أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ، وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ»، قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ: اليَهُودَ، وَالنَّصَارَى قَالَ: «فَمَنْ» (البخاري)



       Sejak beberapa tahun yang lalu, masyarakat Indonesia diresahkan dengan pengguliran Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Sejak wacana ini mulai diusulkan oleh Komnas Perempuan bekerjasama dengan Forum Pengada layanan pada tahun 2016, ia selalu mendapatkan penolakan dari banyak pihak. Mengingat, isi dari rancangan UUD tersebut mengancam keutuhan budaya dan Agama.


Penolakan tersebut bersumber dari definisi “kekerasan” itu sendiri. Dengan diksi tersebut, seolah-olah wacana ini merupakan sesuatu yang mesti disetujui, mengingat semua orang setuju untuk menghapuskan kekerasan seksual. Namun, hal itu ternyata diadikan alat pengecoh untuk melancarkan budaya asing yang syarat dengan ideologi sekular dan liberal. Keduanya tidak tanggung-tanggung akan menghancurkan institusi keluarga dan hukum-hukum Islam. Sampai di sini kita sudah mengetahui bahwa RUU tersebut sangat subjektif dan memuat kepentingan politis-ideologis.

Ideologi Barat tersebut terlihat dari wacana Kekerasan yang didefinisikan secara panjang dan sulit dipahami. Pasal 1 RUU P-KS, mendefinisikan bahwa kekerasan adalah,
“setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”(Pasal 1 angka 1 RUU P-KS).

Dari pendefinisian tersebut, setidaknya terdapat dua hal yang perlu di-highlight. Pertama, kekerasan adalah perbuatan menyerang (dsb) terhadap tubuh atau memaksa hasrat seksual seseorang (dsb) secara paksa bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas. Kedua, perbuatan itu terjadi, “karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender”.

Secara ringkas, tulisan ini akan memberikan catatan kritis atas permasalahan tersebut dan mecermati bagaimana kaitannya dengan gerakan feminisme yang berasal dari Barat.

Pertama, Ketidak jelasan dalam definisi kekerasan

Poin pertama mendefinisikan kekerasan secara absurd. Kekerasan mengacu bukan kepada hukum, melainkan kepada persetujuan. Jika seseorang setuju untuk melakukan seks, walaupun secara hukum bukan suami-istri maka hal itu tidak terhitung kekerasan. Kekerasan dengan demikian menjadi term yang sangat subjektif-relatif. Jika RUU ini disahkan, wacana “kekerasan” bahkan bisa dijadikan alat ampuh bagi para pendukung dan pegiat LGBT. Praktik homo-lesbi akan dianggap “sah” asalkan dilakukan atas dasar persetujuan. Praktik Kaum-kaum tersebut akan mendapat naungan dari UUD.

Padahal, pendefinisian tersebut sekilas saja sangat terdengar asing oleh telinga “orang Indonesia”. Ia dengan jelas merupakan budaya impor Barat yang menghalalkan sejumlah praktik di atas. Dunia Barat sudah sejak lama menjadikan praktik hubungan seksual di luar pernikahan sebagai suatu hal yang wajar. Bahkan, Mahkamah Amerika Serikat pada tahun 2015 telah melegalkan pernikahan sesama jenis di 50 negara bagian, setelah sebelumnya hanya dilegalkan pada 36 negara bagian.[1] Sebenarnya, pada tahun 2013 Joe Bidden, wakil presiden Obama, mengapresiasi para pemimpin Yahudi yang telah membantu mengubah sikap Amerika tentang pernikahan Gay, dari yang bersikap antipati kepada mewajarkannya. Perubahan paradigma tersebut dilakukan oleh Yahudi melalui sebuah Film series pada jaringan televisi mereka, NBC TV.[2] Serta masih banyak kasus-kasus terkait. Kebudayaan tersebut adalah cerminan dari framework sekular dan liberal mereka.

