Ulama
dengan segudang pengetahuan dan ilmunya menjadi sebab mereka memiliki kedudukan
yang sangat penting di tengah-tengah masyarakat Muslim. Bahkan sejarah panjang
peradaban Islam sekalipun di dalamnya terdapat peran penting para ulama.
Memang
benar! di antara kebanggaan kita terhadap sejarah peradaban Islam tidak hanya terletak
pada kesuksesan para khalifahnya di setiap masa, tetapi karena banyaknya tercantum
ulama terkemuka yang telah berkontribusi banyak dalam segala bidang –terutama
bidang keilmuan. Sehingga Syaikh Ahmad Farid menyanjung para ulama sebagai buah-buah
yang baik lagi penuh berkah bagi dakwah Islam yang abadi yang mana melalui
merekalah Allah meninggikan panji-Nya dan menjayakan syariat-Nya.” (Lihat. Min
A’lâmis Salaf, jil. 1, hlm. 6)
Kedudukan
ulama ditengah masyarakat tidak hanya dikarenakan berfungsi sebagai referensi
umat dalam menghadap persoalan-persoalan keagamaan saja, sebab di suatu masa
dan tempat, ulama berperan signifikan dalam urusan-urusan sosial, ekonomi, bahkan
urusan politik-kenegaraan.
Tidak
cukup sampai disitu, keberadaan ulama di tengah masyarakat ibarat garam sebagai
penyedap rasa. Apabila umat memenuhi hak-haknya, maka akan ada kebaikan yang
terjadi, namun begitu sebaliknya, bila umat menyepelekan, merendahkan sampai
mendzaliminya maka pintu fitnah akan terbuka lebar. Sebagaimana Sulaiman
Ar-Rukhaili menyatakan: “Akan senantiasa ada kebaikan kepada manusia selama mereka
mengenal ulamanya, membenarkannya, dan senantiasa menjadikan mereka sebagai
pijakan; dan akan senantiasa ada kebaikan kepada manusia selama ada di antara
mereka seorang ulama.” (Fiqh Al-Fitan, hlm. 24)
Oleh
karenanya, wajar bila ulama digambarkan ibarat bulan purnama di antara hamparan
bintang-bintang dan mendapat perhatian di dalam Alquran maupun Assunnah, sampai
Syaikh Badruddin Al-Kinani di dalam Kitabnya Tadzkiratus Sami’ wal
Mutakallim; fi Adabil ‘Âlim wal
Muta’allimi dan Abu Bakr Muhammad Al-Ajri di dalam kitabnya Akhlaq
Al-Ulama mencantumkan satu bab khusus berkenaan dengan keutamaan ilmu dan
Ulama.
Akan
tetapi, sepanjang sejarah islam pula, tidak sedikit kisah-kisah para ulama yang
dirundung fitnah; mulai dari persekusi, penyiksaan, sampai pemenjaraan. Misalnya, kitab Ittahâmmat lâ
Tutsbat karya Syaikh Sulaiman bin Shalih Al-Khirasyi mencantumkan kisah
para ulama dengan rupa-rupa fitnah dan ujian yang menimpanya.
Adapun tulisan singkat ini adalah potongan
kecil dari sejarah peradaban islam yang di dalamnya terselip peristiwa yang
menyayat hati, di mana ulama mendapat perlakuan dzalim dari para penguasa.
Abu Hanifah: “Tangis Ibuku Lebih Keras
daripada Cambukan”
Abu
Hanifah. Konon kunyah ini disematkan kepada An-Nu’man bin Tsabit bin
Zuwatha At-Taimi Al-Kufi tersebab ia terus-terusan berobat dengan obat yang
namanya hanifah. Beliau merupakan salah satu ulama dari kalangan Tabi’in
yang dilahirkan di Kufah pada tahun 80 H. pada masa ke khalifahan Abdul Malik
bin Marwan. (Lihat. Min A’lâmis Salaf, jil. 1, hlm. 222)
Keluasan
ilmu yang dimilikinya tidak perlu
diceritakan, dan itulah yang menjadi sebab ia mendapat kedudukan yang istimewa
di hati umat sampai hari ini. Dengan itu pula, beliau menjadi salah satu imam madzhab
fiqih yang empat.
Abu
Hanifah adalah ulama yang panen sanjungan dan pujian dari para ulama kaliber
Fudail bin Iyadh, Yahya bin Ma’in, dan Imam Asy-Syafi’i atas keilmuwannya, ke-wara’annya,
dan kedermawanannya. Hal ini dapat ditelusur di dalam beberapa kitab seperti Siyar
A’lamin Nubala karya imam Adz-Dzahabi atau Tarikh Baghdad karya
Al-Hafidz Khathib Al-baghdadi.
Akan
tetapi, benarlah ungkapan bahwa tidak semua manusia akan menyukai kita
sepenuhnya. Demikian juga yang menimpa Abu Hanifah, meski pujian dan sajungan seluhur
gunung tidak menjadikan ia sempurna dimata semua manusia. Perjalanan hidupnya
tidak lepas juga dari ujian dan cobaan serta fitnah. Adapun di antara ujian
yang menimpanya ialah datang dari pemimpin pada masanya, yaitu khalifah Abu
Ja’far Al-Manshur.
