Pict by Pexels on pixabay


Humanisme; Sebuah Ilustrasi

Seorang wanita bernama Emilie dikenal sebagai orang yang sangat Humanis. Kota di mana ia tinggal, Paris, yang aman dan indah tidak luput dari usaha dan kiprah Emilie. Ia sering mendermakan harta-hartanya dalam membantu orang-orang yang kesusahan. Warga miskin, orang-orang yang terlantar, bahkan tidak sedikit para pengemis jalanan diberikan harapan hidup dan dibantu hingga bisa berdikari.

Berbagai persoalan kemanusiaan banyak ia tangani. Hal itu ia lakukan sembari mengetuai organisasi kemanusiaan di Paris sejak tahun 1820 hingga ia meninggal tahun 1835. Tidak terlalu besar, namun, organisasi tersebut terhitung banyak menyelesaikan berbagai permasalahan kemanusiaan di Paris. Seperti permasalahan kemiskinan, kekerasan, pendidikan, dan lain sebagainya. Ia memang selalu menanamkan semangat dan kepercayaan kepada yang lainnya bahwa kita harus bangkit, kita bisa, kita harus maju, kita harus mengembangkan diri. Hal itu nampaknya cukup berhasil dalam mengubah kehidupan Paris.

Selain berkonsentrasi dalam bidang ekonomi, ia juga memiliki perhatian besar pada perdamaian masyarakat. Ia selalu menekankan toleransi dan perdamaian, tanpa melihat apapun. Tanpa membeda-beakan suku, ras, keyakinan, kekayaan dan lain sebagainya. Ia sangat menekankan cinta kepada sesama, berprikemanusiaan, cinta kerukunan dan perdamaian. Usahanya yang sejuk tersebut banyak diamini oleh masyarakat. Terlebih karena toleransi diusung pula oleh banyak orang.

Sampai ia meninggal, ia terus mengabdikan dirinya. Gadis yang hidup 65 tahun tersebut memiliki motto hidup “mengabdi kepada manusia”. Sayangnya, ia adalah seorang ateis, yang dalam pengakuannya sama sekali menafikan adanya Tuhan. Ia bersikeras membuktikan bahwa, tanpa Tuhan, manusia dapat membangun kehidupannya yang baik dengan dirinya sendiri. Dengan akal, manusia dapat membuat aturan yang dapat dijadikan batu pijakan hidup.

Berbagai permasalahan yang dapat ia tangani dari waktu ke waktu semakin meyakinkannya bahwa segala sesuatu adalah berasal dari manusia dan untuk manusia. Tuhan yang diyakini oleh orang-orang, pikirnya tidak dapat mengubah atau membantu mewujudkan kebaikan bagi manusia. Meyakini adanya Tuhan, hanyalah akan membelenggu kebebasan manusia saja. Sebagai yang merasa paling suci, manusia tidak perlu terikat dan terkungkung dalam melaksanakan titah Tuhan dalam kitab suci yang diturunkannya. Untuk menjadi baik, dalam pikirannya, tidak perlu beragama, karena agama telah membawa malapetaka.

Emilie dan masyarakat barat lainnya yang trauma terhadap agama memang bukan tanpa presedennya (sebab). Mereka telah mewarisi kehidupan sebelumnya yang dipenuhi dengan gangguan dari agama. Institusi Gereja yang berada di negara-negara eropa, termasuk Perancis, telah banyak menganiaya para pemeluknya. Umat kristiani, yang mayoritas di negara-negara tersebut, selalu dihadapkan pada hukuman gereja, baik laki-laki ataupun perempuan.

 Salah satu institusi gereja yang sangat mengerikan adalah mahkamah inquisisi. Pengadilan tersebut banyak menghukum masyarakat dengan cara-cara yang kejam. Hal itu dikarenakan kediktatoran gereja, karena para pendeta dalam tradisi Kristen saat itu adalah wakil tuhan yang berada di Bumi; mereka tidak mungkin salah dan tidak boleh ditentang. Wajar jika orang-orang barat sangat trauma dengan sejarah agamanya.

