kitab ini.

Selain merujuk kepada al-Qur’an dan al-Hadits, Al-Muḥāsibi juga banyak merujuk pendapat para Sahabat dan Tābi’in dalam menjelaskan ajaran-ajarannya. Tercatat kurang lebih 219 atsar yang termaktub dalam kitab al-Ri’āyah ini. Penjelasan-penjelasan al-Muḥāsibī tentang menjaga hak-hak Allah memadukan nash-nash al-Qur’an, al-Hadits, atsar Sahabat dan Tābi’in, dan mempertajamnya dengan penekanan-penekanan spiritualitas (dzauq al-Wijdan).

Resume al-Ri’āyah li Huqūq Allah

Kitab al-Ri’āyah karangan al-Muḥāsibi yang di-taḥqīq (edit) oleh Abdul Qādir Ahmad ‘Athā memiliki sembilan pembahasan. [1]. Pendahuluan, [2]. Kitab Riya, [3]. Kitab al-Ikhwān wa Ma’rifatunnafs, [4]. Kitab al-Tanbīh, [5]. Kitāb al-‘Ujub, [6]. Kitab al-Kibru, [7]. kitab al-Ghurrah, [8]. kitab al-Hasad, [9]. Kitab Ta`dīb al-Murīd.

Muqaddimah
Di bagian muqaddimah, Al-Muḥāsibī memberikan pengantar mengenai penjagaan akan hak-hak Allah. Pertama-tama, Beliau menganjurkan untuk bisa menyimak dengan baik (husnul istima’) sebelum menela’ah kitab ini. Beliau berharap, dengan husnul istima’, setiap orang yang membaca al-Ri’āyāh ini mendapatkan petunjuk dari Allah dan mendapatkan sesuatu yang bermanfa’at. Seseorang yang mendengarkan sesuatu sebagaimana ia mencintai Allah, maka ia akan mendapatkan peringatan atau nasihat. Al-Mūḥāsibī kemudian menyebutkan firman Allah surat Qaf ayat 37,[30] dan ayat-ayat lainnya, seperti al-a’rāf: 204, al-Zumar: 18, al-Aḥqāf: 29 dan al-Isrā: 47.

Al-Muḥāsibī kemudian menjelaskan lebih mendalam mengenai husnul istimā. Dengan mengutip pendapat Wahab Bin Munabbah, husnul istima’ adalah tenangnya anggota badan, menundukkan pandangan, telinga yang mendengarkan, menghadirkan pikiran, dan bertekad untuk mengamalkan.[31] Selain Wahab bin Munabbah, Sufyan bin ‘Uyainah juga dikutip oleh al-Muḥāsibi. Beliau mengatakan, awwalu ‘l’ilmi ḥusnu ‘l-istimā’, tsumma ‘l-fahmu, tsumma ‘l-hifzhu, tsumma ‘l-‘amalu, tsumma ‘n-nasyru.[32]  (Mendapatkan ilmu itu pada awalnya adalah dari baik mendengarkan, kemudian memahami, menghafal, mengamalkan lalu menyebarkan).

Hal yang berharga dari Husnul Istima’ adalah tekad kuat dalam menuntut ilmu. Seseorang yang berusaha mencurahkan kemampuan yang ia miliki untuk mendapatkan ilmu menunjukan keinginannya yang kuat akan ilmu. Dalam hal ini, Allah akan melihat kesungguh-sungguhan dan keinginan thālib al-‘ilm (pencari ilmu). Itulah yang ditekankan oleh al-Muḥāsibi di awal kitabnya (al-Ri’āyah).

Selanjutnya, dalam bagian pendahuluan ini, imam al-Muḥāsibi menjelaskan apa saja hak-hak Allah yang mesti dijaga secara terperinci. Pertama-tama beliau menyebutkan bahwa menjaga hak-hak Allah merupakan hal sangat penting. Mengingat, hal inilah yang sering dilupakan oleh kebanyakan orang. Ini pula yang menjadi urusan dan perhatian para Nabi dan pengikut-pengikutnya. Merekalah yang menjaga janji-janji dan wasiat-Nya.

Setelah itu, Beliau menjelaskan bahwa setiap perintah Allah yang mesti dilaksanakan atau ditinggalkan mesti dijaga atau dipelihara. Hal inilah yang dimaksud menjaga hak-hak Allah. Jika hak Allah tersebut berkaitan dengan perintah untuk dilaksanakan maka mesti dilaksanakan, dan jika berkaitan dengan larangan maka mesti ditinggalkan. Seperti dalam sabda Nabi bahwa setiap kalian adalah penjaga (rā’in) dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas penjagaannya (kepemimpinannya).[33]

Dalam pendahuluan ini, terdapat beberapa pembahasan tersendiri yang cukup panjang. Di antaranya; Pertama, bab tentang menjaga hak-hak Allah. Pada bab ini dijelaskan bahwa hak-hak Allah adalah kewajiban setiap hamba yang telah ditentukan dalam syari’at-Nya. Kedua, bab tentang mengetahui takwa. Ketiga, bab tentang wara’. Keempat, bab tentang orang-orang yang tertipu. Kelima, bab tentang muhāsabah. Keenam, bab tentang hal yang mendorong untuk bertaubat dan meninggalkan dari terus-menerus berbuat maksiat. Ketujuh, bab tentang mengetahui hak-hak Allah, dan lain-lain. Pada akhir muqaddimah ini, dijelaskan bab tentang persiapan kematian.

