pict by Free-Photos on pixabay

Tantangan Dakwah dari waku ke waktu terus berkembang dengan konsep dan motif yang berbeda-beda. Dahulu, yang dihadapi pertama kali oleh para Nabi dari ummatnya adalah permasalahan Tauhid, di mana para Nabi mengajak manusia itu untuk meng-esa-kan Allah. Walaupun setelah itu, tantangan dakwah menjadi kompleks. Termasuk pada masa Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam, tantangan dakwah bersumber dari internal dan eksternal kaum Muslimin.

Permasalahan yang muncul pada masa Beliau, datang dari berbagai aspek; baik aspek akidah, syari’ah dan akhlak. Selanjutnya, pada masa Sahabat, muncul tantangan yang terbilang baru, yang tidak ada sebelumnya, seperti munculnya aliran-aliran mu’tazilah, khawārijsyī’ahqadariyahjabbariyah, aliran kebatinan dan lain sebagainya. Aliran-aliran tersebut menyerukan keyakinan atau aqidah yang berbeda dengan ahlu-sunnah wa al-jamā’ah.

Pada hakikatnya, tantangan Dakwah secara substansi tidak akan berbeda sampai kapanpun, hal itu karena semuanya telah dirangkum oleh al-Qur’an. Namun, pembungkusan dan pembahasan dari musuh-musuh Islam tersebut dari waktu ke waktu selalu berbeda-beda, sebagaimana sedikit disinggung di atas. Hal ini mesti diwaspadai, mengingat seringkali Umat Islam sendiri tidak sadar bahwa dirinya telah mendukung kaum kāfirin.

Bahkan, tidak sedikit hari ini, yang melawan Islam adalah kaum Muslimin itu sendiri. Artinya, walaupun tidak akan jauh dari permasalahan aqīdah, syarī’ah dan akhlāq, namun bentuk, cashing, pembahasan dan qaḍāyā-nya akan selalu berbeda beda, dan dengan demikian, kaum Muslimin pun perlu menghadapinya dengan cara-cara baru.

Dewasa ini, tantangan Dakwah di Indonesia yang paling krusial adalah tantangan pemikiran atau aqīdah. Permasalahan-permasalahan yang muncul dalam bidang pendidikan, sosial, politik dan ekonomi bersumber dari bagaimana cara seseorang berpikir. Jika pandangan terhadap sesuatu memakai cara pandang Islam yang tidak diragukan lagi kebenarannya, maka kesimpulan dan tindakannya pun akan benar, begitupun sebaliknya.

Permasalahannya, arus pemikiran yang sangat kuat di Dunia sekarang ini adalah arus pemikiran kafir, yang dijelmakan sebagai paham liberalisme dan sekularisme. Saking dahsyatnya, hampir tidak ada Negara yang menolak paham tersebut, semuanya memandang hal ini sebagai sebuah keharusan (necessary), termasuk Indonesia, walaupun paham tersebut tidak akan bisa mempengaruhi kaum Muslimin yang teguh dengan aqidahnya. Artinya, barat memiliki proyek besar yaitu liberalisasi dan sekularisasi pemikiran manusia.

Peliknya tantangan pemikiran ini bisa diilustrasikan dalam sepenggal cerita. Misalnya, terdapat dua orang murid yang diketahui gurunya mencontek ketika sedang ujian. Ketika ditanya, “mengapa anda mencontek?” Murid yang pertama menjawab dengan permohonan maaf, ia berkata “maafkan saya pak/bu guru, saya salah karena telah mencontek”. Sementara murid yang kedua menjawab, “ya terserah saya, mau mencontek atau tidak, yang mencontek saya yang ujian juga saya, kenapa ibu yang protes”.

Permasalahan yang mendasar dari kedua anak tersebut adalah cara pandang mereka terhadap mencontek, yang satu meyakini merupakan suatu kesalahan dan yang kedua meyakini sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Keyakinan kedua murid tersebut dipengaruhi oleh keyakinan dasarnya yang berbeda. Murid pertama bisa jadi masih memiliki keyakinan Islami. Sedangkan yang kedua, pengaruh berpikiran bebas tanpa nilai lebih mendominasinya. Pemikiran-pemikiran bebas yang kosong dari nilai-nilai kebenaran inilah yang banyak menjangkiti manusia sejak zaman dahulu hingga hari ini.

