أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ، وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ»، قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ: اليَهُودَ، وَالنَّصَارَى قَالَ: «فَمَنْ» (البخاري)
Sejak beberapa tahun yang lalu, masyarakat Indonesia diresahkan
dengan pengguliran Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU
P-KS). Sejak wacana ini mulai diusulkan oleh Komnas Perempuan bekerjasama
dengan Forum Pengada layanan pada tahun 2016, ia selalu mendapatkan penolakan
dari banyak pihak. Mengingat, isi dari rancangan UUD tersebut mengancam
keutuhan budaya dan Agama.
Penolakan tersebut bersumber dari definisi “kekerasan” itu sendiri.
Dengan diksi tersebut, seolah-olah wacana ini merupakan sesuatu yang mesti disetujui,
mengingat semua orang setuju untuk menghapuskan kekerasan seksual. Namun, hal
itu ternyata diadikan alat pengecoh untuk melancarkan budaya asing yang syarat
dengan ideologi sekular dan liberal. Keduanya tidak tanggung-tanggung akan
menghancurkan institusi keluarga dan hukum-hukum Islam. Sampai di sini kita
sudah mengetahui bahwa RUU tersebut sangat subjektif dan memuat kepentingan
politis-ideologis.
Ideologi Barat tersebut terlihat dari wacana Kekerasan yang didefinisikan
secara panjang dan sulit dipahami. Pasal 1 RUU P-KS, mendefinisikan bahwa
kekerasan adalah,
“setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau
perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi
reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang
menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan
bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat
atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis,
seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”(Pasal 1
angka 1 RUU P-KS).
Dari pendefinisian tersebut, setidaknya terdapat dua hal yang perlu
di-highlight. Pertama, kekerasan adalah perbuatan menyerang (dsb)
terhadap tubuh atau memaksa hasrat seksual seseorang (dsb) secara paksa
bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang tidak mampu
memberikan persetujuan dalam keadaan bebas. Kedua, perbuatan itu terjadi,
“karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender”.
Secara ringkas, tulisan ini akan memberikan catatan kritis atas permasalahan
tersebut dan mecermati bagaimana kaitannya dengan gerakan feminisme yang
berasal dari Barat.
Pertama, Ketidak jelasan dalam definisi kekerasan
Poin pertama mendefinisikan kekerasan secara absurd. Kekerasan
mengacu bukan kepada hukum, melainkan kepada persetujuan. Jika seseorang setuju
untuk melakukan seks, walaupun secara hukum bukan suami-istri maka hal itu
tidak terhitung kekerasan. Kekerasan dengan demikian menjadi term yang sangat
subjektif-relatif. Jika RUU ini disahkan, wacana “kekerasan” bahkan bisa dijadikan
alat ampuh bagi para pendukung dan pegiat LGBT. Praktik homo-lesbi akan
dianggap “sah” asalkan dilakukan atas dasar persetujuan. Praktik Kaum-kaum
tersebut akan mendapat naungan dari UUD.
Padahal, pendefinisian tersebut sekilas saja sangat terdengar asing
oleh telinga “orang Indonesia”. Ia dengan jelas merupakan budaya impor Barat yang
menghalalkan sejumlah praktik di atas. Dunia Barat sudah sejak lama menjadikan
praktik hubungan seksual di luar pernikahan sebagai suatu hal yang wajar.
Bahkan, Mahkamah Amerika Serikat pada tahun 2015
telah melegalkan pernikahan sesama jenis di 50 negara bagian, setelah
sebelumnya hanya dilegalkan pada 36 negara bagian.[1]
Sebenarnya, pada tahun 2013 Joe Bidden, wakil presiden Obama, mengapresiasi
para pemimpin Yahudi yang telah membantu mengubah sikap Amerika tentang
pernikahan Gay, dari yang bersikap antipati kepada mewajarkannya. Perubahan
paradigma tersebut dilakukan oleh Yahudi melalui sebuah Film series pada jaringan
televisi mereka, NBC TV.[2]
Serta masih banyak kasus-kasus terkait. Kebudayaan tersebut adalah cerminan
dari framework sekular dan liberal mereka.