Jika dicermati, al-Muḥāsibi ingin menekankan bahwa inti dari menjaga hak-hak Allah adalah untuk mencapai derajat takwa. Takwa dalam pengertian al-Muḥāsibi adalah menjauhi syirik (menyekutukan Allah) dan hal-hal yang di bawah syirik, seperti dari segala larangan Allah, atau menyia-nyiakan kewajiban yang telah ditetapkan-Nya.

Hal ini sama dengan penjelasan ringkas al-Muḥāsibi mengenai menjaga hak-hak Allah sebagaimana di atas, yaitu; “Setiap yang diwajibkan Allah atas hambanya, maka Allah telah memerintahkan agar menjaga dan melaksanakan kewajiban tersebut. Itulah makna dari memelihara hak Allah”.[34]

Selain takwa, beliau juga menekankan tentang wara’. Hal ini menunjukan bahwa wara’ dalam pandangan al-Muḥāsibi merupakan buah dari takwa. Seorang yang benar-benar bertakwa akan bisa meninggalkan hal-hal yang dibenci oleh Allah. Dalam hal ini, wara’ mencerminkan tingkatan takwa yang tinggi. Al-Muḥāsibi berkata, al-wara’ mujānabatu mā karaha Allah jalla wa ‘azza. “wara adalah menjauhi hal-hal yang dibenci Allah”.

Lebih lanjut, al-Muḥāsibi menjelaskan bahwa orang yang wara’ adalah orang yang tidak tertipu dengan amal-amalnya. Seorang muslim melaksanakan shalat, zakat, shaum, haji, belajar, bekerja, melaksanakan amanah kepemimpinan, tidak semata-mata untuk mendapatkan kesenangan dunia, mendapatkan penghormatan dari manusia, dan mendapatkan harta. Melainkan mereka adalah orang-orang yang ikhlas. Mereka adalah orang-orang yang memberikan kesungguh-sungguhan hati dan raga hanya kepada Allah. Semua raga yang Allah titipkan baik tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya tidak dipakai untuk melaksanakan hal-hal yang dibenci Allah.[35]

Kitab Riyā
Setelah berusaha mengamalkan, mendekatkan diri dan menjaga hak-hak Allah subhānahū wata’ālā, al-Mūḥāsibi menganjurkan untuk menjaga hati. Menurutnya, hati seseorang tidak terlepas dari dua keadaan. Pertama, hati yang ketika di dunia takut kepada Allah; dan kedua, hati yang ketika di Dunia lupa pada Allah, ia tertipu namun merasa aman.[36]

Untuk menjaga hati agar tidak tertipu dengan dunia dan melupakan Allah adalah dengan mewaspadai penyakit riya. Riya, sebagaimana umum diketahui, adalah motif duniawi dalam pelaksanaan ibadah. Seakan-akan mengerjakan amal shaleh, namun dalam hatinya mengharapkan tujuan-tujuan selain Allah, atau selain tujuan ukhrawi. Pembahasan ini paling panjang dalam kitab al-Ri’āyah karena dalam pandangannya merupakan sesuatu yang sangat berbahaya. Ia bisa merusak amal-amal seseorang. Ketika amal seseorang telah rusak maka tersisalah kejelekan-kejelekannya, sementara kebaikannya berkurang dan menjadi sedikit.[37]

Al-Muḥāsibi menjelaskan lebih lanjut mengenai riya. Menurutnya, riya penyebab celakanya setiap hamba, sebagaimana dalam hadits Nabi bahwa untuk selamat dari adzab neraka adalah menjauhi riya. Dalam kasus lain, Nabi menjelaskan 3 keadaan orang yang celaka karena motif dari amalan duniawinya. Pertama, orang yang berperang di jalan Allah namun ingin disebut sebagai seorang pemberani, pahlwan dan lain sebagainya. Kedua, orang yang membaca al-Qur’an karena ingin disebut sebagai ‘ālim. Ketiga, orang yang bersedekah karena ingin disebut sebagai orang yang dermawan. Ketiga orang tersebut diseret ke neraka karena penyakit riya mereka.[38]

Al-Mūḥāsibi juga menyebut bahwa setiap kebaikan yang dikerjakan seseorang bisa menjadi rusak. Oleh karena itu, ia mesti mengetahui cara melindungi dari perusak-perusak tersebut, terlebih cara melindungi dari riya, karena sebagaimana dalam hadits Nabi bahwa ia lebih tersembunyi dibanding kaki semut.