Di
kisahkan oleh Khatib Al-Baghdadi dalam tarikh-nya melalui Ubaidullah bin ‘Amr bahwa “Ibnu
Hubairah mencambuk Abu Hanifah sebanyak 110 kali cambukan karena ia menolak
menjabat sebagai qadhi.” (Tarikh Baghdad, 13/328)
Sedangkan
dalam riwayat lain dari Yahya bin Abdul Hamid, dari ayahnya ia berkata: “Abu
Hanifah keluar setiap hari –atau di antara hari-hari- sedang ia dicambuk agar
mau terlibat di pengadilan sebagai qadhi.” (Tarikh Baghdad, 13/328)
Kurang
lebih beginilah kronologisnya, tulis imam adz-Dzahabi di dalam Siyar-nya
melalui riwayat dari Bisyr bin Al-Walid bahwa suatu waktu, khalifah al-Mansur
mencari Abu Hanifah dan memanggilnya. Beliau diminta untuk menjadi qadhi,
tetapi beliau menolak permintaannya sehingga membuat Al-Mansur marah dan menyatakan,
“Apakah engkau membenci urusan kami?” Abu Hanifah menjawab, “Aku
tidak layak sebagai qadhi.” Lantas Al-Manshur menimpali, “Engkau
berdusta.” Kemudian Abu Hanifah menyatakan, “Sungguh Amirul Mu’minin
(sendiri) telah menetapkan atasku bahwa aku tidak layak.” Al-Manshur
semakin naik pitam atas jawabannya dan ia menjebloskan Abu Haifah ke dalam penjara.
Kemudian, Adz-Dzahabi melanjutkan dengan
mengutif riwayat dari Al-Faqih
Abu Abdillah Ash-Shaimari bahwa beliau (Abu Hanifah) tidak mau menerima
jabatan qadhi, lalu ia dicambuk dan dipenjara, kemudian meninggal dipenjara. (Siyar
A’lamin Nubala, 6/402)
Malik bin Anas dan Cambuk Ja’far bin
Sulaiman
Namanya
tidak asing lagi ditelinga umat Islam. Beliau merupakan salah satu imam madzhab
fiqh yang empat, yaitu Malik bin Anas bin Malik bin Amir bin Amr bin Al-Harits
bin Ghaima bin Khutsail bin Amr bin Al-Harits atau Abu Abdillah Almadini. [Siyar
A’lamin Nubala, 7/150]
Sebagaimana
halnya imam Abu Hanifah, Malik bin Anas juga merupakan seorang ulama dengan
keluasan ilmu yang sangat luar biasa, sehingga tidak sedikit para ulama
menyanjung dan memuji beliau, seperti pujian imam Asy-Syafi’i yang memuji
kemuliaan imam Malik dengan menyatakan, “jika para ulama disebut, maka
Malik-lah bintangnya.” (Abu Nu’aim, Hilyatul Aulia, 6/318)
Bahkan
untuk menunjukan kemuliaan dan keluasan ilmunya, imam Adz-Dzahabi sampai menyatakan,
“Dia adalah alim Madinah pada zamannya, setelah Rasulullah dan sahabatnya,
Zaid bin Tsabit, Aisyah, Ibnu Umar, Sa’id bin al-Musayyab, Az-Zuhri, Ubaidullah
bin Umar, kemudian Malik.” (Siyar A’lamin Nubala, 7/155)
Pujian-pujian
para ulama yang ditujukan kepadanya tentu sangatlah bayak, seperti pujian dari
Ibnu Al-Mubarak, Ibnu Uyainah, Al-Waqidi, dll. Namun, di sisi lain, ujian dan
cobaan yang cukup menyayat hati sesiapa saja yang membaca kisahnya pun amatlah
banyak. Di mana Malik bin Anas, tulis Abu Nu’aim di dalam Hilyatul Aulia-nya, pernah
dicambuk dan digunduli hanya karena fatwa yang disampaikan oleh beliau terkait
persoalan talak yang dijatuhkan oleh orang yang dipaksa. Demikianlah
meriwayakannya. (6/318).
Sedangkan Adz-Dzahabi meriwayatkan bahwa
ujian dan fitnah yang menimpa Malik itu datang dari seorang khalifah bernama
Ja’far bin Sulaiman. di mana ia dipukul,
dicukur rambutnya, dan dinaikan ke atas keledai, lalu dipaksa agar menyerukan
kesalahan fatwanya. (Siyar A’lamin Nubala, 8/80-81)
Ahmad Bin Hambal dan Hujanan Fitnah Empat
Periode ke-Khalifahan
Inilah
fragmen kisah dari seorang ulama yang gigih memegang teguh sunnah di
tengah-tengah gempuran dan paksaan paham bid’ah sekte Mu’tazilah. Dia-lah Abu
Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad Asy-Syaybâni, seorang
ulama yang hidup di pertengahan abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-3
hijriyah.