Berbeda dengan Barat, budaya Indonesia tidak pernah menyatakan
praktik seks bebas adalah suatu kewajaran. Masyarakat Indonesia akan menyatakan
setiap pelaku seks bebas sebagai orang yang tidak bermoral, tercela, dan
terhina. Dengan demikian, sex bebas, termasuk di dalamnya LGBT, merupakan
budaya Impor Barat yang jika diterapkan ke dalam masyarakat Indonesia akan
merubah kebudayaannya itu sendiri.
Islam sebagai agama yang mengatur seluruh kehidupan manusia, telah
mengatur kehidupan dalam rumahtangga. Aturan Islam tersebut menghendaki
keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Suami disyari’atkan untuk
mempergauli isrtinya dengan baik (wa ‘āshirūhunna bi l-ma’rūf)[3],
begitupun seorang istri kepada suaminya. [4]
Pergaulan dengan cara yang patut tersebut sebagaimana disebutkan oleh Imam
Jalalain mencakup perkataan, perbuatan hingga pemenuhan hak-hak dan kewajiban.[5]
Tentu saja hal ini termasuk dalam hubungan seksual. Sehingga, praktik seksual
suami istri yang hingga mencacatkan atau menyakiti dilarang dalam Islam.
Namun, tidak berarti konsep kekerasan dalam RUU P-KS sejalan dengan
ajaran Islam. Mengingat kekerasan diartikan sebagai pemaksaan hubungan seksual
semata yang tidak dibatasi dengan batas-batas budaya dan agama. Mengingat,
hubungan seksual di luar pernikahan walau dilakukan suka sama-suka, atau tidak
ada kekerasan dan paksaan, tetap haram dan terkategori zina.[6]
Termasuk praktik hubungan seksual sesama jenis.[7]
Ketentuan yang ada dalam al-Qur’an tersebut berlaku final dan tidak dapat
dirubah atau diotak atik. Finalitas ajaran Islam telah diutarakan sendiri dalam
al-Qur’an surat al-Maidah ayat ke 3.
Kedua, memuat isu kesetaraan gender yang diusung feminis.
Highlight kedua dari pasal 1 RUU P-KS adalah, “karena ketimpangan
relasi kuasa dan/atau relasi gender”. Relasi suami-istri (kaum feminis
menamainya relasi Gender) yang didasarkan atas kekuasaan dan penindasan
merupakan cerminan kehidupan keluarga di Barat yang telah terjadi sejak zaman
kegelapan (the dark ages). Relasi tersebut maknanya adalah perlakukan
menindas, mensubordinasi yang dilakukan oleh suami atau laki-laki kepada istri
atau perempuan. Hal itu kemudian memunculkan protes keras dari kalangan
perempuan hingga memunculkan gerakan feminis[8], sebagaimana
akan dijelaskan dalam subtopik selanjutnya. Artinya, wacana tersebut melekat
dalam paham feminisme, dan dengan demikian kekerasan seksual dalam RUU P-KS direduksi
hanya dilakukan oleh laki-laki.
Padahal, tanpa bermaksud menafikan adanya kekerasan seksual dialami
oleh perempuan, kekerasan dan kejahatan seksual dalam perspektif tindak pidana
tidak memandang jenis kelamin. Ia dapat dilakukan oleh laki-laki atau
perempuan. Sementara penggunaan relasi gender tersebut telah mengabaikan
kejahatan seksual yang dilakukan oleh perempuan. Di Amerika Serikat, kasus
Cierra Ross menjadi salah satu faktanya. Ia Didakwa dalam tindak pidana
perkosaan dan perampokan bersenjata terhadap korbannya, yang berjenis kelamin
laki-laki.[9]
Kekerasan juga banyak dilakukan oleh wanita kepada wanita. Faktor
yang sering melatarbelakanginya adalah unsur internal dan identitas mereka,
seperti faktor perbedaan kelas dan ras. Kelompok wanita non Eropa (woman of
color), termasuk wanita imigran dan kulit hitam di Amerika, berdepan dengan
dua jenis diskriminasi, yaitu karena mereka adalah wanita (faktor gender), dan
karena mereka bukan kulit putih (faktor rasisme).[10]
Artinya, penyebab adanya diskriminasi bukan hanya laki-laki atau suami. Sangat tidak
tepat jika relasi kuasa atau relasi gender dalam RUU P-KS dinyatakan sebagai
satu-satunya penyebab kekerasan seksual.