Mengutip perkataan Abu Darda, bahwa di antara tanda pahamnya seseorang dalam agama adalah mengetahui serangan-serangan syaithan, kapan dan dari mana datangnya. Jika seseorang telah mengetahui bahwa Allah tidak akan menerima amal kecuali yang ikhlas kepada-Nya, tanpa motif duniawi. Adapun hawa nafsu dan musuhnya (syaithan) mendorong untuk menghancurkan amalnya. Keduanya mesti diketahui dengan ilmu, dengannya serangan syaithan berbentuk riya dan lain sebagainya akan bisa diketahui.[39]

Untuk menjaga hati dari riya, al-Mūḥāsibi mengajarkan kepada kita dengan cara senantiasa memupuk dan melatih keikhlasan dalam beramal. Beliau menyatakan bahwa ikhlas adalah kedudukan orang-orang yang kuat dan istimewa. Cara memupuk keikhlasan adalah dengan rajin melaksanakan ibadah-ibadah sunnah atau nāfilah. Selain melatih keikhlasan, ia juga bisa berguna untuk menghapus dosa-dosa dan menyempurnakan ibadah-ibadah yang wajib. Menurut al-Muḥāsibi, jika ikhlas sudah terbangun, ibadah-ibadah nafilah atau sunnah tersebut tidak lagi dipakai untuk menghapus dosa-dosa atau menyempurnakan ibadah-ibadah yang kurang sempurna. Melainkan akan meninggikan derajatnya. Berbeda dengan orang yang masih banyak dosa dan kekurangan baik dalam ibadah. Amalan-amalan sunnahnya tidak menambahnya mulia, namun hanya dipakai untuk menghapus dosa-dosa dan menyempurnakan ibadah-ibadahnya yang kurang baik. Mengerjakan amalan-amalan sunnah dengan didasari keikhlasan akan semakin menguatkan hati dari godaan-godaan riya, demikian yang diajarkan oleh al-Muḥāsibī.[40]

Kitab al-Ikhwān wa Ma’rifah al-Nafs
Di dalam bagian ini dijelaskan tentang bagaimana seseorang bisa menguatkan diri dalam ketakwaan dan tidak tergelincir terhadap dosa. Hal itu menurut al-Mūḥāsibi bisa dilatih dengan dua cara; pertama, dengan memutus setiap sebab yang dapat menggelincirkan kepada dosa dan kedua; jika berbuat dosa segera untuk mencabutnya sebelum perbuatan itu terasa manis di dalam hati.

Setelah itu, al-Muḥāsibi mengilustrasikan orang yang memotong sebab-sebab dosa, yaitu seperti lak-laki yang mengeluh dan menyesal dari melihat sesuatu yang tidak dihalalkan. Dalam sebuah cerita, al-Mūḥāsibi menjelaskan lagi, yaitu ketika seorang laki-laki duduk-duduk di pinggir jalan bersama teman-temannya. Ketika laki-laki tersebut duduk di pinggir jalan, ia meniatkan untuk tidak melihat hal-hal yang diharamkan. Tidak lama setelah itu, hadirlah sesuatu yang mendatangkan syahwatnya, sehingga ia tergugah dan melihatnya. Setelah itu ia menyesal dan bertaubat. Ia tidak lagi duduk-duduk di pinggir jalan dan menggantinya dengan banyak berdzikir dan sering mengunjungi masjid. Demikianlah bagaimana memutus penyebab tergelincirnya seseorang pada dosa.[41]

Kitab al-Tanbīh wa ma’rifah al-Nafs
Dalam pembahasan ini dijelaskan tentang peringatan akan bahayanya hawa nafsu. Dalam pandangan al-Muḥāsibi hawa nafsu adalah tempat datangnya riya. Itulah mengapa beliau menempatkan pembahasan ini setelah membahas riya dan sebab-sebabnya. Peringatan dari ajakan hawa nafsu dinyatakan oleh al-Muḥāsibi bahwa ia adalah musuh yang jika manusia menuruti keinginannya maka akan dijauhkan dari Allah. Sebaliknya, orang yang bisa mengendalikan hawa nafsunya, ia berarti ta’at kepada Allah. Artinya, jika seseorang mengetahui nafsunya, ia akan bisa mengendalikannya.

Kitab ‘Ujb
      Mengetahui jiwa dan musuh-musuhnya belum cukup, mesti juga mengetahui bagaimana cara atau tipudaya musuh tersebut. Hal ini digambarkan oleh al-Mūhāsibi dalam Kitab ‘Ujub. ‘Ujub merupakan tipu daya jiwa yang menyerang kebanyakan manusia. Penyakit ini akan membuat perbuatan salah terasa indah dan baik, karena Ujub telah membutakan hatinya. Seorang yang memiliki penyakit ini akan menganggap ia berbuat baik dalam perbuatan salahnya, ia merasa sukses dalam kehancurannya, dan lain sebagainya.

