Al-Muhasibi, nama lengkapnya Abu Abdillah Al-Harits bin Asad
al-Baghdādī al-Muḥāsibi. Beliau lahir pada tahun 165 H/ 781 M di Bashrah. Pada
masanya, Islam sedang berada dalam kejayaannya, yaitu pada abad pertengahan
ketika khilafah Abbasiah mengalami masa keemasannya.[1] Ketika itu, tahun 165-243 H./781837 M, di Baghdad, merupakan era
kepemimpinan al-Mahdi (775-785 M.), al-Hadi (785-786 M.), Harun al-Rasyid
(786-909 M.), al-Amin (809-813), al-Ma’mun (813-833 M.), dan al-Mu’tashim
(833-842). Di era ini, disiplin ilmu tumbuh dan berkembang, bukan hanya
teologi, fikih, ushul fikih, dan tasawuf, melainkan juga sastra dan seni. Sebab
pada waktu itu, khalifah ikut mendorong pengembangan ilmu pengetahuan.[2]
Al-Muhasibi merupakan salah seorang guru para Sufi, termasuk guru
dari al-Junaid al-Baghdādi. Ia dijuluki al-Muhasibi karena banyak menghisabi
diri.[3] Syaikh Abu 'Amr Ibnu Shalah berkomentar dalam kitabnya
at-Thabaqat, “beliau (al-Muhāsibī) adalah seorang imam kaum Muslimin dalam
bidang fiqh, tashawwuf, hadits,[4] dan kalam.”[5] Selaras dengan Ibnu Shalāḥ, Imam Al-Ghazālī juga mengatakan, “Abu
‘Abdillah al-Hārits bin Asad al-Muḥāsibī al-Baghdādī menguasai ilmu kalam, ilmu
fikih, ahli hadits, serta dikenal sebagai tokoh yang zuhud dan wara’.”[6]
Abdul Qādir Aḥmad ‘Athā, dalam pengantar kitab al-Ri’āyah li Ḥuqūqi
Allah[7]
mengatakan bahwa Imam al-Muḥāsibī adalah seorang sufi yang mendasarkan
tasawufnya kepada ilmu, dzauq dan hāl.[8] Selain itu, ia juga ahli dalam bidang akidah, baik secara dzauq,
i’tiqad ataupun secara ilmu. Beliau juga seorang ahli fikih dalam madzhab imam
al-Syāfi’ī. Ia juga seorang ahli Hadits yang meriwayatkan dari banyak ulama
Hadits, dari thabaqah yazid bin Harun. Hal itu menunjukkan keagungan beliau.
Abu Abdillah bin Khafif berkata; “bergurulah kalian kepada lima
dari guru-guru kami, yaitu al-Hārits al-Muḥāsibī, al-Junayd, Ruwaim, Ibnu ‘Atha
dan ‘Amr bin Utsman al-Makki. Mereka adalah orang-orang yang menguasai Ilmu dan
Hakikat.”[9] ‘Abdul Qādir Aḥmad ‘Athā menyebutkan lagi dalam pengantar kitab al-Ri’āyah
li Huqūq Allah, bahwa Beliau (al-Muḥāsibī) layak disebut sebagai pelopor
madzhab spiritualitas yang berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah dan akal dalam
kesatuan yang harmonis. Dengan kesadaran spiritualitas ini, setiap jiwa-jiwa
akan ditundukan kepada Allah subhānahū wata’ālā. Dengan begitu, seorang hamba
dapat menuju Allah dan menggapai keselamatan.[10]
Jika diperhatikan, masa hidupnya al-Muhasibi sesungguhnya satu
generasi dengan para pendiri Madzhab Fikih. Seperti Imam Malik bin Anas, lahir
pada tahun 95 H dan wafat pada 179 H. Walau usinya terpaut jauh dengan
al-Muhāsibi, namun beliau masih sezaman dengan Imam Malik, mengingat
al-Muhāsibi sudah lahir sejak tahun 165 H.
Sementara itu, al-Muḥāsibi terpaut lebih muda 15 tahun dari Imam
al-Syāfi’ī, karena al-Syāfi’ī lahir pada tahun 150 H dan wafat 204 H. Berbeda
dengan Imam Malik dan Imam al-Syāfi’ī yang jarak umurnya cukup jauh, al-Muḥāsibi
lebih muda satu tahun dari Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau lahir pada tahun 164
H, sementara al-Muhāsibi lahir pada tahun 165 H. Adapun dengan imam Abu
Hanifah, al-Muḥāsibi tidak sezaman, karena beliau sudah wafat pada tahun 150 H,
ketika Imam al-Syāfī’i lahir.[11]
Imam Al-Muḥāsibi meninggal pada tahun 243 H/ 837 M di Baghdad.
Wafatnya beliau merupakan sebuah kesedihan yang mendalam bagi kaum Muslimin
saat itu. Hal itu tidak lain karena sosok beliau yang sangat inspiratif dan
berpengaruh. Bahkan Imam al-Qusyairi mengatakan, “Innahū kāna ‘adīm al-naẓīr
fī zamānihī ‘ilman wa wara’an wa mu’āmalatan wa hālan.” (Al-Muḥāsibi memang
tidak ada bandingnya, baik dari segi ilmunya, pergaulannya, maupun hal ihwal
kesehariannya). [12] Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada beliau.
Gelar al-Muḥāsibī
Imam Abu Abdillah al-Hārits ini digelari al-Muḥāsibī karena
kegetolannya dalam bermuhasabah diri (muhasabah bi nafsih). Ia
senantiasa memperhatikan perbuatannya sendiri agar tidak terjerumus pada
perbuatan dosa dan kemaksiatan. Bahkan dalam hal-hal yang syubhat pun ia
senantiasa mawas diri. Akhlaknya ini selalu ia perlihara sehingga Allah
memberikan sebuah kemuliaan kepadanya dengan cara senantiasa dihindarkan dari
perbuatan dosa. Pemberian Allah tersebut merupakan hijab antara dirinya dan
dosa. Ia seakan tidak bisa melakukan dosa dan bahkan mengambil yang
syubhat-syubhat.
Tentang kemuliaan al-Muḥāsibi, Imam al-Qusyairi pernah
menceritakannya. Menurutnya, bila al-Muḥāsibī menjulurkan tangannya untuk
memegang makanan yang mengandung syubhat, pembuluh darah pada tangan itu
bergerak-gerak untuk mencegahnya mengambil makanan itu.[13] Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah dalam riwayat al-Bukhari,
bahwa ketika seseorang telah dicintai Allah karena taqarrubnya, maka Allah akan
menjadi tangannya (hamba tersebut) yang digunakan untuk bekerja, Allah akan
menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.[14] Maksud dari hadits itu bahwa seseorang akan senantiasa diarahkan
kepada kebaikan dan dihindarkan dari kemaksiatan dan dosa.