Selain karena sejarah mereka yang memilukan, sebab lain adalah karena agama yang dianutnya diketahui banyak kekeliruan. Hal yang paling fatal, adalah doktrin trinitas. Sebagian peneliti Bibel dan teolog Kristen menyatakan keberatan atas keyakinan tersebut. Pasalnya, trinitas tidak masuk akal. Mereka menyatakan bagaimana mungkin konsep satu adalah tiga, satu dalam tiga atau tiga dalam satu kesatuan. Hal ini tetaplah tiga. Problem kedua ini dikenal sebagai problem teologi Kristen.

Sebab selanjutnya adalah datang dari permasalahan teks bibel. Sejak perjanjian lama yang dipakai oleh kaum Yahudi hingga perjanjian Baru yang dipakai oleh kristiani, teks bibel tidak luput dari kritikan para penelitinya.

Richard Eliot Friedman, dalam menyebutkan kecacatan bibel, menyatakan bahwa tidak ada teks asli dari Pentateukh (lima kitab perjanjian lama) atau yang disebut juga the old testament. Sama halnya dengan the old testamentthe new testament (perjanjian baru) juga tidak diketahui siapa penulisnya. Keduanya, bagi kalangan kritikus bibel, merupakan kitab yang menyisakan banyak misteri tua di dunia yang tak kunjung terpecahkan.

Selain tidak diketahui asal usulnya, bibel juga mengalami masalah pemahaman teks. Dengan bahasa aslinya, greek, yang sulit dipahami, kitab itu menjadi korpus terbuka yang siapapun dapat bebas menafsirkannya. Sehingga, para penerjemah bibel ke dalam berbagai bahasa pun sebagaimana dinyatakan oleh Friedman banyak menerka-nerka dan menuliskan bibel terjemahan sesuai dengan asumsinya tersebut. Apalagi, jika merujuk bahasa aslinya yaitu Ibrani, sangat sulit untuk dipahami.

Dampaknya, para pembacanya pun tidak bisa menggunakan ilmu tafsir yang khusus unuk kitab tersebut, hal itu bukan saja karena tidak dapat dimengerti teksnya, melainkan adanya bibel tidak diriingi dengan perangkat penafsirannya. Hal ini berbeda dengan al-Qur’an yang diturunkan sekaligus dengan ilmu penafsirannya.

Bibel kemudian ditafsirkan dengan akal manusia semata, yaitu dengan filsafat tafsir (hermeneutika). Dengan karakteristiknya yang relativistik, penafsiran bibelpun menjadi liar, yang satu sama lain berbeda-beda. Singkatnya, problem teks bibel telah melahirkan problem-problem lainnya yang lebih kompleks.

Emilie, yang sempat mewarisi fenomena tragis tersebut, baik fenomena inkusisi yang banyak menumpahkan darah (problem sejarah Kristen), konsep teologi yang membingungkan, dan permasalahan bibel, merasa trauma dengan agama.

Agama pada waktu itu hanya menjadi alat bagi para penguasa gereja untuk melancarkan kepentingannya. Ketika mereka mengeluarkan aturan untuk umatnya, namuan para pendeta, dengan rahasia umum mereka, melanggarnya. Ketika masyarakat disiksa, mereka menikmati hasil rampasannya.

Agama hanya mencampuri urusan manusia tanpa memberikan solusi terhadap manusia, bahkan tidak sedikit agama menimbulkan tragedy kemanusiaan. Inilah yang membuat Emilie semakin kesal terhadap agama. Akhirnya, ia lebih memilih mengembangkan dirinya sendiri sekuat tenaga, tanpa bantuan agama.