Al-Muḥāsibi menyebutkan sebuah Hadits Nabi, yaitu ketika Nabi berkata kepada Abu Tsa’labah, “Hingga kamu melihat sifat kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dunia yang diutamakan, dan setiap orang yang bangga/takjub dengan pendapatnya sendiri; maka jagalah dirimu sendiri dan tinggalkanlah masyarakat ‘awam.” Beliau juga mengutip Hadits yang lain, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda; terdapat tiga hal yang membuat celaka; kikir yang dita’ati, hawa nafsu yang diikuti dan seseorang membanggakan dirinya sendiri (‘ujub).[42]
         
       Orang yang merasa bangga akan dirinya sendiri (‘ujub) ia akan merasa dirinya suci. Apabila dirinya sudah merasa suci, ia akan merasa dirinya sukses dan berhasil. Hal ini sesuai dengan firman Allah “falā tuzakkū anfusakum”(Janganlah engkau merasa dirimu suci).[43] Jika jiwa seseorang sudah dianggap bersih oleh dirinya, maka ia tidak akan bisa memuhasabah dirinya sendiri, dan dengan demikian ia tidak akan bisa mengetahui kecacatan dirinya.

Kitab al-Kibr
Bersanding dengan ‘Ujb, al-Muḥāsibi juga menjelaskan mengenai al-Kibr. Kibr atau takabur akan mengakibatkan kehancuran yang besar. Kibr juga akan menyegerakan siksaan Allah, mengingat tidak ada yang berhak untuk membesarkan diri kecuali Allah saja. Tidak ada yang layak dan boleh memiliki sifat kibr selain-Nya. Selain Allah adalah makhluk, sedangkan Allah adalah Khālik yang memiliki seluruh alam.

Dengan demikian, dosa dari sifat kibr di mata Allah sangatlah besar. Al-Muḥāsibi mengajurkan untuk mencermati Hadits riwayat Abu Hurairah, Rasullah bersabda; “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Kesombongan adalah selendangku, dan keagungan adalah kain (sarung) ku, barangsiapa bersaing (turut memiliki) dalam salah satu dari kedua hal tersebut, maka benar-benar akan aku lemparkan dia di dalam neraka”[44]

Takabur ini bisa bersumber dari ilmu, riya dan dari keadaan dunia. Takabur akan ilmu adalah ketika seseorang yang berilmu ‘ujub dengan ilmunya. Ia akan berbesar hati dan menyombongkan diri di depan orang awam. Dengan demikian, ia tidak akan bisa mengevaluasi ilmunya, dan pada akhirnya jika ia salah maka akan susah menerima kebenaran. Sementara takabur yang bersumber dari riya yaitu ketika seseorang menolak kebenaran yang dibawa oleh orang lain, dalam keadaan dia tahu orang tersebut benar. Ia menolak kebenaran tersebut karena ingin mempertahankan harga diri dan kesombongan agar dilihat oleh orang lain (riya).[45]  Sedangkan takabur dengan dunia adalah merasa sombong dengan apa yang dimiliki. Seperti sombong karena keturunan, karena kecantikan dan ketampanan, kekuatan harta dan banyaknya pengikut.[46] Demikianlah yang diajarkan oleh al-Muḥāsibī.

Kitab al-Ghurrah (ketertipuan)
Al-Muḥāsibi menjelaskan bahwa orang yang tertipu kepada Allah adalah orang-orang yang bermaksiat, orang-orang Kafir dan termasuk kaum Muslimin. Mereka adalah orang-orang yang telah menyianyiakan urusan Allah azza wa jalla.

Tertipu kepada Allah maksudnya, seseorang tertipu dengan ciptaan Allah, dengan ibadah, ilmu, sehingga mereka bermaksiat kepada Allah. Mereka menyangka bahwa diri mereka adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka telah mengkafirkan Allah ta’ālā, sedangkan mereka menyangka diri mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.