Pada kasus yang lain, al-Muḥāsibi tidak mau menerima warisan dari
ayahnya padahal warisan tersebut sangat banyak, yaitu senilai 70 ribu dinar. Ia
menolak warisan tersebut karena ayahnya seorang qadariyah[15], sebagai pengamalan dari petunjuk Nabi ketika Beliau shallallāhu
‘alaihi wasallam menyatakan bahwa diharamkan saling mewarisi di antara dua
pemeluk agama atau keyakinan yang berbeda.[16] Selain itu, sikapnya tersebut dalam rangka mengamalkan akhlak yang
mulia yaitu sikap wara’ dan zuhud. Ia tidak mau bergelimang harta sehingga
tidak repot memikirkan dunia, mengatur dan menjaganya.[17] Dengan demikian, sangat pantas jika gelar al-Muḥāsibi ini disematkan
kepada al-Hārits.
Perjalanan Intelektual Al-Muḥāsibī
Saat di Bashrah, ia sudah memiliki kecenderungan aspek-aspek
ruhiyah dalam agama. Ia kemudian memperdalam keilmuan yang berkaitan dengan hal
itu di Baghdad. Perpindahannya dari Bashrah ke Baghdad, merupakan awal fase
kehidupannya yang baru, yaitu ia melakukan perdebatan dalam berbagai bidang
keilmuan, seperti dalam filsafat, fikih, hadits, ilmu kalam dan tashawwuf. Jika
jasadnya dilahirkan di bashrah dan ia tumbuh di sana, maka kelahiran hakikinya
sebagai seorang tokoh sejarah yang fenomenal adalah di Baghdad.[18]
Guru-gurunya yang terkenal dalam bidang Hadits adalah, Hasyīm,
Syarīh bin yunus, Yazid bin Harun, Abu al-Nadlār, Hajjāj, Sanīd bin Dāwud. Ia
juga berguru kepada Imam al-Syāfi’ī dalam rihlah kedunya ke Baghdad (pada tahun
195 H). Selain itu, Ia belajar ilmu bahasa dan ilmu al-Qur’an kepada Abu Ubaid
al-Qāsim bin Salām, penulis dua kitab yang masyhur (gharīb al-Hadīts dan
al-Amwāl). Adapun guru yang paling utamanya bagi al-Muḥāsibi adalah Yazīd bin
Hārūn.[19]
Selain mempelajari Hadits, al-Qur’an dan ilmu bahasa, beliau juga
memperdalam ilmu ruhiyahnya. Dalam kitab tadzkiratul auliyā disebutkan bahwa,
al-Muḥāsibī mengkhususkan pencarian ilmunya dalam memperdalam ilmu tauhid, ilmu
mujāhadah, dan ilmu musyāhadah.[20]
Corak Pemikiran Tasawuf al-Muḥāsibī
Terkait dengan corak pemikiran al-Muḥāsibi, Abdul Qadīr Ahmad ‘Athā
menjelaskan bahwa pada masa al-Muḥāsibī terdapat dua madrasah pemikiran. Pertama,
madrasah atau madzhab Ahlu Sunnah yang pionernya waktu itu adalah Imam
Ahmad bin Hanbal. Madzhab ini berdiri di atas dasar-dasar agama. Agama dipahami
berdasarkan nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah yang ditafsirkan berdasarkan
asbāb al-Nuzūl. Berbeda dengan madzhab Ahlu Sunnah, madzhab kedua adalah
Mu’tazilah. Dalam madzhab ini, agama hanya ditafsirkan dengan akal.[21]
Pemikiran Islam tidak cukup mengandalkan nash, asbab nuzul dan
pemahaman akal. Mengingat, Agama Islam memiliki khazanah yang sangat luas dan
cakupan yang sangat mendalam. Oleh karena itu, lahirlah madzhab ke tiga pada
waktu itu, yaitu madzhab spiritualitas (dzauq al-Rūḥī), yang menghimpun
nash, akal dan dzauq wijdan. Madzhab inilah yang dipelopori oleh al-Ḥārits bin
Asad al-Muḥāsibī.[22]
Tasawuf al-Muḥāsibi merupakan tasawuf akhlaqī yang berdasarkan
kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Beliau lebih menekankan kepada pembinaan akhlak
dan moralitas. Hal ini bisa dilihat dalam karya-karyanya, di mana
rujukan-rujukannya adalah al-Qur’an, al-Sunnah dan Atsar para Sahabat. Syaikh
Aziz Jasim mengatakan bahwa, “pilar-pilar mentalitas al-Muḥāsibī yang sudah
mendarah daging telah menjauhkannya dari syatahāt”.[23] Hal ini menandakan kesesuaian ajarannya dengan syari’at.
Selain itu, tasawuf akhlaqi-nya imam al-Muḥāsibī juga dikomentari
oleh imam Al-Ghazālī. Beliau mengatakan, “al-Muḥāsibī khairu ‘l-Ummah fī
‘ilmi ‘l-mu’āmalah wa lahū ‘s-sabaq ‘alā jamī’ ‘l-bāhitsīn ‘an ‘uyūbi ‘n-nafs
wa āfāti ‘l-a’māl wa a’wāri ‘l-‘ibādāt”. (Al-Muḥāsibī adalah orang terbaik
di bidang mu’amalah. Dia telah melampaui para Ulama lain dalam membahas cacat
jiwa, bahaya amal dan ibadah-ibadah yang rusak).[24]
Selaras dengan al-Ghazāli, Dr. Hamdani Anwar mengatakan bahwa al-Muḥāsibī
telah mengingatkan murid-muridnya agar menjauhi syathahāt, karena syathahāt
bisa berujung pada kesesatan.[25] Beliau tidak seperti sufi-sufi lainnya yang mengagung-agungkan
ittihād atau hulūl (penyatuan dengan Allah). Meski terdapat tuntutan dari
berbagai golongan agar beliau menyentuh ranah-ranah tersebut (syataḥāt), Al-Muḥāsibi
tetap pada pendiriannya yaitu fokus pada pendalaman dan perbaikan akhlak.
Namun, walaupun tasawuf menekankan aspek spiritualitas, tidak
berarti selurhunya abstrak, melainkan terdapat aspek-aspek ‘aqliyyah. Al-Muḥāsibi,
sebagai seorang anak dari ayahnya yang Mu’tazilah, tidak terlepas dari doktrin
‘aqilyyah dari ayahnya. Namun, berbeda dengan ayahnya yang rasionalis, al-Muḥāsibi
menjadikan akal untuk menyerap bimbingan dan petunjuk Allah. Al-Muḥāsibi
berkata, “likulli syai`in jauhar wa jauharu ‘l-Insān al-‘aql wa jauharu ‘aql
al-Taufīq”. (segala sesuatu punya inti. Inti manusia adalah akalnya, dan
inti akal adalah taufiq/bimbingan dari Allah).[26] Dengan demikian, tepat jika dikatakan tasawuf al-Muḥāsibī sesuai
dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Karya-karya al-Muḥāsibi
Al-Muḥāsibi terkenal sebagai seorang Sufi yang menguasai berbagai
keilmuwan. Al-Khatib mengatakan bahwa al-Muḥāsibī menulis banyak kitab mengenai
zuhud, pokok-pokok agama, dan bantahan terhadap mu’tazilah dan Rafidhah. Imam
As-Sabki menyebut bahwa karya-karya al-Muḥāsibī mencapai 200 karya. Abdul Halim
Mahmud mengungkap kitab-kitab al-Muḥāsibī, yaitu al-Ri’āyah li Ḥuqūqi Allah,
al-Waṣāyā, Māhiyatu al-‘Aqli wa Ma’nāhu, kitāb al-Tawahhum, Ādābu al-Nufūs,
al-Makāsib wa al-Wara’ wa al-Syubhah wa Bayān Mubāḥihā wa Maḥẓūrihā, risālah
al-Musytarsyidīn, al-‘Aql wa fahmu al-Qur’ān, al-Masā`il fī A’māl al-Qulūb wa
al-Jawāriḥ wa al-Makāsib wa al-‘Āql, Bad`u man Anāba Ila Allah, Fashlun min
Kitāb Al-‘Uzhmah, Kitāb al-‘Ilm, Risālah fī al-Taṣawwuf dan lain-lain. Dari
karya-karyanya tersebut, karya terpentingnya tentang tasawuf adalah kitab
al-Ri’āyah li Ḥuqūq Allah.