Berbeda dengan Barat, budaya Indonesia tidak pernah menyatakan praktik seks bebas adalah suatu kewajaran. Masyarakat Indonesia akan menyatakan setiap pelaku seks bebas sebagai orang yang tidak bermoral, tercela, dan terhina. Dengan demikian, sex bebas, termasuk di dalamnya LGBT, merupakan budaya Impor Barat yang jika diterapkan ke dalam masyarakat Indonesia akan merubah kebudayaannya itu sendiri.

Islam sebagai agama yang mengatur seluruh kehidupan manusia, telah mengatur kehidupan dalam rumahtangga. Aturan Islam tersebut menghendaki keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Suami disyari’atkan untuk mempergauli isrtinya dengan baik (wa ‘āshirūhunna bi l-ma’rūf)[3], begitupun seorang istri kepada suaminya. [4] Pergaulan dengan cara yang patut tersebut sebagaimana disebutkan oleh Imam Jalalain mencakup perkataan, perbuatan hingga pemenuhan hak-hak dan kewajiban.[5] Tentu saja hal ini termasuk dalam hubungan seksual. Sehingga, praktik seksual suami istri yang hingga mencacatkan atau menyakiti dilarang dalam Islam.

Namun, tidak berarti konsep kekerasan dalam RUU P-KS sejalan dengan ajaran Islam. Mengingat kekerasan diartikan sebagai pemaksaan hubungan seksual semata yang tidak dibatasi dengan batas-batas budaya dan agama. Mengingat, hubungan seksual di luar pernikahan walau dilakukan suka sama-suka, atau tidak ada kekerasan dan paksaan, tetap haram dan terkategori zina.[6] Termasuk praktik hubungan seksual sesama jenis.[7] Ketentuan yang ada dalam al-Qur’an tersebut berlaku final dan tidak dapat dirubah atau diotak atik. Finalitas ajaran Islam telah diutarakan sendiri dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat ke 3.

Kedua, memuat isu kesetaraan gender yang diusung feminis.

Highlight kedua dari pasal 1 RUU P-KS adalah, “karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender”. Relasi suami-istri (kaum feminis menamainya relasi Gender) yang didasarkan atas kekuasaan dan penindasan merupakan cerminan kehidupan keluarga di Barat yang telah terjadi sejak zaman kegelapan (the dark ages). Relasi tersebut maknanya adalah perlakukan menindas, mensubordinasi yang dilakukan oleh suami atau laki-laki kepada istri atau perempuan. Hal itu kemudian memunculkan protes keras dari kalangan perempuan hingga memunculkan gerakan feminis[8], sebagaimana akan dijelaskan dalam subtopik selanjutnya. Artinya, wacana tersebut melekat dalam paham feminisme, dan dengan demikian kekerasan seksual dalam RUU P-KS direduksi hanya dilakukan oleh laki-laki.

Padahal, tanpa bermaksud menafikan adanya kekerasan seksual dialami oleh perempuan, kekerasan dan kejahatan seksual dalam perspektif tindak pidana tidak memandang jenis kelamin. Ia dapat dilakukan oleh laki-laki atau perempuan. Sementara penggunaan relasi gender tersebut telah mengabaikan kejahatan seksual yang dilakukan oleh perempuan. Di Amerika Serikat, kasus Cierra Ross menjadi salah satu faktanya. Ia Didakwa dalam tindak pidana perkosaan dan perampokan bersenjata terhadap korbannya, yang berjenis kelamin laki-laki.[9]

Kekerasan juga banyak dilakukan oleh wanita kepada wanita. Faktor yang sering melatarbelakanginya adalah unsur internal dan identitas mereka, seperti faktor perbedaan kelas dan ras. Kelompok wanita non Eropa (woman of color), termasuk wanita imigran dan kulit hitam di Amerika, berdepan dengan dua jenis diskriminasi, yaitu karena mereka adalah wanita (faktor gender), dan karena mereka bukan kulit putih (faktor rasisme).[10] Artinya, penyebab adanya diskriminasi bukan hanya laki-laki atau suami. Sangat tidak tepat jika relasi kuasa atau relasi gender dalam RUU P-KS dinyatakan sebagai satu-satunya penyebab kekerasan seksual.