Al-Muḥāsibi mengklasifikasikan al-Ghurrah (ketertipuan seseorang) kepada dua bagian, yaitu tertipu dengan dunia sehingga melupakan atau tidak mempercayai akhirat, dan tertipu karena Allah atau akhirat. Tertipu dengan dunia adalah karena mengutamakan kehidupan dunia dibanding akhirat. Hal ini sesuai dengan firman Allah,
فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِٱللَّهِ ٱلۡغَرُورُ
“..Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah” (Q.S. luqman: 33)
وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلۡغُرُورِ
“..Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan” (Ali- Imran: 185)

Al-Mūḥāsibi menyebutkan bagaiman orang-orang kafir tertipu karena Allah. Ketertipuan mereka karena Allah disebabkan mereka melihat pemberian Allah di dunia sebagai penghormatan dan kemuliaan. Mereka mengira hal itu adalah karena kemurahan Allah sehingga merasa lebih baik dan lebih berhak daripada selain mereka. Setelah itu mereka meragukan akhirat. Orang-orang kafir tersebut berkata bahwa jika Allah memiliki tempat kembali, maka kami akan mendapatkan tempat yang lebih baik daripada selain golongan kami. Padahal mereka tertipu dengan lahiriyah dunia. Hal ini sebagaimana yang Allah firmankan dalam al-Qur’an; “..dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu" (Q.S. l-Kahfi: 36). Mereka adalah orang-orang yang tertipu dengan nikmat-nikmat Allah subhānahū wata’ālā.

Selain orang-orang kafir, banyak pula dari kalangan muslim yang tertipu karena Allah. Apabila mereka mengerjakan amal shaleh, lalu Allah meluaskan rizki mereka, mereka mencukupkan amalan shalehnya karena telah merasa diberi kehormatan dengan diluaskan rizki. Hal ini sebagaimana firman Allah, “..Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: "Tuhanku telah memuliakanku". (Q.S. al-Fajr: 15). Dalam hal ini, kaum Muslimin sama halnya dengan orang-orang kafir, mereka tertipu dengan lahiriyah dunia, walaupun kaum muslimin tidak mengingkari adanya akhirat sebagaimana diingkari oleh orang-orang kafir.

Kitab al-Hasad
Al-Muḥāsibi menjelaskan bahwa hasad adalah kebencian akan seseorang yang mendapatkan nikmat dan menginginkan nikmat itu hilang darinya. Hasad-hasad yang dimkasud seperti takabur, ‘ujub, dengki, permusuhan, marah, riya, mencintai kedudukan dan kepemimpinan, kikir jiwa untuk melaksanakan kebaikan.

Al-Muḥāsibi menjelaskan bagaimana hasud berada pada jiwa seseorang. Menurutnya, seseorang yang hasud akan meninggikan dirinya dibanding orang lain baik dalam urusan Agama ataupun Dunia. Allah berfirman, “Dan mereka berkata: "Mengapa Al Quran ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?.”[47] Apabila seseorang telah hasud, ia akan merendakan yang lain. Bersamaan dengan itu, ia juga menginginkan hilangnya kenikmatan pada diri orang lain, supaya mereka tidak meninggi derajatnya dengan kenikmatan itu. Dengan demikian, Hasud termasuk penyakit yang mesti dihindari seseorang untuk senantiasa berada dalam kebersihan hati dan keluruhan akhlak.

Kitab Ta`dīb al-Murīd (membina kecenderungan nafsu)
Di bagian akhir, Imam al-Mūḥāsibi mengingatkan kepada kita bahwa akan selalu ada fitnah dan cobaan setelah mendapatkan hidayah. Untuk itu beliau menganjurkan untuk bersikap istiqomah. Seperti dalam hal keseharian, beliau memberikan pelajaran pelajaran dari mulai bangun tidur hingga tidur lagi. Ketika tidur, dianjurkan untuk berwudlu dan berdo’a, dalam hal makan, minum dan lain sebagainya. Beliau juga mengingatkan kepada kita untuk senantiasa sering mendatangi masjid, terutama dalam waktu-waktu melaksanakan shalat berjama’ah. Kehidupan yang senantiasa dalam kebaikan dan ta’at akan membentengi dari godaan syaithan.

Kesimpulan
Imam al-Muḥāsibi merupakan sosok yang patut kita contoh. Beliau telah mengajarkan bagaimana seseorang bisa selamat dari berbagai rintangan Dunia. Halangan-halangan inilah yang menyebabkan kebanyakan manusia celaka, beliau menyebutnya sebagai penyakit-penyakit hati. Seperti, riya, hasud, ‘ujub takabur dan lain sebagainya. Penyakit-penyakit tersebut jika bersemayam dalam hati, maka rusaklah semua amal ibadah kita.

Selain itu, apa yang menjadi dasar dari ajaran al-Muḥāsibi adalah al-Qur’an, al-Sunnah, dan atsar Sahabat dan Tabi’in. Beliau tidak seperti sufi-sufi yang menggunakan jalan syatahāt (kesesatan-kesesatan dalam tasawuf), melainkan tasawuf yang dibawanya adalah tasawuf akhlaqī. Terlebih, ajarannya dirujuk oleh para Ulama setelahnya, seperti imam al-Qusyairi, al-Junayd, al-Hujwiri, termasuk Imam al-Ghazali. Hal ini mempertegas kesesuaiannya dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.