RESUME KITAB AR RI’AYAH LI HUQŪQILLAH, KARYA IMAM AL-MUḤĀSIBI
Mengenai nama kitab ini, Imam al-Muḥāsibī memberikan penjelasan di
awal penulisannya (kitab al-Ri’āyah). Beliau mengatakan,
“Wajib bagi hamba-hamba Allah mengerjakan apa yang diwajibkan Allah
kepada mereka, baik yang terkait dengan diri mereka atau orang-orang yang
berada dalam tanggung-jawab mereka. Pemimpin adalah penggembala umat manusia yang
diwajibkan untuk menjaga seluruh urusan orang-orang gembalaannya, khusus maupun
umum. Perhatikan apa yang dikatakan Umar Ibn Khattab, “sekiranya seekor domba
hilang di pinggir sungai Efrat, aku khawatir Allah akan meminta
pertanggung-jawaban kepadaku.” Setiap yang diwajibkan Allah atas hambanya baik
yang terkait dengan dirinya atau terkait dengan relasi satu kelompok pada
kelompok lain, maka Allah telah memerintahkan agar mereka menjaga dan
melaksanakannya. Itulah makna dari memelihara hak Allah yang diwajibkan atas
mereka”.[27]
Dalam kutipan di atas, al-Muḥāsibi menjelaskan bahwa maksud dari ri’āyah
li ḥuqūqillāh adalah menjaga kewajiban setiap hamba. Menjaga dan
melaksanakan kewajiban tersebut terbagi kepada dua bagian; pertama, kewajiban
dirinya kepada Allah secara langsung, dan; kedua kewajiban dirinya
terhadap sesama manusia. Al-Muḥāsibi mengutip perkataan Umar bin Khattab bahwa
menjaga kewajiban itu seperti seorang pengembala domba/kambing, ia akan
berusaha mengawasi dan menjaganya.
Selain itu, Abdul Halim Mahmud, editor kitab ini, menyebut bahwa
isi kandungan kitab al-Ri’āyah sangat bermanfa’at untuk menunaikan apa yang
menjadi hak-hak Allah.[28] Beliau mengatakan, al-Ri’āyah wahuwa bi al-nisbah lil-Muḥāsibī
ka Iḥyā ‘ūlūm al-dīn bi al-nisbah lil-Ghazālī. wa qad hāwala al-Muḥāsibī anna
al-ri’āyah fīhi al-ṭarīq al-ladzī yuḥaqqiq al-ri’āyah li-ḥuqūq Allah.
(Kitab al-Ri’āyah li Huqūq Allah dari segi kedalaman kandungannya laksana Ihyā
‘ulūm al-dīn karya Imam al-Ghazālī. Al-Muḥāsibī telah berusaha menjelaskan dalam
kitab tersebut sebagai jalan untuk mewujudkan terjaganya hak-hak Allah ta’ālā).[29] Pantas saja jika Kitab ini disebut-sebut sebagai magnum opus imam
al-Muḥāsibī.
Rujukan
Kitab
Jika kita mencermati isi dari kitab al-Ri’āyah ini maka kita akan
melihat banyak kutipan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi. Dalam fihris
(daftar pustaka) disebutkan terdapat 219 Hadits yang dipakai rujukan. Selain
itu, banyak juga kutipan-kutipan ayat al-Qur’an. Kedua nash tersebut dapat
dikatakan sebagai rujukan utama imam Al-Muḥāsibi dalam menulis kitab ini.
Selain merujuk kepada al-Qur’an dan al-Hadits, Al-Muḥāsibi juga
banyak merujuk pendapat para Sahabat dan Tābi’in
dalam menjelaskan ajaran-ajarannya. Tercatat kurang lebih 219 atsar yang
termaktub dalam kitab al-Ri’āyah ini. Penjelasan-penjelasan al-Muḥāsibī tentang
menjaga hak-hak Allah memadukan nash-nash al-Qur’an, al-Hadits, atsar Sahabat
dan Tābi’in, dan mempertajamnya dengan penekanan-penekanan spiritualitas (dzauq
al-Wijdan).
Resume
al-Ri’āyah li Huqūq Allah
Kitab al-Ri’āyah karangan al-Muḥāsibi yang di-taḥqīq (edit)
oleh Abdul Qādir Ahmad ‘Athā memiliki sembilan pembahasan. [1]. Pendahuluan,
[2]. Kitab Riya, [3]. Kitab al-Ikhwān wa Ma’rifatunnafs, [4]. Kitab al-Tanbīh,
[5]. Kitāb al-‘Ujub, [6]. Kitab al-Kibru, [7]. kitab al-Ghurrah, [8]. kitab
al-Hasad, [9]. Kitab Ta`dīb al-Murīd.
Muqaddimah
Di bagian muqaddimah, Al-Muḥāsibī memberikan pengantar mengenai penjagaan
akan hak-hak Allah. Pertama-tama, Beliau menganjurkan untuk bisa menyimak
dengan baik (husnul istima’) sebelum menela’ah kitab ini. Beliau berharap,
dengan husnul istima’, setiap orang yang membaca al-Ri’āyāh ini
mendapatkan petunjuk dari Allah dan mendapatkan sesuatu yang bermanfa’at.
Seseorang yang mendengarkan sesuatu sebagaimana ia mencintai Allah, maka ia
akan mendapatkan peringatan atau nasihat. Al-Mūḥāsibī kemudian menyebutkan
firman Allah surat Qaf ayat 37,[30] dan ayat-ayat lainnya, seperti al-a’rāf: 204, al-Zumar: 18, al-Aḥqāf:
29 dan al-Isrā: 47.
Al-Muḥāsibī kemudian menjelaskan lebih mendalam mengenai husnul
istimā. Dengan mengutip pendapat Wahab Bin Munabbah, husnul istima’
adalah tenangnya anggota badan, menundukkan pandangan, telinga yang
mendengarkan, menghadirkan pikiran, dan bertekad untuk mengamalkan.[31] Selain Wahab bin Munabbah, Sufyan bin ‘Uyainah juga dikutip oleh
al-Muḥāsibi. Beliau mengatakan, awwalu ‘l’ilmi ḥusnu ‘l-istimā’, tsumma
‘l-fahmu, tsumma ‘l-hifzhu, tsumma ‘l-‘amalu, tsumma ‘n-nasyru.[32] (Mendapatkan ilmu itu pada
awalnya adalah dari baik mendengarkan, kemudian memahami, menghafal,
mengamalkan lalu menyebarkan).