Serge Latoucge, seorang profesor di bidang Politik Ekonomi dari Universitas Paris Perancis, dalam bukunya The Westernization of The World, meyebutkan bagaimana Barat memiliki program mengarahkan budaya, gaya hidup, pemikiran dan mentalitas umat manusia sedunia agar menyamai dan mengikuti mereka. Hal inilah yang disebut dengan westernisasi. Proses ini menurut Latouche dilakukan dengan proses industrialisasi, urbanisasi dan de-nasionalisasi. Atas hal ini, westernisasi benar-benar nyata, dan bukan sekedar tudingan orang-orang yang “anti Barat”.

Permasalahannya, dalam proses westernisasi ini memuat unsur-unsur ideologis. Ia bukan hanya sekadar program Barat dalam bidang politik ekonomi dan kebudayaan, melainkan yang paling mendasar adalah membawa konsep dalam bentuk wacana yang hidup (living discourse). Mulai sekitar abad 19-lah, isu-isu pemikiran asing ini menjangkiti kaum Muslimin.

Pada awalnya dibawa oleh orientalis dan kolonialis dengan program westernisasinya, lalu ditambah dengan serbuan kaum Muslimin untuk melanjutkan studi di negara-negara eropa, sehingga banyak di antara mereka yang tidak berpikir kritis, kemudian melahirkan berbagai karya-karya yang menghidupkan wacana asing dalam pikiran umat Islam. Dengan kata lain, pemikiran Barat tersebut telah menghegemoni kaum Muslimin.

Hegemoni pemikiran Barat atas kaum Muslimin tersebut dapat kita lihat dalam berbagai respon para cendekiawan Muslim dalam berbagai permasalahan. Dalam bidang pendidikan, sebagian cendekiwan Muslim dengan semangat mengusung pendidikan Multikulturalisme. Konsep pendidikan ini dalam kurikulumnya memasukan unsur-unsur pluralisme yang dibungkus dengan keharusan peserta didik untuk bersikap toleran atas agama-agama.

Zakiyudin Baidhawi, dalam bukunya “Pendidikan Berwawasan Multikulturalisme” menyatakan bahwa Multikulturalisme penting diterapkan dalam konsep pendidikan berdasarkan dua hal; toleransi peserta didik dan transformasi pengajaran. Kedua hal tersebut lahir dari kenyataan akan keberagaman, baik agama, suku, ras, kebudayaan, dan dengan demikian Multikulturalisme berusaha untuk mengatasi hal tersebut.

Permasalahannya, pendidikan Multikultural tersebut berbasis Pularisme (wihdatul Adyān). Dr. Adian Husaini, dalam bukunya “Pendidikan Islam membentuk Manusia Berkarakter dan beradab”, menyanggah konsep tersebut dengan bijaksana. Beliau mengatakan, “Islam adalah agama yang terbukti berhasil mewujudkan masyarakat multikultur di Madinah, Bagdad, Palestina, Andalusia dan sebagainya. Di Madinah, Nabi Muhammad memelopori satu Negara dengan konstitusi tertulis pertama di Dunia. Di Palestina, Khalifah Umar bin Khathab adalah pemimpin pertama di Dunia yang memberikan kebebasan beragama dalam perspektif Islam di kota Jerusalem, tahun 636 M.” Artinya, Islam telah mencatatkan sejarahnya sebagai agama yang paling toleran (tanpa pluralisme), dan dengan demikian tidak perlu memasukan konsep toleransi asing ke dalam ajaran Islam.

Berbeda dengan ranah pendidikan, dalam ranah politik, hegemoni pemikiran Barat terjelma dalam isu demokrasi yang menganut prinsip prinsip liberal dan sekular. Konsep-konsep seperti keadilan yang sama rata, utilitarianisme, libertarianisme, equality, politik kapitalis dan lain sebagainya, merupakan konsep-konsep yang lahir dari tangan-tangan barat seperti; Machiavelli, Thomas Hobbes, Montesquieu dan lain sebagainya yang tidak mencerminkan nilai-nilai Islam.