Sebenarnya masih terdapat banyak permasalahan dalam pasal 1 RUU P-KS.
Namun, dalam hal ini penulis hanya memaparkan hal yang dianggap paling krusial.
Permasalahan lain dalam pasal tersebut seperti problem normatif dalam bentuk
kata-kata yang ambigu, walaupun pada intinya yang paling ambigu adalah
kekerasan itu sendiri. Kata-kata ambigu lainnya seperti “merendahkan”,
“menghina” yang tidak dibatasi secara jelas dan bisa diartikan sesuka hati.
Selain itu, permasalhan selanjutnya adalah frasa “hasrat seksual”. Dua kata
tersebut se-olah menjadi sumber legitimasi atas segala macam penyimpangan
perilaku seksual seperti perzinahan, pelacuran, termasuk disorientasi hasrat
seksual LGBT. Selain itu terdapat frasa “fungsi reproduksi” dan lain
sebagainya.
RUU P-KS dan CEDAW
CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of
Discriminations Againts Women) adalah kesepakatan yang dikeluarkan oleh PBB
pada tahun 1979 dalam rangka memberikan restu kepada gerakan feminis. Isi dari
kesepakatan tersebut adalah memastikan kesetaraan hak laki-laki dan perempuan
dalam segala bidang. Salah satu pasalnya berbunyi,
“Noting
that the States Parties to the International Covenants on Human Rights have the
obligation to ensure the equal rights of men and women to enjoy all economic, social,
cultural, civil and political”
(Memperhatikan
bahwa Negara-negara Pihak pada Kovenan Internasional tentang Hak Asasi Manusia
memiliki kewajiban untuk memastikan kesetaraan hak laki-laki dan perempuan
untuk menikmati semua ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik)[11]
Konvensi tersebut menjadi sebuah dokumen yang bertanggungjawab atas
merebaknya paham kesetaraan gender yang bernafaskan sekular-liberal.
Setelah Konvensi tersebut, Negara, lembaga serta
organisasi-organisasi di dunia terus mendukung gerakan-gerakan perempuan. Di
Dunia Islam, Pakistan Misalnya. Pada tahun 1975 pemerintah Pakistan mendorong
perempuan untuk mengikuti pemikiran Feminisme. Gerakan tersebut sempat
dibendung pada tahun 1977 dengan proses Islamisasi dan militerisasi, Namun, pada
tahun 1980, gerakan Feminis kembali bermunculan di Pakistan secara signifikan.
Indonesia juga mengalami hal yang serupa. Gerakan feminisme menyebarkan paham
kesetaraan gendernya dengan gendar dan sistematis melalui media, ormas, LSM,
lembaga pendidikan formal dan non formal. Dengan mengatasnamakan HAM mereka
mempengaruhi pemerintah dalam masalah kebijakan sampai teknis operasional.[12]
Usaha aktivis Feminis di Indonesia tampak mulai mendapatkan
hasilnya dengan diratifikasi isi CEDAW sehingga keluarlah UU no. 7 tahun 1984.
Pemerintah juga selanjutnya mengesahkan undang-undang no. 23 tahun 2004 tentang
PKDRT (penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga), UU perlindungan Anak, dan
berusaha melegalkan aborsi melalui amandemen UU Kesehatan. Dalam bidang
politik, feminis berada di belakang keluarnya UU Pemilu tahun 208 tentang kuota
caleg perempuan sebanyak 30 persen.[13] Dengan
demikian, pada masa orde baru inilah (ketika diratifikasi CEDAW) bibit-bibit
feminisme muncul di Indonesia.
Di era reformasi, sering terjadi bentrokan yang kebanyakan
korbannya adalah kalangan perempuan. Menanggapi hal itu, komnas perempuan
dibentuk untuk mendongkrak dan memberdayakan perempuan. Namun, berdasarkan background
para pendirinya, lembaga tersebut memiliki tujuan politis, yaitu memiliki
kepentingan menyebarkan paham feminisme. Akhirnya, sejak tahun 2010, mereka
melakukan penelitian kekerasan seksual sebagai embrio dari RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual. Hingga pada tahun 2016, hasil dari perancangan tersebut
mulai diajukan. RUU P-KS sebagaimana telah dipaparkan syarat dengan paham
feminisme yang sekular-liberal.