Sebenarnya masih terdapat banyak permasalahan dalam pasal 1 RUU P-KS. Namun, dalam hal ini penulis hanya memaparkan hal yang dianggap paling krusial. Permasalahan lain dalam pasal tersebut seperti problem normatif dalam bentuk kata-kata yang ambigu, walaupun pada intinya yang paling ambigu adalah kekerasan itu sendiri. Kata-kata ambigu lainnya seperti “merendahkan”, “menghina” yang tidak dibatasi secara jelas dan bisa diartikan sesuka hati. Selain itu, permasalhan selanjutnya adalah frasa “hasrat seksual”. Dua kata tersebut se-olah menjadi sumber legitimasi atas segala macam penyimpangan perilaku seksual seperti perzinahan, pelacuran, termasuk disorientasi hasrat seksual LGBT. Selain itu terdapat frasa “fungsi reproduksi” dan lain sebagainya.

RUU P-KS dan CEDAW

CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discriminations Againts Women) adalah kesepakatan yang dikeluarkan oleh PBB pada tahun 1979 dalam rangka memberikan restu kepada gerakan feminis. Isi dari kesepakatan tersebut adalah memastikan kesetaraan hak laki-laki dan perempuan dalam segala bidang. Salah satu pasalnya berbunyi,
“Noting that the States Parties to the International Covenants on Human Rights have the obligation to ensure the equal rights of men and women to enjoy all economic, social, cultural, civil and political”
(Memperhatikan bahwa Negara-negara Pihak pada Kovenan Internasional tentang Hak Asasi Manusia memiliki kewajiban untuk memastikan kesetaraan hak laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik)[11]
Konvensi tersebut menjadi sebuah dokumen yang bertanggungjawab atas merebaknya paham kesetaraan gender yang bernafaskan sekular-liberal.

Setelah Konvensi tersebut, Negara, lembaga serta organisasi-organisasi di dunia terus mendukung gerakan-gerakan perempuan. Di Dunia Islam, Pakistan Misalnya. Pada tahun 1975 pemerintah Pakistan mendorong perempuan untuk mengikuti pemikiran Feminisme. Gerakan tersebut sempat dibendung pada tahun 1977 dengan proses Islamisasi dan militerisasi, Namun, pada tahun 1980, gerakan Feminis kembali bermunculan di Pakistan secara signifikan. Indonesia juga mengalami hal yang serupa. Gerakan feminisme menyebarkan paham kesetaraan gendernya dengan gendar dan sistematis melalui media, ormas, LSM, lembaga pendidikan formal dan non formal. Dengan mengatasnamakan HAM mereka mempengaruhi pemerintah dalam masalah kebijakan sampai teknis operasional.[12]

Usaha aktivis Feminis di Indonesia tampak mulai mendapatkan hasilnya dengan diratifikasi isi CEDAW sehingga keluarlah UU no. 7 tahun 1984. Pemerintah juga selanjutnya mengesahkan undang-undang no. 23 tahun 2004 tentang PKDRT (penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga), UU perlindungan Anak, dan berusaha melegalkan aborsi melalui amandemen UU Kesehatan. Dalam bidang politik, feminis berada di belakang keluarnya UU Pemilu tahun 208 tentang kuota caleg perempuan sebanyak 30 persen.[13] Dengan demikian, pada masa orde baru inilah (ketika diratifikasi CEDAW) bibit-bibit feminisme muncul di Indonesia.

Di era reformasi, sering terjadi bentrokan yang kebanyakan korbannya adalah kalangan perempuan. Menanggapi hal itu, komnas perempuan dibentuk untuk mendongkrak dan memberdayakan perempuan. Namun, berdasarkan background para pendirinya, lembaga tersebut memiliki tujuan politis, yaitu memiliki kepentingan menyebarkan paham feminisme. Akhirnya, sejak tahun 2010, mereka melakukan penelitian kekerasan seksual sebagai embrio dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Hingga pada tahun 2016, hasil dari perancangan tersebut mulai diajukan. RUU P-KS sebagaimana telah dipaparkan syarat dengan paham feminisme yang sekular-liberal. 