Hal yang berharga dari Husnul Istima’ adalah tekad kuat
dalam menuntut ilmu. Seseorang yang berusaha mencurahkan kemampuan yang ia
miliki untuk mendapatkan ilmu menunjukan keinginannya yang kuat akan ilmu.
Dalam hal ini, Allah akan melihat kesungguh-sungguhan dan keinginan thālib
al-‘ilm (pencari ilmu). Itulah yang ditekankan oleh al-Muḥāsibi di awal
kitabnya (al-Ri’āyah).
Selanjutnya, dalam bagian pendahuluan ini, imam al-Muḥāsibi
menjelaskan apa saja hak-hak Allah yang mesti dijaga secara terperinci.
Pertama-tama beliau menyebutkan bahwa menjaga hak-hak Allah merupakan hal
sangat penting. Mengingat, hal inilah yang sering dilupakan oleh kebanyakan
orang. Ini pula yang menjadi urusan dan perhatian para Nabi dan
pengikut-pengikutnya. Merekalah yang menjaga janji-janji dan wasiat-Nya.
Setelah itu, Beliau menjelaskan bahwa setiap perintah Allah yang
mesti dilaksanakan atau ditinggalkan mesti dijaga atau dipelihara. Hal inilah
yang dimaksud menjaga hak-hak Allah. Jika hak Allah tersebut berkaitan dengan
perintah untuk dilaksanakan maka mesti dilaksanakan, dan jika berkaitan dengan
larangan maka mesti ditinggalkan. Seperti dalam sabda Nabi bahwa setiap kalian
adalah penjaga (rā’in) dan setiap kalian akan dimintai
pertanggungjawaban atas penjagaannya (kepemimpinannya).[33]
Dalam pendahuluan ini, terdapat beberapa pembahasan tersendiri yang
cukup panjang. Di antaranya; Pertama, bab tentang menjaga hak-hak Allah.
Pada bab ini dijelaskan bahwa hak-hak Allah adalah kewajiban setiap hamba yang
telah ditentukan dalam syari’at-Nya. Kedua, bab tentang mengetahui
takwa. Ketiga, bab tentang wara’. Keempat, bab tentang
orang-orang yang tertipu. Kelima, bab tentang muhāsabah. Keenam,
bab tentang hal yang mendorong untuk bertaubat dan meninggalkan dari
terus-menerus berbuat maksiat. Ketujuh, bab tentang mengetahui hak-hak Allah,
dan lain-lain. Pada akhir muqaddimah ini, dijelaskan bab tentang persiapan
kematian.
Jika dicermati,
al-Muḥāsibi ingin menekankan bahwa inti dari menjaga hak-hak Allah adalah untuk
mencapai derajat takwa. Takwa dalam pengertian al-Muḥāsibi adalah menjauhi
syirik (menyekutukan Allah) dan hal-hal yang di bawah syirik, seperti dari
segala larangan Allah, atau menyia-nyiakan kewajiban yang telah ditetapkan-Nya.
Hal ini sama
dengan penjelasan ringkas al-Muḥāsibi mengenai menjaga hak-hak Allah
sebagaimana di atas, yaitu; “Setiap yang diwajibkan Allah atas hambanya, maka
Allah telah memerintahkan agar menjaga dan melaksanakan kewajiban tersebut.
Itulah makna dari memelihara hak Allah”.[34]
Selain takwa, beliau juga menekankan tentang wara’. Hal ini
menunjukan bahwa wara’ dalam pandangan al-Muḥāsibi merupakan buah dari takwa.
Seorang yang benar-benar bertakwa akan bisa meninggalkan hal-hal yang dibenci
oleh Allah. Dalam hal ini, wara’ mencerminkan tingkatan takwa yang tinggi.
Al-Muḥāsibi berkata, al-wara’ mujānabatu mā karaha Allah jalla wa ‘azza.
“wara adalah menjauhi hal-hal yang dibenci Allah”.
Lebih lanjut, al-Muḥāsibi menjelaskan bahwa orang yang wara’ adalah
orang yang tidak tertipu dengan amal-amalnya. Seorang muslim melaksanakan
shalat, zakat, shaum, haji, belajar, bekerja, melaksanakan amanah kepemimpinan,
tidak semata-mata untuk mendapatkan kesenangan dunia, mendapatkan penghormatan
dari manusia, dan mendapatkan harta. Melainkan mereka adalah orang-orang yang
ikhlas. Mereka adalah orang-orang yang memberikan kesungguh-sungguhan hati dan
raga hanya kepada Allah. Semua raga yang Allah titipkan baik tangan, kaki,
mata, dan lain sebagainya tidak dipakai untuk melaksanakan hal-hal yang dibenci
Allah.[35]
Kitab Riyā
Setelah berusaha mengamalkan, mendekatkan diri dan menjaga hak-hak
Allah subhānahū wata’ālā, al-Mūḥāsibi menganjurkan untuk menjaga hati.
Menurutnya, hati seseorang tidak terlepas dari dua keadaan. Pertama,
hati yang ketika di dunia takut kepada Allah; dan kedua, hati yang
ketika di Dunia lupa pada Allah, ia tertipu namun merasa aman.[36]
Untuk menjaga hati agar tidak tertipu dengan dunia dan melupakan
Allah adalah dengan mewaspadai penyakit riya. Riya, sebagaimana umum diketahui,
adalah motif duniawi dalam pelaksanaan ibadah. Seakan-akan mengerjakan amal
shaleh, namun dalam hatinya mengharapkan tujuan-tujuan selain Allah, atau
selain tujuan ukhrawi. Pembahasan ini paling panjang dalam kitab al-Ri’āyah
karena dalam pandangannya merupakan sesuatu yang sangat berbahaya. Ia bisa
merusak amal-amal seseorang. Ketika amal seseorang telah rusak maka tersisalah
kejelekan-kejelekannya, sementara kebaikannya berkurang dan menjadi sedikit.[37]
Al-Muḥāsibi menjelaskan lebih lanjut mengenai riya. Menurutnya,
riya penyebab celakanya setiap hamba, sebagaimana dalam hadits Nabi bahwa untuk
selamat dari adzab neraka adalah menjauhi riya. Dalam kasus lain, Nabi
menjelaskan 3 keadaan orang yang celaka karena motif dari amalan duniawinya. Pertama,
orang yang berperang di jalan Allah namun ingin disebut sebagai seorang
pemberani, pahlwan dan lain sebagainya. Kedua, orang yang membaca
al-Qur’an karena ingin disebut sebagai ‘ālim. Ketiga, orang yang
bersedekah karena ingin disebut sebagai orang yang dermawan. Ketiga orang
tersebut diseret ke neraka karena penyakit riya mereka.[38]
Al-Mūḥāsibi juga menyebut bahwa setiap kebaikan yang dikerjakan
seseorang bisa menjadi rusak. Oleh karena itu, ia mesti mengetahui cara
melindungi dari perusak-perusak tersebut, terlebih cara melindungi dari riya,
karena sebagaimana dalam hadits Nabi bahwa ia lebih tersembunyi dibanding kaki
semut.