Terakhir, aspek ruhiyah merupakan aspek yang penting untuk diperhatikan. Hal ini ditegaskan oleh Nabi dalam Haditsnya, ketika beliau menjelaskan apabila sehat segumpal daging ini maka sehat seluruh amal-amalnya, itulah hati. Dalam al-Qur’an, Allah menjelaskan bahwa hati hal yang utama dalam diri manusia. Dengannya, perbuatan baik dan buruk akan dipilih. Allah memberitahu bahwa beruntunglah orang yang suka memberishkan hati, dan celakalah orang yang suka mengotorinya, (fa alḥamahā fujūrohā wataqwāha, qad aflahā man zakkāhā wa qad khāba man dassāhā). 

Oleh: Cep Gilang Fikri Ash-shufi

Daftar Pustaka
Abdul Karim bin Hawazin, al-Qusyairi. al-Risalah al-Qusyairiyah, Kairo: Dar al-Ma’arif.
Abu Abdillah Al-Haris, Al-Muhasibi. ed. by Abdul Halim Mahmud. 1119, al-Ri’ayah li Huquq Allah, Kairo: Dar al-Ma’arif.
Abu Abdurrahman, Al-Sulami. 1998, al-Thabaqat al-Shufiyyah, Dar al-Sya’b.
Abu Hamid, al-Ghazali. 2001, al-Munqidz min al-Dhalal, Washington: Jam’iyyah al-Bahts fi al-Qiyam wa al-Falsafah.
AL-Baghdadi, Khatib. Tarikh Baghdad, Beirut: Dar al-Kurub al-’Ilmiyyah.
al-Bukhāri Al-Ju’fī, Muhammad bin Ismā’il. ed. by Muhammad Zahir Nasir bin Nasir Al-Nasir. 1422, Al-Jāmi’ Al-Musnad Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Dār al-Ṭauq.
Al-Muḥāsibī, Abū ‘Abdillāh al-ḥārits. al-Ri’āyah li Ḥuqūqi Allāh, Beirut: Dar al-Kurub al-’Ilmiyyah.
Al-Nisaburi, Abdul Qasim Abdul Karim al-Qusyairi. 1989, al-Risālah al-Qusyairiyah, Kairo: Dar al-Sya’b.
Anwar, Hamdani. 1995, Sufi Al-Junaid, Jakarta: Fikahati Aneska.
Dkk., Kausar Azhari Noer. 2015, Warisan Agung Tasawuf, Jakarta: Sadra Press.
Farid, Al-Din ’Athar Nisaburi. ed. by Ahmad Aram. Tadzkiratu al-Auliya.
Ibn Katsīr al-Dimasyq. 1993, Ṭabaqāt al-Fuqahā al-Syāfi’iyyīn, Maktabah al-Tsaqāfah al-Dīniyyah.
Jasim, Aziz Sayyid. 1997, Mutashawwifah Baghdad, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-’Arabi.
Ustman bin Abdirrahman, Ibn Shalah. 1992, Thabaqat al-Fuqaha al-Syafi’iyah, Beirut: Dar al-Basyar al-Islamiyyah.