Feminimisme, Dari Misogini ke Emansipasi

Istilah feminisme berasal dari bahasa latin, “Femina” berarti perempuan. Konon dari kata fides dan minus menjad fe-minus. Dalam buku yang berjudul “Daughter of the Church”, yang ditulis oleh Ruth Tucker dan Walter L Liefeld, dinyatakan bahwa,
“the very word to describe woman, femina, according to the authors (of witches hammer) is derived from fe and minus or fides minus, interpreted as less in faith”. Infatti I due domenicani asserivani che la parola “femina” derivasse che la parola da “feminus”.[14]
Terjemahannya adalah “Kata yang tepat untuk menggambarkan wanita, femina, menurut penulis (buku withes hammer) berasal dari fe dan minus atau fides minus, diartikan sebagai kurang dalam iman". Dengan demikian istilah feminis secara etimologis adalah kurang Iman.

Terlepas dari benar atau tidaknya pemaknaan tersebut, yang pasti perempuan di Barat dalam sejarahnya memang diperlakukan seperti manusia kurang Iman. Sejak zaman pra Kristen, hingga awal abad modern wanita dipandang sebelah mata (misogyny) dan dilekatkan citra negatif. Tokoh-tokoh seperti Plato dan Aristoteles pada masa pra Kristen, St. Clemen, St. Augustinus dan St. Thomas Aquinass pada Abad pertengahan, Serta Jhon Locke, Rosseau dan Nietzche di awal abad modern, seluruhnya memiliki pandangan yang sama terhadap perempuan. Mereka menganggap perempuan adalah makhluk yang hina-dina. Perempuan dianggap sebagai sumber dari segala kerusakan dan kesialan. Mereka juga disamakan dengan Budak dan anak-anak, dan lain sebagainya.[15] Bahkan St. Albertus Magnus mengatakan:
“Women is misbegotten man and has a faulty and defective nature in comparison to his. Therefore she is unsure in herself. what she cannot get, she seeks to obtain throught lying and diabolical deceptions. And so, to put it briefly, one must be on one’s guard with enemy women, the world would be astonished… Woman is strictly speaking not cleverer but slyer (more cunning) than man. Cleverness sound like something good, slynesss sound like something evil.”[16]
Terjemahnya, “Perempuan adalah laki-laki yang cacat sejak awalnya, seba kurang dibanding laki-laki. Makhluk yang tidak pernah yakin pada dirinya sendiri dan cenderung melakukan berbagai cara demi mencapai keinginannya, dengan berdusta dan tipu muslihat ala iblis. perempuan tidak cerdas, namun licik, seperti ular berbisa dan syetan bertanduk. jika rasio menuntut laki-laki pada kebaikan, emosi menyeret perempuan kepada kejahatan.” Keadaan tersebut terus berlangsung hingga awal abad modern.

Abad ke 18, umumnya dicatat sebagai kemunculan Nenek Moyang Feminis. Ia bernama Marry Wollstonecraft (1759-1797). Marry menulis sebuah pernyataan yang sangat fenomenal dalam bukunya, a Vindication of the Right of Woman. Ia mengecam berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan, menuntut persamaan hak bagi kaum perempuan baik dalam pendidikan maupun politk. perempuan harus diperbolehkan bersekolah dan memberikan suaranya dalam pemilihan umum. Wanita tidak boleh lagi menjadi burung di dalam sangkar. Mereka mesti dibebaskan dari kuraungan rumah-tangga dan penjara-penjara lainnya. Ia juga mengatakan, berbagai kelemahan yang terdapat dalam perempuan lebih disebabkan oleh faktor lingkungan, bukan faktor alami. Laki-lakipun jika tidka berpendidikan dan diperlakukan seperti permepuan akan bersifat dan bernasib sama, lemah dan tertinggal.”[17]