Terlebih, konsep politik Islam sudah sejak lama ditinggalkan, ia hanya bertumpu pada gagasan al-Mawardi, Ibn Khaldun, Ibn Taimiyah tanpa dikembangkan menjadi konsep-konsep baru. Akhirnya, cendekiawan Muslim pun cenderung merujuk kepada konsep-konsep politik Barat, yang pada aktualisasinya semakin menguatakan liberalisasi dan sekularisasi politik. Seharusnya, konsep-konsep politik yang ditelurkan oleh tokoh-tokoh Muslim tersebut dijadikan bahan-bahan untuk pengembangan konsep politik guna menghadapi permasalahan politik saat ini.

Dalam ranah studi Islam, hegemoni pemikiran Barat bisa dilihat dalam sikap anti otoritas dan anti kemapanan. Studi-studi Islam yang sudah sejak lama terjaga, kokoh, dan otoritatif dipertanyakan kembali kebenarannya. Tafsir, Hadits, Fiqih, ilmu al-Qur`an dikritisi dan diragukan keabsahannya, dan dengan demikian diperlukan ‘reinterpretasi’ (pemahaman kembali).

Proses ini salahsatunya dilakukan dengan diskursus yang datang sejak zaman yunani, yaitu Hermeneutika. Ia pada awalnya diperuntukan untuk mengkritik karya sastra, namun dalam tradisi Yahudi dan Kristen digunakan untuk mengkritisi kitab suci mereka. Hingga, pada abad ke 18, Schleimacher, seorang filusuf Jerman, mengubah hermeneutika menjadi diskursus filsafat dan bersifat dapat digunakan untuk teks apapun. Hal inilah yang menyebabkan cendekiawan Muslim menjadikannya sebagai alat untuk menafsirkan al-Qur’an, menggantikan ilmu tafsir yang diwariskan sejak zaman Rasulullah.

Dampaknya, konsep dan hukum-hukum pun berubah, seperti Muslimah tidak wajib berjilbab, bolehnya pernikahan beda agama, perataan pembagian waris, semua agama dapat mengantarkan ke surga, perubahan konsep keluarga, dan lain sebagainya.

Selain itu, konsep-konsep ini juga memprovokasi seseorang dalam sebuah gerakan atau protes. Dalam isu pluralisme, muncul gerakan yang memprotes syari’at dalam bentuk pengajuan undang-undang yang melegalkan LGBT. Dalam wacana liberalisme, muncul intelektual Muslim yang anti fatwa Ulama. Dalam wacana Sekularisme, muncul isu Islam intoleran, Islam teroris dan lain sebagainya, dan akhir-akhir ini muncul sebuah reaksi bahwa Agama (dengan menekankan Islam) adalah musuh Pancasila. Semua itu merupakan protes-protes terhadap Islam yang dasarnya adalah pemikiran.

Arus pemikiran Barat tersebut dengan demikian merupakan fakta-fakta yang telah dirasakan dan sedang dihadapi oleh Ummat Islam. Atas hal itu, Ummat Islam sudah seyogianya semakin memperkuat dalam merespon tantangan ini. Jihad Umat Islam dewasa ini bukanlah jihad qitāl di medan perang, melainkan jihad pemikiran.

Dengan itu, kaum Muslimin mesti terus memperkuat dan mengembangkan keilmuan mereka. Masyarakat pun memerlukan penguatan akidah dan keimanan agar tidak terkena virus Barat ini. Gerakan-gerakan kaum Muslimin adalah gerakan yang menghidupkan Islam dan secara khusus menghadapi gerakan-gerakan sekularisasi dan liberalisasi. The last but not least, setiap Muslim mesti memposisikan dirinya sesuai kemampuannya, dalam rangka I’lā kalimātillah.

https://www.rukyatulislam.com/2020/09/tantangan-dakwah-kontemporer.html