Humanisme jelas bertentangan dengan Islam. Dalam Islam, kunci pembangunan dan kemajuan adalah agama. Aspek ketuhanan adalah aspek yang paling sentral dalam pandangan hidup Islam. Seorang Muslim, dengan keimanannya mendapatkan kemajuan hidup dari Allah, maju dan berkembang dengan berpegang teguh kepada agama-Nya, dan berakhir pula di haribaan-Nya.

Peradaban Islam adalah peradaban yang dibangun atas dasar ketuhanan, dengan visi hidup dunia dan akhirat. Berbeda dengan Islam, Barat akan maju jika meninggalkan agamanya, baik yahudi maupun Kristen. Sejarah agama mereka telah berlawanan dengan visi kemajuan, seperti sains, kebudayaan dan lain sebagainya. Akhirnya, mereka melupakan agama, dan mengganti tuhan mereka dengan sains dan teknologi.

Dampaknya, peradaban di barat adalah peradaban sains yang ateis. Warna sekularisme dan liberalisme sangat kentara dalam wujud peradaban mereka. Bukan saja peradaban dalam bentuk produk, namun peradaban dalam bentuk pikiran dan ilmu pengetahuan. Kedua hal ini yang lebih utama untuk diwaspadai, mengingat hal itu dapat memperkeruh kejernihan pemikiran setiap Muslim. Dengan kata lain, Jika barat menjadikan sentral kehidupannya adalah manusia, maka Islam menjadikan sentral kehidupannya adalah ketuhanan.

Selain itu, doktrin bahwa cukup menjadi baik saja tanpa meyakini ketuhanan adalah nihil. Bagaimana mungkin kebaikan dapat terwujud sementara nilai dari kebaikan tersebut dibuat oleh manusia itu sendiri. Sementara, sumber nilai adalah Allah. Dzat yang maha Rahman dan Rahim itulah yang memiliki konsep tentang kebaikan dan keburukan, kemajuan dan kemuduran, kebahagiaan dan kenestapaan. Semua itu telah diturunkan dalam bentuk wahyu (al-Qur’an) untuk diikuti.

Hal itu tidak lain untuk mewujudkan kebaikan, kebahagiaan, keteraturan, perdamaian dan hal baik lainnya. Pandangan hidup Islam yang bersumber dari ketuhanan tersebut, berkaitan dengan semua realitas (segalanya), baik realitas empiris (syahādah) atau realitas metafisik (Ghāib). Jika berbicara tentang kebaikan sosial, hal itu adalah bagian kecil yang terdapat dalam kelengkapan pandangan hidup Islam. Jadi berislam, akan mendapatkan nilai kebaikan yang sesungguhnya, dan tidak hanya tentang kebaikan sosial atau kemanusiaan, tapi kebaikan menyeluruh.

Sebaliknya, jika kebaikan dilandaskan kepada akal manusia saja, dan menafikan ketuhanan, maka nilai kebaikan menjadi absurd. Pantas saja seorang yang menganut paham humanisme, tidak mengenal halal haram. Tidak akan mengenal mana kebenaran realitas dan mana realitas yang benar.

Kebaikan seorang humanis akan berbeda dengan kebaikan yang lainnya. Dan dengan keterbatasan manusia, jika tidak bergantung kepada wahyu, nilai yang dianggap baik oleh manusia akan banyak yang corrupted dan bertentangan dengan nilai-nilai yang lainnya. Singkatnya, jika mereka mengatakan dengan menjadi baik tidak perlu agama, sangat problematis, karena kebaikan dalam pandangan mereka tidak bernilai benar (tidak haq).

Cerita tersebut menggambarkan sedikit tentang Humanisme. Doktrin utamnya, man is the measure of all thing, yaitu mengusung bahwa manusia adalah sentral kehidupan. Manusia menjadi subjek utama dalam menentukan hubungannya dengan sesama manusia dan hubungannya dengan alam. Dengan begitu, agama dan Tuhan dilupakan, dan dialihkan perhatian utamanya menjadi antroposentris.

https://www.rukyatulislam.com/2020/09/kebaikan-dan-humanisme.html