Pernyataan tersebut menjadi gebrakan yang meluas ke se antero Eropa-Amerika. Hingga, banyak bermunculan tokoh-tokoh perempuan setelahnya, seperti clara zetkin (1857-1933) di jerman, Helene Brion (1882-1962) di Perancis, Anna kulisciof (1854-1925) di Itali, dan lain-lain. Gerakan mereka berkisar seputar perjuangan hak pendidikan, politik, dan reformasi hukum dan perundang-undangan negagara yang telah merugikan perempuan. Selain itu, gerakan mereka juga merambat pada penghapusan segala macam pembedaan atas pertimbangan jenis kelamin (gender based differentiation). Setelah agenda tersebut, gerakan berikutnya adalah membebaskan kaum wanita dari penjara kesadarannya. Mereka diingatkan tengah berada dalam cengkraman kaum laki-laki. Mereka hidup dalam dunia yang dikuasai laki-laki (male-dominated world). Dengan demikian, ketertindasan perempuan di barat memicu munculnya resistensi yang memunculkan tuntutan kesetaraan gender dan faham feminisme.

Gerakan Feminisme selanjutnya, yaitu beberapa dasawarsa terakhir, berubah menjadi gerakan yang radikal. Mereka menentang institusi keluarga dan mencemooh perkawinan. Tinggal bersama suami dianggap sama seperti tinggal dengan musuh (living with enemy). Mereka mengutuk sistem patriarki yang memposisikan hirarki suami berada di atas istri. Mereka mengaggap bahwa menjadi seorang istri sama dengan disandra. Akibatnya, mereka melakukan perlakuan-perlakuan menyimpang. Perayaan lesbianism, melakukan aborsi adalah cerminan dari gerakan tersebut. Sikap tersebut tidak aneh karena latar belakang pandangan hidup mereka adalah sekular dan liberal.[18]

Gerakan feminisme yang berusaha memberdayakan dan mengangkat derajat wanita dengan demikian telah melampaui batas-batasnya. Hal itu dikarenakan perjuangan mereka bukan dilandasi karena pemberdayaan murni, namun berdasarkan amarah yang dibawa sejak masa penindasan mereka, yaitu sejak zaman yunani hingga awal abad modern. Tidak aneh jika mereka menjadi gerakan yang memusuhi laki-laki. Part Robertson, mantan calon Presiden Amerika Serikat, mengkritik tajam gerajak feminis radikal tersebut. Ia mengatakan, “Feminist encourage women to leave their husband, kill their children, practice witchcraft, become lesbians.” (Kaum Feminis mendorong perempuan untuk meninggalkan suaminya, membunuh anak-anak mereka, mempraktekkan perdukunan, menjadi lesbian).[19] Jauh sebelum itu, Imam al-Ghazali telah mengingatkan, “Segala sesuatu apabila dilakukan melampaui batasnya, justru akan berdampak sebaliknya.” (kullu syayin idhā balagha haddahū in ‘akasa ‘alā ḍiḍḍihī).

Selanjutnya, situasi yang kacau tersebut diimpor kepada dunia Islam satu paket dengan penyebaran paham barat (westernisasi, liberalisas dan sekularisasi). Munculnya berbagai tokoh feminis dari kalangan Muslim seperti Qasim Amin[20], Amina Wadud[21], Rifa’at Hasan[22], Nawal al-Sa’dawi[23], Taslima Nasreen[24], Siti Musdah Mulia,[25] dan lain sebagainya, adalah buah dari gerakan feminisme Barat. Framework mereka yang walaupun sebagai seorang Muslim, terpengaruh dengan framework Barat. Mereka memandang kehidupan wanita dalam dunia Islam dengan kaca mata Barat. Akhirnya, para tokoh tersebut menyimpulkan bahwa telah terjadi penindasan-penindasan perempuan dalam Islam. Hal itu menurut mereka disebabkan karena perempuan dimarginalkan dalam penafsiran para Ulama. Keputusan-keputusan hukum sealu dianggap lebih memihak kepada laki-laki. Pada tataran kehidupan. para wanita diharuskan tunduk kepada suami-suaminya. Hingga, resistensi tersebut memicu mereka mengadopsi semangat kesetaraan gender (gender equality).
          