Mengutip perkataan Abu Darda, bahwa di antara tanda pahamnya
seseorang dalam agama adalah mengetahui serangan-serangan syaithan, kapan dan
dari mana datangnya. Jika seseorang telah mengetahui bahwa Allah tidak akan
menerima amal kecuali yang ikhlas kepada-Nya, tanpa motif duniawi. Adapun hawa
nafsu dan musuhnya (syaithan) mendorong untuk menghancurkan amalnya. Keduanya
mesti diketahui dengan ilmu, dengannya serangan syaithan berbentuk riya dan
lain sebagainya akan bisa diketahui.[39]
Untuk menjaga hati dari riya, al-Mūḥāsibi mengajarkan kepada kita
dengan cara senantiasa memupuk dan melatih keikhlasan dalam beramal. Beliau
menyatakan bahwa ikhlas adalah kedudukan orang-orang yang kuat dan istimewa.
Cara memupuk keikhlasan adalah dengan rajin melaksanakan ibadah-ibadah sunnah
atau nāfilah. Selain melatih keikhlasan, ia juga bisa berguna untuk menghapus
dosa-dosa dan menyempurnakan ibadah-ibadah yang wajib. Menurut al-Muḥāsibi,
jika ikhlas sudah terbangun, ibadah-ibadah nafilah atau sunnah tersebut tidak
lagi dipakai untuk menghapus dosa-dosa atau menyempurnakan ibadah-ibadah yang
kurang sempurna. Melainkan akan meninggikan derajatnya. Berbeda dengan orang
yang masih banyak dosa dan kekurangan baik dalam ibadah. Amalan-amalan
sunnahnya tidak menambahnya mulia, namun hanya dipakai untuk menghapus
dosa-dosa dan menyempurnakan ibadah-ibadahnya yang kurang baik. Mengerjakan
amalan-amalan sunnah dengan didasari keikhlasan akan semakin menguatkan hati
dari godaan-godaan riya, demikian yang diajarkan oleh al-Muḥāsibī.[40]
Kitab al-Ikhwān wa Ma’rifah al-Nafs
Di dalam bagian ini dijelaskan tentang bagaimana seseorang bisa
menguatkan diri dalam ketakwaan dan tidak tergelincir terhadap dosa. Hal itu
menurut al-Mūḥāsibi bisa dilatih dengan dua cara; pertama, dengan
memutus setiap sebab yang dapat menggelincirkan kepada dosa dan kedua;
jika berbuat dosa segera untuk mencabutnya sebelum perbuatan itu terasa manis
di dalam hati.
Setelah itu, al-Muḥāsibi mengilustrasikan orang yang memotong
sebab-sebab dosa, yaitu seperti lak-laki yang mengeluh dan menyesal dari
melihat sesuatu yang tidak dihalalkan. Dalam sebuah cerita, al-Mūḥāsibi
menjelaskan lagi, yaitu ketika seorang laki-laki duduk-duduk di pinggir jalan
bersama teman-temannya. Ketika laki-laki tersebut duduk di pinggir jalan, ia
meniatkan untuk tidak melihat hal-hal yang diharamkan. Tidak lama setelah itu,
hadirlah sesuatu yang mendatangkan syahwatnya, sehingga ia tergugah dan
melihatnya. Setelah itu ia menyesal dan bertaubat. Ia tidak lagi duduk-duduk di
pinggir jalan dan menggantinya dengan banyak berdzikir dan sering mengunjungi
masjid. Demikianlah bagaimana memutus penyebab tergelincirnya seseorang pada
dosa.[41]
Kitab al-Tanbīh wa ma’rifah al-Nafs
Dalam pembahasan ini dijelaskan tentang peringatan akan bahayanya
hawa nafsu. Dalam pandangan al-Muḥāsibi hawa nafsu adalah tempat datangnya
riya. Itulah mengapa beliau menempatkan pembahasan ini setelah membahas riya
dan sebab-sebabnya. Peringatan dari ajakan hawa nafsu dinyatakan oleh al-Muḥāsibi
bahwa ia adalah musuh yang jika manusia menuruti keinginannya maka akan
dijauhkan dari Allah. Sebaliknya, orang yang bisa mengendalikan hawa nafsunya,
ia berarti ta’at kepada Allah. Artinya, jika seseorang mengetahui nafsunya, ia
akan bisa mengendalikannya.
Kitab ‘Ujb
Mengetahui jiwa dan
musuh-musuhnya belum cukup, mesti juga mengetahui bagaimana cara atau tipudaya
musuh tersebut. Hal ini digambarkan oleh al-Mūhāsibi dalam Kitab ‘Ujub. ‘Ujub
merupakan tipu daya jiwa yang menyerang kebanyakan manusia. Penyakit ini akan
membuat perbuatan salah terasa indah dan baik, karena Ujub telah membutakan
hatinya. Seorang yang memiliki penyakit ini akan menganggap ia berbuat baik
dalam perbuatan salahnya, ia merasa sukses dalam kehancurannya, dan lain
sebagainya.
Al-Muḥāsibi menyebutkan sebuah Hadits Nabi, yaitu ketika Nabi
berkata kepada Abu Tsa’labah, “Hingga kamu melihat sifat kikir yang ditaati,
hawa nafsu yang diikuti, dunia yang diutamakan, dan setiap orang yang
bangga/takjub dengan pendapatnya sendiri; maka jagalah dirimu sendiri dan
tinggalkanlah masyarakat ‘awam.” Beliau juga mengutip Hadits yang lain,
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda; terdapat tiga hal yang
membuat celaka; kikir yang dita’ati, hawa nafsu yang diikuti dan seseorang
membanggakan dirinya sendiri (‘ujub).[42]
Orang yang merasa
bangga akan dirinya sendiri (‘ujub) ia akan merasa dirinya suci. Apabila
dirinya sudah merasa suci, ia akan merasa dirinya sukses dan berhasil. Hal ini
sesuai dengan firman Allah “falā tuzakkū anfusakum”(Janganlah engkau merasa
dirimu suci).[43] Jika jiwa seseorang
sudah dianggap bersih oleh dirinya, maka ia tidak akan bisa memuhasabah dirinya
sendiri, dan dengan demikian ia tidak akan bisa mengetahui kecacatan dirinya.
Kitab al-Kibr
Bersanding dengan ‘Ujb, al-Muḥāsibi juga menjelaskan mengenai
al-Kibr. Kibr atau takabur akan mengakibatkan kehancuran yang besar. Kibr juga
akan menyegerakan siksaan Allah, mengingat tidak ada yang berhak untuk
membesarkan diri kecuali Allah saja. Tidak ada yang layak dan boleh memiliki
sifat kibr selain-Nya. Selain Allah adalah makhluk, sedangkan Allah adalah
Khālik yang memiliki seluruh alam.