Terimakasih telah mengunjungi https://rukyatulislam.blogspot.com/




[1] Kausar Azhari Noer Dkk., Warisan Agung Tasawuf (Jakarta: Sadra Press, 2015). 7
[2] Dari deretan para khalifah di atas, Khalifah Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun merupakan dua khalifah yang menyemarakkan untuk menerjemahkan karya-karya yunani ke bahasa arab.
[3] Ibn Katsīr al-Dimasyq, Ṭabaqāt al-Fuqahā al-Syāfi’iyyīn (Maktabah al-Tsaqāfah al-Dīniyyah, 1993). 126
[4] Hadits yang diriwayatkan oleh al-Muḥāsibi adalah sabda Nabi, dari Abu Darda, Rasulullah bersabda;
أثقل ما يوضع في الميزان حسن الخلق Lihat: Al-Sulami Abu Abdurrahman, al-Thabaqat al-Shufiyyah (Dar al-Sya’b, 1998). 21
[5] Ibn Shalah Ustman bin Abdirrahman, Thabaqat al-Fuqaha al-Syafi’iyah (Beirut: Dar al-Basyar al-Islamiyyah, 1992). 1: 439
[6] Imam al-Ghazali mengatakan:
 أبو عبد الله الحارث بن أسد البغدادي المحاسبي من زهاد المتكلمين, والفقهاء المحدثين, وعلم من أعلام الزهد والورع
lihat: al-Ghazali Abu Hamid, al-Munqidz min al-Dhalal (Washington: Jam’iyyah al-Bahts fi al-Qiyam wa al-Falsafah, 2001). 216s
[7] Kitab ini merupakan Magnum opusnya al-Muḥāsibī
[8] Dzauq dan Hal adalah istilah-istilah dalam ilmu tasawuf yang menekankan aspek ruhaniyah, seperti tazkiyatunnafs, riyādlatunnafs dan lain sebagainya.
Lihat: ‘Abdul Qādir Aḥmad ‘Athā, Lumḥāt ‘an syakhsyiyyatihī, dalam Abū ‘Abdillāh al-ḥārits Al-Muḥāsibī, al-Ri’āyah li Ḥuqūqi Allāh (Beirut: Dar al-Kurub al-’Ilmiyyah). 5
[9] Abdul Qasim Abdul Karim al-Qusyairi Al-Nisaburi, al-Risālah al-Qusyairiyah (Kairo: Dar al-Sya’b, 1989). 15
[10] ‘Abdul Qādir Aḥmad ‘Athā, Lumḥāt ‘an syakhsyiyyatihī, dalam Al-Muḥāsibī, al-Ri’āyah li Ḥuqūqi Allāh. 10
[11] Abdul Halim Mahmud, Ustadz al-Sa’irin al-Harits ibn Asad alMuhasibi, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1992, hlm. 34-35.
[12] Teks arab: 
إنّه كان عديم النظير في زمانه علما وورعا ومعاملة وحالا
al-Qusyairi Abdul Karim bin Hawazin, al-Risalah al-Qusyairiyah (Kairo: Dar al-Ma’arif). 1:51
[13] Beliau menulis dalam kitabnya:
كان الحارث المحاسبي إذا مدّ يده إلى طعام فيه شبهة تحرق على أصبعه عرق فكان يمتنع منه
 Lihat: Al-Nisaburi, al-Risālah al-Qusyairiyah. 57
[14] Hadits Nabi;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ اللَّهَ قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ: كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ، وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ المُؤْمِنِ، يَكْرَهُ المَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ "
lihat: Muhammad bin Ismā’il al-Bukhāri Al-Ju’fī, Al-Jāmi’ Al-Musnad Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, ed. by Muhammad Zahir Nasir bin Nasir Al-Nasir (Dār al-Ṭauq, 1422). 8: 105
[15] Ia kemudian membawa warisan ayahnya ke baitul mal dan menyerahkannya sambil menyebutkan sabda Nabi, qadariyyah adalah majusinya ummat ini (al-Qadariyyah majūsu hādzihi al-Ummah). Lihat : Al-Din ’Athar Nisaburi Farid, Tadzkiratu al-Auliya, ed. by Ahmad Aram. 291
[16] Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
لا يتوارث أهل الملّتين شتّى  diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam al-Musnad (2/178), Abu Dawud (2911), al-Baihaqi dalam al-Sunan (6/218), al-Khatīb dalam Tārikh Baghdād (5/290), Ibnu Majah (2731), al-Hākim (4/345) dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya.
[17] Al-Qusyairi mengomentari peristiwa tersebut, menurutnya, hal itu menunjukan beberapa hal. Pertama, keluarga al-Muḥāsibī merupakan keluarga yang kaya. Kedua, bahwa ayah al-Muḥāsibī pada waktu itu merupakan orang yang bergabung ke dalam perdebatan dalam dunia kalam. Ketiga, sikap wara’ al-Muḥāsibi yang membuatnya tidak mengambil warisan dari Ayahnya didasari karena ketakwaan.  Al-Nisaburi, al-Risālah al-Qusyairiyah. 6
[18] Lihat: Aziz Sayyid Jasim, Mutashawwifah Baghdad (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-’Arabi, 1997). 99