Namanya
harum mewangi sampai hari ini atas limpahan ilmu yang dimilikinya dan akhlaknya
yang terpuji, sampai Imam Asy-Syafi’i menyatakan, “Aku melihat seorang
pemuda di Bahgdad yang apabila ia mengatakan haddatsana, maka semua orang akan
mengatakan, dia benar, dialah Ahmad bin Hanbal.” (Lihat. Siyar A’lamin
Nubala, 11/197)
Selain
itu, dialah ulama dengan julukan imamnya Ahlus Sunnah, berkat keteguhannya
dalam memegang dan membela Sunnah pada saat terjadinya mihnah (ujian).
Dikisahkan
oleh Ahmad Farid, bahwa Ahmad bin Hanbah rahimahullah mengalami fitnah
secara bertubi-tubi dari empat khalifah, yaitu Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim,
Al-Watsiq, dan Al-Mutawakkil. Yang mana tiga dari ke-empatnya adalah para
pemimpin dengan paham ahli bid’ah (Mu’tazilah) dengan keyakinan bahwa Alquran
adalah makhluk.
Pada
periode khalifah-khalifah tersebut banyak para ulama yang dipaksa untuk
menerima paham mereka, ada yang menerima atas dasar pura-pura (taqiyyah)
dan adapula yang dibunuh pada mihnah tersebut. Sementara beliau (Imam
Ahmad) memiliki pendirian yang sangat kukuh, bahkan dinyatakan penderitaan itu
tidak mampu dilakukan kecuali oleh para nabi, di mana ia menghadapi semua ujian
yang menimpanya bahkan mampu menaklukan satu persatu, mulai dari cambukan semenjak
masa kekhalifahan Al-Ma’mun dan dipenjara selama 28 bulan oleh Al-Mu’tashim,
kemudian siksaan itu berlanjut sampai akhir masa al-Watsiq, bahkan tidak hanya
itu, beliau diintimidasi dan diekstradisi selama tiga masa kekhalifahan
tersebut. (Lihat. Min A’lâmis Salaf, jil. 2/218)
Semua
ujian yang menderanya selama tiga masa kepemimpin ahli bid’ah itu dihadapi oleh
sang Imam dengan teguh nan sabar. Kemudian masuk pada kepemimpinan baru, yaitu khalifah
Al-Mutawakkil, seorang Ahlus Sunnah yang perlahan mengikis paham bid’ah. Pada masa
ini, Imam Ahmad masih belum bisa bernafas lega, beliau kembali mendapat fitnah
dari sang khalifah dengan fitnah yang sedikit ringan dari cambukan, ekstradisi,
intimidasi dan penjara para khalifah sebelumnya, tetapi pada masa ini, sang
khalifah berusaha mengujinya denga fitnah dunia, fitnah harta, dan fitnah
kedudukan. Namun, fitnah yang ditawarkan kepadanya tidaklah membuat pendiriannya
goyah, sebab di masa akhir hayatnya sang Imam lebih memilih hidup zuhud dan
tidak tergoda sama sekali dengan kemilau dunia yang ditawarkan sang khalifah.
Demikianlah Ahmad Farid mengisahkan mihnah yang dihadapi oleh ulama yang
memiliki pengaruh besar pada zamannya.
Itulah
tiga kisah ulama yang ketiganya adalah imam madzhab fiqih dengan pengaruh dan
keilmuan yang tidak diragukan lagi. Tetapi, keteguhan mereka dalam berdakwah
dan berjuang mendapatkan rintangan dari berbagai kalangan di antaranya para pemimpin
pada zamannya. Kisah hidup dan perjuangan mereka syarat akan hikmah yang patut
diambil ibrah-nya oleh generasi setelehnya. Sebab, semenjak beberapa tahun
terakhir, ulama-ulama yang lurus, tegas, dan senantiasa melayangkan kritik
terhadap pemerintah di negri ini, mendapat perlakuan dzalim dari para penguasa,
mulai dari pemenjaraan, intimadasi, terorisasi, dan persekusi.
Adapun
ibrah yang mesti dipetik dari kisah-kisah teladan di atas sebagai berikut;
1)
Ulama adalah corong untuk menyampaikan
kebenaran kepada para pemimpin meskipun pahit. Maka semestinya, ulama memiliki
jarak tegas dengan pemimpin dan tidak boleh menjual kebenaran dengan pragtisme
duniawi.
2)
Aktivitas dakwah itu senatiasa dihadapkan
dengan rintangan, sehingga memerlukan kekuatan dan keikhlasan dalam
menjalankannya.
3)
Semestinya pemimpin itu membangun
sinergitas dan harmoni dengan ulama, sebab mereka ibarat dua sisi mata uang
yang dapat menghadirkan kesejahteraan yang hakiki bahkan membentengi negri dan
penduduknya dari bala bencana.
Wallahu A’lam bis Shawwab

Social Plugin