Dengan demikian, dosa dari sifat kibr di mata Allah sangatlah
besar. Al-Muḥāsibi mengajurkan untuk mencermati Hadits riwayat Abu Hurairah,
Rasullah bersabda; “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Kesombongan adalah
selendangku, dan keagungan adalah kain (sarung) ku, barangsiapa bersaing (turut
memiliki) dalam salah satu dari kedua hal tersebut, maka benar-benar akan aku
lemparkan dia di dalam neraka”[44]
Takabur ini bisa bersumber dari ilmu, riya dan dari keadaan dunia.
Takabur akan ilmu adalah ketika seseorang yang berilmu ‘ujub dengan ilmunya. Ia
akan berbesar hati dan menyombongkan diri di depan orang awam. Dengan demikian,
ia tidak akan bisa mengevaluasi ilmunya, dan pada akhirnya jika ia salah maka
akan susah menerima kebenaran. Sementara takabur yang bersumber dari riya yaitu
ketika seseorang menolak kebenaran yang dibawa oleh orang lain, dalam keadaan
dia tahu orang tersebut benar. Ia menolak kebenaran tersebut karena ingin
mempertahankan harga diri dan kesombongan agar dilihat oleh orang lain (riya).[45] Sedangkan takabur dengan
dunia adalah merasa sombong dengan apa yang dimiliki. Seperti sombong karena
keturunan, karena kecantikan dan ketampanan, kekuatan harta dan banyaknya
pengikut.[46] Demikianlah yang diajarkan oleh al-Muḥāsibī.
Kitab al-Ghurrah (ketertipuan)
Al-Muḥāsibi menjelaskan bahwa orang yang tertipu kepada Allah
adalah orang-orang yang bermaksiat, orang-orang Kafir dan termasuk kaum
Muslimin. Mereka adalah orang-orang yang telah menyianyiakan urusan Allah azza
wa jalla.
Tertipu kepada Allah maksudnya, seseorang tertipu dengan ciptaan
Allah, dengan ibadah, ilmu, sehingga mereka bermaksiat kepada Allah. Mereka
menyangka bahwa diri mereka adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka telah
mengkafirkan Allah ta’ālā, sedangkan mereka menyangka diri mereka adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk.
Al-Muḥāsibi mengklasifikasikan al-Ghurrah (ketertipuan seseorang)
kepada dua bagian, yaitu tertipu dengan dunia sehingga melupakan atau tidak
mempercayai akhirat, dan tertipu karena Allah atau akhirat. Tertipu dengan
dunia adalah karena mengutamakan kehidupan dunia dibanding akhirat. Hal ini
sesuai dengan firman Allah,
فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم
بِٱللَّهِ ٱلۡغَرُورُ
“..Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu,
dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah”
(Q.S. luqman: 33)
وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلۡغُرُورِ
“..Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan” (Ali- Imran: 185)
Al-Mūḥāsibi menyebutkan bagaiman orang-orang kafir tertipu karena
Allah. Ketertipuan mereka karena Allah disebabkan mereka melihat pemberian
Allah di dunia sebagai penghormatan dan kemuliaan. Mereka mengira hal itu
adalah karena kemurahan Allah sehingga merasa lebih baik dan lebih berhak
daripada selain mereka. Setelah itu mereka meragukan akhirat. Orang-orang kafir
tersebut berkata bahwa jika Allah memiliki tempat kembali, maka kami akan
mendapatkan tempat yang lebih baik daripada selain golongan kami. Padahal
mereka tertipu dengan lahiriyah dunia. Hal ini sebagaimana yang Allah firmankan
dalam al-Qur’an; “..dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan
jika sekiranya aku kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat
kembali yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu" (Q.S. l-Kahfi: 36).
Mereka adalah orang-orang yang tertipu dengan nikmat-nikmat Allah subhānahū
wata’ālā.
Selain orang-orang kafir, banyak pula dari kalangan muslim yang
tertipu karena Allah. Apabila mereka mengerjakan amal shaleh, lalu Allah
meluaskan rizki mereka, mereka mencukupkan amalan shalehnya karena telah merasa
diberi kehormatan dengan diluaskan rizki. Hal ini sebagaimana firman Allah, “..Adapun
manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya
kesenangan, maka dia akan berkata: "Tuhanku telah memuliakanku".
(Q.S. al-Fajr: 15). Dalam hal ini, kaum Muslimin sama halnya dengan orang-orang
kafir, mereka tertipu dengan lahiriyah dunia, walaupun kaum muslimin tidak
mengingkari adanya akhirat sebagaimana diingkari oleh orang-orang kafir.
Kitab al-Hasad
Al-Muḥāsibi menjelaskan bahwa hasad adalah kebencian akan seseorang
yang mendapatkan nikmat dan menginginkan nikmat itu hilang darinya. Hasad-hasad
yang dimkasud seperti takabur, ‘ujub, dengki, permusuhan, marah, riya,
mencintai kedudukan dan kepemimpinan, kikir jiwa untuk melaksanakan kebaikan.
Al-Muḥāsibi menjelaskan bagaimana hasud berada pada jiwa seseorang.
Menurutnya, seseorang yang hasud akan meninggikan dirinya dibanding orang lain
baik dalam urusan Agama ataupun Dunia. Allah berfirman, “Dan mereka berkata:
"Mengapa Al Quran ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah
satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?.”[47] Apabila seseorang telah hasud, ia akan merendakan yang lain.
Bersamaan dengan itu, ia juga menginginkan hilangnya kenikmatan pada diri orang
lain, supaya mereka tidak meninggi derajatnya dengan kenikmatan itu. Dengan
demikian, Hasud termasuk penyakit yang mesti dihindari seseorang untuk
senantiasa berada dalam kebersihan hati dan keluruhan akhlak.
Kitab Ta`dīb al-Murīd (membina kecenderungan nafsu)
Di bagian akhir, Imam al-Mūḥāsibi mengingatkan kepada kita bahwa
akan selalu ada fitnah dan cobaan setelah mendapatkan hidayah. Untuk itu beliau
menganjurkan untuk bersikap istiqomah. Seperti dalam hal keseharian, beliau
memberikan pelajaran pelajaran dari mulai bangun tidur hingga tidur lagi.
Ketika tidur, dianjurkan untuk berwudlu dan berdo’a, dalam hal makan, minum dan
lain sebagainya. Beliau juga mengingatkan kepada kita untuk senantiasa sering
mendatangi masjid, terutama dalam waktu-waktu melaksanakan shalat berjama’ah.
Kehidupan yang senantiasa dalam kebaikan dan ta’at akan membentengi dari godaan
syaithan.
Kesimpulan
Imam al-Muḥāsibi merupakan sosok yang patut kita contoh. Beliau
telah mengajarkan bagaimana seseorang bisa selamat dari berbagai rintangan
Dunia. Halangan-halangan inilah yang menyebabkan kebanyakan manusia celaka, beliau
menyebutnya sebagai penyakit-penyakit hati. Seperti, riya, hasud, ‘ujub takabur
dan lain sebagainya. Penyakit-penyakit tersebut jika bersemayam dalam hati,
maka rusaklah semua amal ibadah kita.