Feminimisme, Dari Misogini ke Emansipasi
Istilah feminisme berasal dari bahasa latin, “Femina” berarti
perempuan. Konon dari kata fides dan minus menjad fe-minus. Dalam buku yang
berjudul “Daughter of the Church”, yang ditulis oleh Ruth Tucker dan Walter L
Liefeld, dinyatakan bahwa,
“the very word to describe woman, femina, according to the authors
(of witches hammer) is derived from fe and minus or fides minus, interpreted as
less in faith”. Infatti I due domenicani asserivani che la parola “femina”
derivasse che la parola da “feminus”.[14]
Terjemahannya adalah “Kata yang tepat untuk menggambarkan wanita,
femina, menurut penulis (buku withes hammer) berasal dari fe dan minus
atau fides minus, diartikan sebagai kurang dalam iman".
Dengan demikian istilah feminis secara etimologis adalah kurang Iman.
Terlepas dari benar atau tidaknya pemaknaan tersebut, yang pasti
perempuan di Barat dalam sejarahnya memang diperlakukan seperti manusia kurang
Iman. Sejak zaman pra Kristen, hingga awal abad modern wanita dipandang sebelah
mata (misogyny) dan dilekatkan citra negatif. Tokoh-tokoh seperti Plato
dan Aristoteles pada masa pra Kristen, St. Clemen, St. Augustinus dan St.
Thomas Aquinass pada Abad pertengahan, Serta Jhon Locke, Rosseau dan Nietzche
di awal abad modern, seluruhnya memiliki pandangan yang sama terhadap
perempuan. Mereka menganggap perempuan adalah makhluk yang hina-dina. Perempuan
dianggap sebagai sumber dari segala kerusakan dan kesialan. Mereka juga disamakan
dengan Budak dan anak-anak, dan lain sebagainya.[15] Bahkan
St. Albertus Magnus mengatakan:
“Women is misbegotten man and has a faulty and defective nature in
comparison to his. Therefore she is unsure in herself. what she cannot get, she
seeks to obtain throught lying and diabolical deceptions. And so, to put it
briefly, one must be on one’s guard with enemy women, the world would be
astonished… Woman is strictly speaking not cleverer but slyer (more cunning)
than man. Cleverness sound like something good, slynesss sound like something
evil.”[16]
Terjemahnya, “Perempuan adalah laki-laki yang cacat sejak awalnya,
seba kurang dibanding laki-laki. Makhluk yang tidak pernah yakin pada dirinya
sendiri dan cenderung melakukan berbagai cara demi mencapai keinginannya,
dengan berdusta dan tipu muslihat ala iblis. perempuan tidak cerdas, namun
licik, seperti ular berbisa dan syetan bertanduk. jika rasio menuntut laki-laki
pada kebaikan, emosi menyeret perempuan kepada kejahatan.” Keadaan tersebut
terus berlangsung hingga awal abad modern.
Abad ke 18, umumnya dicatat sebagai kemunculan Nenek Moyang
Feminis. Ia bernama Marry Wollstonecraft (1759-1797). Marry menulis sebuah
pernyataan yang sangat fenomenal dalam bukunya, a Vindication of the Right
of Woman. Ia mengecam berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan,
menuntut persamaan hak bagi kaum perempuan baik dalam pendidikan maupun politk.
perempuan harus diperbolehkan bersekolah dan memberikan suaranya dalam
pemilihan umum. Wanita tidak boleh lagi menjadi burung di dalam sangkar. Mereka
mesti dibebaskan dari kuraungan rumah-tangga dan penjara-penjara lainnya. Ia
juga mengatakan, berbagai kelemahan yang terdapat dalam perempuan lebih
disebabkan oleh faktor lingkungan, bukan faktor alami. Laki-lakipun jika tidka
berpendidikan dan diperlakukan seperti permepuan akan bersifat dan bernasib
sama, lemah dan tertinggal.”[17]
Pernyataan tersebut menjadi gebrakan yang meluas ke se antero Eropa-Amerika.