[19] Ibid. 99
[20] Farid, Tadzkiratu al-Auliya. 290
[21] ‘Abdul Qādir Aḥmad ‘Athā, Lumḥāt ‘an syakhsyiyyatihī, Al-Muḥāsibī, al-Ri’āyah li Ḥuqūqi Allāh. 7
[22] Abdul Qadīr Ahmad ‘Athā dalam, Ibid. 8
[23] Teks arab:
كَانَتْ رَكَائِزُ النُّزْعَةِ الْعَقْلِيّةِ الرَّاسِخَةِ لَدَى الْمُحَاسِبِيْ قَدْ أَبْعَدَتْهُ عَنِ الشَّطْحِ 
 Jasim, Mutashawwifah Baghdad. 110.
Syatahāt adalah perkataan ganjil yang keluar dari lisan seorang sufi ketika berada dalam kondisi ekstase (pen.)
[24] Abū Hāmid Muhammad bin Muhammad al-Ghazālī, al-Munqidz min al-Dlalal, (Lebanon: Dār al-Fikr, 1996). 68
[25] Hamdani Anwar, Sufi Al-Junaid (Jakarta: Fikahati Aneska, 1995). 25
[26] Khatib AL-Baghdadi, Tarikh Baghdad (Beirut: Dar al-Kurub al-’Ilmiyyah). 8:209
[27] Teks Arab:
فَعَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَقُوْمُوْا بِمَا أَوْجَبَ اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِمْ فِي أَنْفُسِهِمْ وَفِيْمَنْ اِسْتَرْعَوْهُ. فَالْإِمَامُ رَاعٍ عَلَى النَّاسِ يَجِبُ عَلَيْهِ حِفْظُ مَااسْتَرْعىَ مِنْ أُمُوْرَهُمْ وَكَذَلِكَ الْخَاصَّة وَالْعَامَّة. أَلَا َتَرَى عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ: لَوْ أَنَّ سَخْلَةً ضَاعَتْ بِشَاطِئِ الفُرَاتِ لَخَشِيْتُ أَنْ يَسْأَلَنِى اللهُ عَزَّ وَجَلَّ. وَكُلُّ حَقٍّ أَوْجَبَهُ اللهُ جَلَّ وَعَزَّ عَلَى عِبَادِهِ فِي خَاصَّةِ أَنْفُسِهِمْ أَوْ فِيْمَا أَوْجَبَ لِبَعْضِهِمْ عَلَى بَعْضٍ فَقَدْ أَمَرَهُمْ بِحِفْظِهِ وَالْقِيَامِ بِهِ وِذلِكَ رِعَايَةُ حَقِّهِ الَّذِيْ افْتَرَضَهُ عَلَيْهِمْ وَالْقِيَامُ بِهِ.
Al-Muhasibi Abu Abdillah Al-Haris, al-Ri’ayah li Huquq Allah, ed. by Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1119). 37
[28] Hak-hak Allah adalah kewajiban-kewajiban seorang hamba. Menunaikan hak-hak Allah adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan Allah.
[29] Abdul Halim Maḥmud, muqaddimah kitab Abu Abdillah Al-Haris, al-Ri’ayah li Huquq Allah. 14
 [30] إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكۡرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلۡبٌ أَوۡ أَلۡقَى ٱلسَّمۡعَ وَهُوَ شَهِيدٞ
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (Q.S. Qaf: 37)
[31] Al-Muḥāsibī, al-Ri’āyah li Ḥuqūqi Allāh. 30
[32] Sufyān bin ‘Uyainah, dalam Ibid. 30
[33] H.R. Al-bukhari
[34] Teks Arab:
فَعَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَقُوْمُوْا بِمَا أَوْجَبَ اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِمْ فِي أَنْفُسِهِمْ وَفِيْمَنْ اِسْتَرْعَوْهُ. فَالْإِمَامُ رَاعٍ عَلَى النَّاسِ يَجِبُ عَلَيْهِ حِفْظُ مَااسْتَرْعىَ مِنْ أُمُوْرَهُمْ وَكَذَلِكَ الْخَاصَّة وَالْعَامَّة. أَلَا َتَرَى عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ: لَوْ أَنَّ سَخْلَةً ضَاعَتْ بِشَاطِئِ الفُرَاتِ لَخَشِيْتُ أَنْ يَسْأَلَنِى اللهُ عَزَّ وَجَلَّ. وَكُلُّ حَقٍّ أَوْجَبَهُ اللهُ جَلَّ وَعَزَّ عَلَى عِبَادِهِ فِي خَاصَّةِ أَنْفُسِهِمْ أَوْ فِيْمَا أَوْجَبَ لِبَعْضِهِمْ عَلَى بَعْضٍ فَقَدْ أَمَرَهُمْ بِحِفْظِهِ وَالْقِيَامِ بِهِ وِذلِكَ رِعَايَةُ حَقِّهِ الَّذِيْ افْتَرَضَهُ عَلَيْهِمْ وَالْقِيَامُ بِهِ.
Abu Abdillah Al-Haris, al-Ri’ayah li Huquq Allah. 37
[35] Al-Muḥāsibī, al-Ri’āyah li Ḥuqūqi Allāh. 41
[36] Ibid. 36
[37] Ibid. 15
[38] Hadits riwayat Ibnul Mubarak dalam kitab al-Zuhd. 160. Ibid. 162
[39] Ibid.160
[40] Ibid. 157
[41] Ibid. 309
[42] Ibid. 336
[43] al-Najm : 32
[44] Haditsnya (teks arab);
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: الْكِبْرِيَاءُ رِدَائِي، وَالْعَظَمَةُ إِزَارِي ، فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا، قَذَفْتُهُ فِي النَّارِ .
(Hadist diriwayatkan oleh Abu Dawud, begitu juga oleh Ibn Majah dan Imam Ahmad, dengan sanad yang shahih)
[45] Al-Muḥāsibī, al-Ri’āyah li Ḥuqūqi Allāh. 390
[46] Ibid. 393
[47] وَقَالُواْ لَوۡلَا نُزِّلَ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانُ عَلَىٰ رَجُلٖ مِّنَ ٱلۡقَرۡيَتَيۡنِ عَظِيمٍ ( الزخرف : 31)