Selain itu, apa yang menjadi dasar dari ajaran al-Muḥāsibi adalah
al-Qur’an, al-Sunnah, dan atsar Sahabat dan Tabi’in. Beliau tidak seperti
sufi-sufi yang menggunakan jalan syatahāt (kesesatan-kesesatan dalam tasawuf),
melainkan tasawuf yang dibawanya adalah tasawuf akhlaqī. Terlebih, ajarannya
dirujuk oleh para Ulama setelahnya, seperti imam al-Qusyairi, al-Junayd,
al-Hujwiri, termasuk Imam al-Ghazali. Hal ini mempertegas kesesuaiannya dengan
al-Qur’an dan al-Sunnah.
Terakhir, aspek ruhiyah merupakan aspek yang penting untuk
diperhatikan. Hal ini ditegaskan oleh Nabi dalam Haditsnya, ketika beliau
menjelaskan apabila sehat segumpal daging ini maka sehat seluruh amal-amalnya,
itulah hati. Dalam al-Qur’an, Allah menjelaskan bahwa hati hal yang utama dalam
diri manusia. Dengannya, perbuatan baik dan buruk akan dipilih. Allah
memberitahu bahwa beruntunglah orang yang suka memberishkan hati, dan celakalah
orang yang suka mengotorinya, (fa alḥamahā fujūrohā wataqwāha, qad aflahā
man zakkāhā wa qad khāba man dassāhā).
Oleh: Cep Gilang Fikri Ash-shufi
Daftar Pustaka
Abdul Karim bin Hawazin, al-Qusyairi. al-Risalah
al-Qusyairiyah, Kairo: Dar al-Ma’arif.
Abu Abdillah Al-Haris, Al-Muhasibi. ed. by Abdul Halim
Mahmud. 1119, al-Ri’ayah li Huquq Allah, Kairo: Dar al-Ma’arif.
Abu Abdurrahman, Al-Sulami. 1998, al-Thabaqat al-Shufiyyah,
Dar al-Sya’b.
Abu Hamid, al-Ghazali. 2001, al-Munqidz min al-Dhalal,
Washington: Jam’iyyah al-Bahts fi al-Qiyam wa al-Falsafah.
AL-Baghdadi, Khatib. Tarikh Baghdad, Beirut: Dar
al-Kurub al-’Ilmiyyah.
al-Bukhāri Al-Ju’fī, Muhammad bin Ismā’il. ed. by Muhammad
Zahir Nasir bin Nasir Al-Nasir. 1422, Al-Jāmi’ Al-Musnad Ṣaḥīḥ al-Bukhārī,
Dār al-Ṭauq.
Al-Muḥāsibī, Abū ‘Abdillāh al-ḥārits. al-Ri’āyah li Ḥuqūqi
Allāh, Beirut: Dar al-Kurub al-’Ilmiyyah.
Al-Nisaburi, Abdul Qasim Abdul Karim al-Qusyairi. 1989, al-Risālah
al-Qusyairiyah, Kairo: Dar al-Sya’b.
Anwar, Hamdani. 1995, Sufi Al-Junaid, Jakarta:
Fikahati Aneska.
Dkk., Kausar Azhari Noer. 2015, Warisan Agung Tasawuf,
Jakarta: Sadra Press.
Farid, Al-Din ’Athar Nisaburi. ed. by Ahmad Aram. Tadzkiratu
al-Auliya.
Ibn Katsīr al-Dimasyq. 1993, Ṭabaqāt al-Fuqahā
al-Syāfi’iyyīn, Maktabah al-Tsaqāfah al-Dīniyyah.
Jasim, Aziz Sayyid. 1997, Mutashawwifah Baghdad,
Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-’Arabi.
Ustman bin Abdirrahman, Ibn Shalah. 1992, Thabaqat
al-Fuqaha al-Syafi’iyah, Beirut: Dar al-Basyar al-Islamiyyah.
Terimakasih telah mengunjungi https://rukyatulislam.blogspot.com/
[2] Dari deretan para khalifah di atas, Khalifah Harun al-Rasyid dan
al-Ma’mun merupakan dua khalifah yang menyemarakkan untuk menerjemahkan
karya-karya yunani ke bahasa arab.
[3] Ibn Katsīr al-Dimasyq, Ṭabaqāt al-Fuqahā al-Syāfi’iyyīn
(Maktabah al-Tsaqāfah al-Dīniyyah, 1993). 126
[4] Hadits yang diriwayatkan oleh al-Muḥāsibi adalah sabda Nabi, dari
Abu Darda, Rasulullah bersabda;
أثقل ما يوضع في الميزان حسن الخلق Lihat: Al-Sulami Abu Abdurrahman, al-Thabaqat al-Shufiyyah (Dar al-Sya’b,
1998). 21
[5] Ibn Shalah Ustman bin Abdirrahman, Thabaqat al-Fuqaha al-Syafi’iyah
(Beirut: Dar al-Basyar al-Islamiyyah, 1992). 1: 439
[6] Imam al-Ghazali mengatakan:
أبو
عبد الله الحارث بن أسد البغدادي المحاسبي من زهاد المتكلمين, والفقهاء المحدثين,
وعلم من أعلام الزهد والورع
lihat: al-Ghazali Abu Hamid, al-Munqidz min al-Dhalal (Washington:
Jam’iyyah al-Bahts fi al-Qiyam wa al-Falsafah, 2001). 216s
[7]
Kitab ini merupakan Magnum opusnya al-Muḥāsibī
[8] Dzauq dan Hal adalah istilah-istilah dalam ilmu tasawuf yang
menekankan aspek ruhaniyah, seperti tazkiyatunnafs, riyādlatunnafs dan lain
sebagainya.
Lihat:
‘Abdul Qādir Aḥmad ‘Athā, Lumḥāt ‘an syakhsyiyyatihī, dalam Abū ‘Abdillāh al-ḥārits Al-Muḥāsibī,
al-Ri’āyah li Ḥuqūqi Allāh (Beirut:
Dar al-Kurub al-’Ilmiyyah). 5
[9] Abdul Qasim Abdul Karim al-Qusyairi
Al-Nisaburi, al-Risālah al-Qusyairiyah
(Kairo: Dar al-Sya’b, 1989). 15
[10] ‘Abdul Qādir Aḥmad ‘Athā, Lumḥāt ‘an syakhsyiyyatihī, dalam
Al-Muḥāsibī, al-Ri’āyah li Ḥuqūqi Allāh. 10
[11] Abdul Halim Mahmud, Ustadz al-Sa’irin al-Harits ibn Asad
alMuhasibi, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1992, hlm. 34-35.
[12] Teks arab:
إنّه كان عديم النظير في زمانه علما وورعا ومعاملة وحالا
al-Qusyairi Abdul Karim bin Hawazin,
al-Risalah al-Qusyairiyah (Kairo: Dar
al-Ma’arif).