        Padahal, Permasalahan diskriminasi dan subordinasi perempuan tidak lahir dari ajaran Islam atau tafsir-tafsir para Ulama. Sebab ajaran Islam lahir telah merevolusi tradisi jahiliyah yang sebagian besarnya adalah penindasan perempuan. Ayat-ayat al-Qur’an tidak ada satupun yang misoginis. Derajat laki-laki dan perempuan dalam al-Qur’an ditentukan oleh ketakwaannya, bukan jenis kelamin. Dalam kehidupan keluarga, masing-masing memiliki peran dan tanggungjawab yang berbeda sesuai dengan fitrahnya. Dalam kehidupan publik, baik laki-laki ataupun perempuan dituntut berperan dan berpartisipasi aktif melaksanakan amar ma’ruf nahyi munkar serta berlomba-lomba dalam kebaikan. Penafsiran para Ulama pun tidak didasarkan pada jenis kelamin atau bias gender. Mereka diharuskan memenuhi syarat-syaratnya, yaitu; keilmuan, kemampuan akal yang baik, syarat agama dan adab. Dengan demikian, pandangan adanya ketertindasan perempuan dalam Islam hanyalah carbon copy dari cara pandang feminis sekular-liberal.

Penutup

Dari pemaparan di atas, RUU-PKS tidak dapat dilepaskan dari gerakan Feminis di Barat. Ia syarat dengan ideologi sekular-liberal. Pantas jika gerakan mereka yang pada awalnya merupakan gerakan pemberdayaan, pada akhirnya menampakkan buah dari pemikiran mereka, yaitu mengutuk institusi keluarga, menghina pernikahan, menghalalkan aborsi, dan melakukan praktik hubungan seksual sesama jenis.

Gerakan Perempuan akan maju dan menemukan kesuksesannnya jika dilandaskan kepada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, bukan kepada paham Feminisme yang diliputi dengan cara pandang Barat. Perjuangan wanita yang hanya didasarkan kepada paham Feminisme akan melahirkan perjuangan yang penuh dengan emosi dan hawa nafsu. Mereka akan selalu mencari cara untuk bisa melanggar syari’at hanya demi mewujudkan konsep kesetaraan gender yang penuh dengan ideologi sekular-liberal.

Sebaliknya, Perjuangan wanita yang didasarkan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah akan melahirkan pribadi-pribadi seperti Khadijah, ‘Aisyah, dan seperti pemudi-pemudi sahabat Nabi. Mereka telah membuktikan peranannya yang baik, secara domestik atau publik dengan tidak melanggar aturan-aturan syari’at. Beberapa di antara mereka telah dijamin kedudukannya di surga. Pemudi-pemudi yang lainnya pun tidak luput mendapat sanjungan dan kemuliaan dari Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam.   

Jika RUU P-KS ingin disahkan di Indonesia, kata kekerasan yang membuka peluang interpretasi bebas, mesti diganti dengan kata yang memiliki makna tegas, semisal kejahatan. Selain itu, substansinya mesti didasarkan kepada nilai-nilai Budaya dan Agama, agar Undang-undang tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia dengan membawa kemaslahatan dan terlebih sesuai dengan ideologi Negara itu sendiri.