Hingga, banyak bermunculan tokoh-tokoh perempuan setelahnya, seperti clara
zetkin (1857-1933) di jerman, Helene Brion (1882-1962) di Perancis, Anna
kulisciof (1854-1925) di Itali, dan lain-lain. Gerakan mereka berkisar seputar
perjuangan hak pendidikan, politik, dan reformasi hukum dan perundang-undangan
negagara yang telah merugikan perempuan. Selain itu, gerakan mereka juga
merambat pada penghapusan segala macam pembedaan atas pertimbangan jenis
kelamin (gender based differentiation). Setelah agenda tersebut, gerakan
berikutnya adalah membebaskan kaum wanita dari penjara kesadarannya. Mereka
diingatkan tengah berada dalam cengkraman kaum laki-laki. Mereka hidup dalam
dunia yang dikuasai laki-laki (male-dominated world). Dengan demikian,
ketertindasan perempuan di barat memicu munculnya resistensi yang memunculkan
tuntutan kesetaraan gender dan faham feminisme.
Gerakan Feminisme selanjutnya, yaitu beberapa dasawarsa terakhir,
berubah menjadi gerakan yang radikal. Mereka menentang institusi keluarga dan
mencemooh perkawinan. Tinggal bersama suami dianggap sama seperti tinggal
dengan musuh (living with enemy). Mereka mengutuk sistem patriarki yang
memposisikan hirarki suami berada di atas istri. Mereka mengaggap bahwa menjadi
seorang istri sama dengan disandra. Akibatnya, mereka melakukan
perlakuan-perlakuan menyimpang. Perayaan lesbianism, melakukan aborsi adalah
cerminan dari gerakan tersebut. Sikap tersebut tidak aneh karena latar belakang
pandangan hidup mereka adalah sekular dan liberal.[18]
Gerakan feminisme yang berusaha memberdayakan dan mengangkat
derajat wanita dengan demikian telah melampaui batas-batasnya. Hal itu
dikarenakan perjuangan mereka bukan dilandasi karena pemberdayaan murni, namun
berdasarkan amarah yang dibawa sejak masa penindasan mereka, yaitu sejak zaman
yunani hingga awal abad modern. Tidak aneh jika mereka menjadi gerakan yang
memusuhi laki-laki. Part Robertson, mantan calon Presiden Amerika Serikat,
mengkritik tajam gerajak feminis radikal tersebut. Ia mengatakan, “Feminist
encourage women to leave their husband, kill their children, practice
witchcraft, become lesbians.” (Kaum Feminis mendorong perempuan untuk meninggalkan suaminya, membunuh
anak-anak mereka, mempraktekkan perdukunan, menjadi lesbian).[19]
Jauh sebelum itu, Imam al-Ghazali telah mengingatkan, “Segala sesuatu apabila
dilakukan melampaui batasnya, justru akan berdampak sebaliknya.” (kullu
syayin idhā balagha haddahū in ‘akasa ‘alā ḍiḍḍihī).
Selanjutnya, situasi yang kacau tersebut diimpor kepada dunia Islam
satu paket dengan penyebaran paham barat (westernisasi, liberalisas dan
sekularisasi). Munculnya berbagai tokoh feminis dari kalangan Muslim seperti Qasim
Amin[20], Amina
Wadud[21], Rifa’at
Hasan[22],
Nawal al-Sa’dawi[23],
Taslima Nasreen[24],
Siti Musdah Mulia,[25] dan
lain sebagainya, adalah buah dari gerakan feminisme Barat. Framework mereka
yang walaupun sebagai seorang Muslim, terpengaruh dengan framework Barat.
Mereka memandang kehidupan wanita dalam dunia Islam dengan kaca mata Barat.
Akhirnya, para tokoh tersebut menyimpulkan bahwa telah terjadi
penindasan-penindasan perempuan dalam Islam. Hal itu menurut mereka disebabkan karena
perempuan dimarginalkan dalam penafsiran para Ulama. Keputusan-keputusan hukum
sealu dianggap lebih memihak kepada laki-laki. Pada tataran kehidupan. para
wanita diharuskan tunduk kepada suami-suaminya. Hingga, resistensi tersebut
memicu mereka mengadopsi semangat kesetaraan gender (gender equality).