1:51
[13] Beliau menulis dalam kitabnya:
كان الحارث المحاسبي إذا مدّ يده إلى طعام فيه شبهة تحرق على أصبعه
عرق فكان يمتنع منه
Lihat: Al-Nisaburi, al-Risālah al-Qusyairiyah. 57
[14] Hadits Nabi;
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" إِنَّ اللَّهَ قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ
بِالحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا
افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ
حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ: كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ،
وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ
الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي
لَأُعِيذَنَّهُ، وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ
المُؤْمِنِ، يَكْرَهُ المَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ "
lihat:
Muhammad bin Ismā’il al-Bukhāri
Al-Ju’fī, Al-Jāmi’ Al-Musnad Ṣaḥīḥ
al-Bukhārī, ed. by Muhammad Zahir Nasir bin Nasir Al-Nasir (Dār al-Ṭauq,
1422). 8:
105
[15] Ia kemudian membawa warisan ayahnya ke baitul mal dan
menyerahkannya sambil menyebutkan sabda Nabi, qadariyyah adalah majusinya ummat
ini (al-Qadariyyah majūsu hādzihi al-Ummah). Lihat : Al-Din ’Athar Nisaburi Farid, Tadzkiratu al-Auliya, ed. by Ahmad Aram. 291
[16] Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
لا يتوارث أهل الملّتين شتّى diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam al-Musnad
(2/178), Abu Dawud (2911), al-Baihaqi dalam al-Sunan (6/218), al-Khatīb dalam
Tārikh Baghdād (5/290), Ibnu Majah (2731), al-Hākim (4/345) dari ‘Amr bin
Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya.
[17] Al-Qusyairi mengomentari peristiwa tersebut, menurutnya, hal itu
menunjukan beberapa hal. Pertama, keluarga al-Muḥāsibī merupakan
keluarga yang kaya. Kedua, bahwa ayah al-Muḥāsibī pada waktu itu
merupakan orang yang bergabung ke dalam perdebatan dalam dunia kalam. Ketiga,
sikap wara’ al-Muḥāsibi yang membuatnya tidak mengambil warisan dari Ayahnya
didasari karena ketakwaan. Al-Nisaburi, al-Risālah al-Qusyairiyah. 6
[18] Lihat: Aziz Sayyid Jasim, Mutashawwifah Baghdad (Beirut: al-Markaz
al-Tsaqafi al-’Arabi, 1997). 99
[21] ‘Abdul Qādir Aḥmad ‘Athā, Lumḥāt ‘an syakhsyiyyatihī, Al-Muḥāsibī, al-Ri’āyah li Ḥuqūqi Allāh. 7
[23] Teks arab:
كَانَتْ رَكَائِزُ النُّزْعَةِ الْعَقْلِيّةِ الرَّاسِخَةِ لَدَى
الْمُحَاسِبِيْ قَدْ أَبْعَدَتْهُ عَنِ الشَّطْحِ
Jasim, Mutashawwifah Baghdad. 110.
Syatahāt
adalah perkataan ganjil yang keluar dari lisan seorang sufi ketika berada dalam
kondisi ekstase (pen.)
[24] Abū
Hāmid Muhammad bin Muhammad al-Ghazālī, al-Munqidz min al-Dlalal,
(Lebanon: Dār al-Fikr, 1996). 68
[27]
Teks Arab:
فَعَلَى
الْعِبَادِ أَنْ يَقُوْمُوْا بِمَا أَوْجَبَ اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِمْ فِي
أَنْفُسِهِمْ وَفِيْمَنْ اِسْتَرْعَوْهُ. فَالْإِمَامُ رَاعٍ عَلَى النَّاسِ يَجِبُ
عَلَيْهِ حِفْظُ مَااسْتَرْعىَ مِنْ أُمُوْرَهُمْ وَكَذَلِكَ الْخَاصَّة
وَالْعَامَّة. أَلَا َتَرَى عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
يَقُوْلُ: لَوْ أَنَّ سَخْلَةً ضَاعَتْ بِشَاطِئِ الفُرَاتِ لَخَشِيْتُ أَنْ
يَسْأَلَنِى اللهُ عَزَّ وَجَلَّ. وَكُلُّ حَقٍّ أَوْجَبَهُ اللهُ جَلَّ وَعَزَّ
عَلَى عِبَادِهِ فِي خَاصَّةِ أَنْفُسِهِمْ أَوْ فِيْمَا أَوْجَبَ لِبَعْضِهِمْ
عَلَى بَعْضٍ فَقَدْ أَمَرَهُمْ بِحِفْظِهِ وَالْقِيَامِ بِهِ وِذلِكَ رِعَايَةُ
حَقِّهِ الَّذِيْ افْتَرَضَهُ عَلَيْهِمْ وَالْقِيَامُ بِهِ.
Al-Muhasibi Abu Abdillah Al-Haris, al-Ri’ayah li Huquq Allah, ed. by Abdul
Halim Mahmud (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1119). 37
[28]
Hak-hak Allah adalah kewajiban-kewajiban seorang hamba. Menunaikan hak-hak
Allah adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan Allah.
“Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang
mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.”
(Q.S. Qaf: 37)
[33]
H.R. Al-bukhari
[34]
Teks Arab:
فَعَلَى
الْعِبَادِ أَنْ يَقُوْمُوْا بِمَا أَوْجَبَ اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِمْ فِي
أَنْفُسِهِمْ وَفِيْمَنْ اِسْتَرْعَوْهُ. فَالْإِمَامُ رَاعٍ عَلَى النَّاسِ
يَجِبُ عَلَيْهِ حِفْظُ مَااسْتَرْعىَ مِنْ أُمُوْرَهُمْ وَكَذَلِكَ الْخَاصَّة
وَالْعَامَّة. أَلَا َتَرَى عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
يَقُوْلُ: لَوْ أَنَّ سَخْلَةً ضَاعَتْ بِشَاطِئِ الفُرَاتِ لَخَشِيْتُ أَنْ
يَسْأَلَنِى اللهُ عَزَّ وَجَلَّ. وَكُلُّ حَقٍّ أَوْجَبَهُ اللهُ جَلَّ وَعَزَّ
عَلَى عِبَادِهِ فِي خَاصَّةِ أَنْفُسِهِمْ أَوْ فِيْمَا أَوْجَبَ لِبَعْضِهِمْ
عَلَى بَعْضٍ فَقَدْ أَمَرَهُمْ بِحِفْظِهِ وَالْقِيَامِ بِهِ وِذلِكَ رِعَايَةُ
حَقِّهِ الَّذِيْ افْتَرَضَهُ عَلَيْهِمْ وَالْقِيَامُ بِهِ.
Abu Abdillah Al-Haris, al-Ri’ayah li Huquq Allah. 37
[43]
al-Najm : 32
[44]
Haditsnya (teks arab);
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " قَالَ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ: الْكِبْرِيَاءُ رِدَائِي، وَالْعَظَمَةُ إِزَارِي ، فَمَنْ
نَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا، قَذَفْتُهُ فِي النَّارِ .
(Hadist diriwayatkan oleh Abu
Dawud, begitu juga oleh Ibn Majah dan Imam Ahmad, dengan sanad yang shahih)
[47] وَقَالُواْ
لَوۡلَا نُزِّلَ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانُ عَلَىٰ رَجُلٖ مِّنَ ٱلۡقَرۡيَتَيۡنِ عَظِيمٍ
( الزخرف : 31)

Social Plugin