wallāhu a’lam bi al-ṣawāb

By: Cep Gilang Fikri Ash-shufi S.Hum





[2] Biden says culture and arts change people's attitudes. He cites social media and the old NBC TV series "Will and Grace" as examples of what helped changed attitudes on gay marriage. Lihat: https://www.haaretz.com/.premium-jews-helped-gay-marriage-struggle-says-biden-1.5268228 (diakses pada 09-11-2019 pukul 16.37 WIB)
[3] (Q.S. Al-Nisa: 9)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَحِلُّ لَكُمۡ أَن تَرِثُواْ ٱلنِّسَآءَ كَرۡهٗاۖ وَلَا تَعۡضُلُوهُنَّ لِتَذۡهَبُواْ بِبَعۡضِ مَآ ءَاتَيۡتُمُوهُنَّ إِلَّآ أَن يَأۡتِينَ بِفَٰحِشَةٖ مُّبَيِّنَةٖۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ فَإِن كَرِهۡتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡ‍ٔٗا وَيَجۡعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيۡرٗا كَثِيرٗا
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”
[4]  (Q.S. Al-Baqarah: 228)
وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيۡهِنَّ دَرَجَةٞۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma´ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
[5] Jalāl al-Dīn Al-Maḥallī dan Jalāl al-Dīn Al-Suyūṭī, Tafsīr Al-Jalālayn, ed. Ghazi bin Muhammad ibn Talal (Amman: Royal Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought, 2007), 87.
[6] Lihat: Q.S. Al-Nur: 2-3
[7] Lihat: Q.S. Al-A’raf: 83 dan al-Naml: 55
[8] Lihat: Janet Todd, Mary Wollstonecraft: A Revolutionary Life (London: Weidenfeld and Nicolson, 2000)
[10] Inderpal Grewal and Caren Kaplan, An Introductionto Women’s Studies: Gender In a Transnational World, dalam Henri Salahuddin, Analisis Kritis Terhadap Metode Kritik Sejarah Berbasis Gender dalam Studi Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Indonesia Jurnal At-Ta`dib, Vol. 10. No. 2, Desember 2015, 424
[11] Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women Adopted and opened for signature, ratification and accession by General Assembly resolution 34/180 of 18 December 1979
[12] Lihat: Dinar Dewi Kania, Isu Gender: Sejarah dan Perkembangannya, (Islamia, Volume III No. 5, 2010), 26
[13] Ibid
[14] Ruth Tucker dan Walter L Liefeld , Daughter of the Church, hal 166. Dalam Hamid Fahmy Zarkasyi, (Islamia Volume III No. 5, 2010). 4
[15] Lihat: Syamsuddin Arif, Islam dan Diabolisme Intelektual  (Jakarta: Gema Insani Press, 2018). 123
[16] Lihat: Stan Goff, Borderline: Reflections on War, Sex, and Church (Oregon: Cascade Book, 2015). 68
[17] LIhat: Janet Todd, Mary Wollstonecraft: A revolutionary Life (London: Weidenfeld and Nicolson, 2000)
[18] Lihat: Dinar Dewi Kania, Isu Gender: Sejarah dan Perkembangannya, (Islamia, Volume III No. 5, 2010), 31
[19] Part Robertson, dalam https://www.nytimes.com/1992/08/26/us/robertson-letter-attacks-feminists.html (Diakses pada 10-11-2019 pukul 08.29 WIB)
[20] Tokoh kelahiran Kairo tersebut dijuluki sebagai bapak Feminisme Arab. Dalam bukunya, “taḥrīr al-mar`ah dan al-mar`ah al-jadīdah” ia menyatakan gagasan liberal bahwa jika ingin maju, buanglah jauh-jauh doktrin-doktrin agama yang konon menindas dan membelenggu perempuan, seperti perintah berjilbab, poligami, dan lain sebagainya.
[21] Ia berasal dari Amerika Serikat, dalam bukunya yang berjudul “Qur’an and Women” ia mengutuk sistem patriarki, dan menerapkan ide-ide Feminis Barat. Hingga banyak keputusan hukum dilanggar. Salah satu pandangan yang paling membuat heboh dalam buku tersebut adalah membolehkan perempuan mengimami laki-laki dalam shalat. Pendapatnya tersebut ia lakukan sendiri dengan menjadi khatib dan imam shalat jum’at di gereja beberapa waktu lalu.
[22] Ia berasal dari Pkistan, pendiri International Network for The Rights of Female Victims of Violence in Pakistan
[23] Berasal dari Mesir, bukunya The Hidden Face of Eve
[24] Dari Bangladesh, Penulis Buku Amar Meyebela
[25] Dari Indonesia, ia dikenal sebagai Profesor penerima nobel internasional tentang legalnya homoseksual