Padahal,
Permasalahan diskriminasi dan subordinasi perempuan tidak lahir dari ajaran
Islam atau tafsir-tafsir para Ulama. Sebab ajaran Islam lahir telah merevolusi
tradisi jahiliyah yang sebagian besarnya adalah penindasan perempuan. Ayat-ayat
al-Qur’an tidak ada satupun yang misoginis. Derajat laki-laki dan perempuan
dalam al-Qur’an ditentukan oleh ketakwaannya, bukan jenis kelamin. Dalam
kehidupan keluarga, masing-masing memiliki peran dan tanggungjawab yang berbeda
sesuai dengan fitrahnya. Dalam kehidupan publik, baik laki-laki ataupun
perempuan dituntut berperan dan berpartisipasi aktif melaksanakan amar ma’ruf
nahyi munkar serta berlomba-lomba dalam kebaikan. Penafsiran para Ulama pun
tidak didasarkan pada jenis kelamin atau bias gender. Mereka diharuskan
memenuhi syarat-syaratnya, yaitu; keilmuan, kemampuan akal yang baik, syarat
agama dan adab. Dengan demikian, pandangan adanya ketertindasan perempuan dalam
Islam hanyalah carbon copy dari cara pandang feminis sekular-liberal.
Penutup
Dari pemaparan di atas, RUU-PKS tidak dapat dilepaskan dari gerakan
Feminis di Barat. Ia syarat dengan ideologi sekular-liberal. Pantas jika
gerakan mereka yang pada awalnya merupakan gerakan pemberdayaan, pada akhirnya
menampakkan buah dari pemikiran mereka, yaitu mengutuk institusi keluarga,
menghina pernikahan, menghalalkan aborsi, dan melakukan praktik hubungan
seksual sesama jenis.
Gerakan Perempuan akan maju dan menemukan kesuksesannnya jika
dilandaskan kepada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, bukan kepada paham Feminisme
yang diliputi dengan cara pandang Barat. Perjuangan wanita yang hanya
didasarkan kepada paham Feminisme akan melahirkan perjuangan yang penuh dengan
emosi dan hawa nafsu. Mereka akan selalu mencari cara untuk bisa melanggar
syari’at hanya demi mewujudkan konsep kesetaraan gender yang penuh dengan
ideologi sekular-liberal.
Sebaliknya, Perjuangan wanita yang didasarkan kepada al-Qur’an dan
al-Sunnah akan melahirkan pribadi-pribadi seperti Khadijah, ‘Aisyah, dan
seperti pemudi-pemudi sahabat Nabi. Mereka telah membuktikan peranannya yang
baik, secara domestik atau publik dengan tidak melanggar aturan-aturan
syari’at. Beberapa di antara mereka telah dijamin kedudukannya di surga.
Pemudi-pemudi yang lainnya pun tidak luput mendapat sanjungan dan kemuliaan
dari Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam.
Jika RUU P-KS ingin disahkan di Indonesia, kata kekerasan yang
membuka peluang interpretasi bebas, mesti diganti dengan kata yang memiliki
makna tegas, semisal kejahatan. Selain itu, substansinya mesti didasarkan
kepada nilai-nilai Budaya dan Agama, agar Undang-undang tersebut dapat
dilaksanakan di Indonesia dengan membawa kemaslahatan dan terlebih sesuai
dengan ideologi Negara itu sendiri.
wallāhu a’lam bi al-ṣawāb
By: Cep Gilang Fikri Ash-shufi S.Hum
[1]Lihat:
https://internasional.kompas.com/read/2015/06/26/23073761/Mahkamah.Agung.Amerika.Legalkan.Pernikahan.Sesama.Jenis?page=all
(diakses pada 09-11-2019 pukul 16.35 WIB)
[2] Biden says culture and arts change people's attitudes.
He cites social media and the old NBC TV series "Will and Grace" as
examples of what helped changed attitudes on gay marriage. Lihat: https://www.haaretz.com/.premium-jews-helped-gay-marriage-struggle-says-biden-1.5268228
(diakses pada 09-11-2019 pukul 16.37 WIB)
[3]
(Q.S. Al-Nisa: 9)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَحِلُّ لَكُمۡ أَن تَرِثُواْ
ٱلنِّسَآءَ كَرۡهٗاۖ وَلَا تَعۡضُلُوهُنَّ لِتَذۡهَبُواْ بِبَعۡضِ مَآ
ءَاتَيۡتُمُوهُنَّ إِلَّآ أَن يَأۡتِينَ بِفَٰحِشَةٖ مُّبَيِّنَةٖۚ
وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ فَإِن كَرِهۡتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ
شَيۡٔٗا وَيَجۡعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيۡرٗا كَثِيرٗا
“Hai
orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan
paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka
melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut.
Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak”
[4] (Q.S. Al-Baqarah: 228)
وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ وَلِلرِّجَالِ
عَلَيۡهِنَّ دَرَجَةٞۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma´ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
[5] Jalāl al-Dīn Al-Maḥallī dan Jalāl al-Dīn Al-Suyūṭī, Tafsīr
Al-Jalālayn, ed. Ghazi bin Muhammad ibn Talal (Amman: Royal Aal
al-Bayt Institute for Islamic Thought, 2007), 87.
[6]
Lihat: Q.S. Al-Nur: 2-3
[7]
Lihat: Q.S. Al-A’raf: 83 dan al-Naml: 55
[8]
Lihat: Janet Todd, Mary Wollstonecraft: A Revolutionary Life (London:
Weidenfeld and Nicolson, 2000)
[10]
Inderpal Grewal and Caren Kaplan, An Introductionto Women’s Studies: Gender
In a Transnational World, dalam Henri Salahuddin, Analisis Kritis
Terhadap Metode Kritik Sejarah Berbasis Gender dalam Studi Islam di UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta Indonesia Jurnal At-Ta`dib, Vol. 10. No. 2, Desember
2015, 424
[11]
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women
Adopted and opened for signature, ratification and accession by General
Assembly resolution 34/180 of 18 December 1979
[12]
Lihat: Dinar Dewi Kania, Isu Gender: Sejarah dan Perkembangannya, (Islamia,
Volume III No. 5, 2010), 26
[13]
Ibid
[14]
Ruth Tucker dan Walter L Liefeld , Daughter of the Church, hal 166.
Dalam Hamid Fahmy Zarkasyi, (Islamia Volume III No. 5, 2010). 4
[15]
Lihat: Syamsuddin Arif, Islam dan
Diabolisme Intelektual (Jakarta:
Gema Insani Press, 2018). 123
[16]
Lihat: Stan Goff, Borderline: Reflections on War, Sex, and Church
(Oregon: Cascade Book, 2015). 68
[17]
LIhat: Janet Todd, Mary Wollstonecraft: A revolutionary Life (London:
Weidenfeld and Nicolson, 2000)
[18]
Lihat: Dinar Dewi Kania, Isu Gender: Sejarah dan Perkembangannya, (Islamia,
Volume III No. 5, 2010), 31
[19] Part Robertson, dalam https://www.nytimes.com/1992/08/26/us/robertson-letter-attacks-feminists.html
(Diakses pada 10-11-2019 pukul 08.29 WIB)
[20] Tokoh
kelahiran Kairo tersebut dijuluki sebagai bapak Feminisme Arab. Dalam bukunya,
“taḥrīr al-mar`ah dan al-mar`ah al-jadīdah” ia menyatakan gagasan
liberal bahwa jika ingin maju, buanglah jauh-jauh doktrin-doktrin agama yang
konon menindas dan membelenggu perempuan, seperti perintah berjilbab, poligami,
dan lain sebagainya.
[21] Ia berasal
dari Amerika Serikat, dalam bukunya yang berjudul “Qur’an and Women” ia
mengutuk sistem patriarki, dan menerapkan ide-ide Feminis Barat. Hingga banyak
keputusan hukum dilanggar. Salah satu pandangan yang paling membuat heboh dalam
buku tersebut adalah membolehkan perempuan mengimami laki-laki dalam shalat.
Pendapatnya tersebut ia lakukan sendiri dengan menjadi khatib dan imam shalat
jum’at di gereja beberapa waktu lalu.
[22] Ia berasal
dari Pkistan, pendiri International Network for The Rights of Female Victims of
Violence in Pakistan
[23] Berasal dari
Mesir, bukunya The Hidden Face of Eve
[24] Dari
Bangladesh, Penulis Buku Amar Meyebela
[25] Dari
Indonesia, ia dikenal sebagai Profesor penerima
nobel internasional tentang legalnya homoseksual

Social Plugin