Humanisme; Sebuah Ilustrasi
Seorang
wanita bernama Emilie dikenal sebagai orang yang sangat Humanis. Kota di mana
ia tinggal, Paris, yang aman dan indah tidak luput dari usaha dan kiprah
Emilie. Ia sering mendermakan harta-hartanya dalam membantu orang-orang yang
kesusahan. Warga miskin, orang-orang yang terlantar, bahkan tidak sedikit para
pengemis jalanan diberikan harapan hidup dan dibantu hingga bisa berdikari.
Berbagai
persoalan kemanusiaan banyak ia tangani. Hal itu ia lakukan sembari mengetuai
organisasi kemanusiaan di Paris sejak tahun 1820 hingga ia meninggal tahun
1835. Tidak terlalu besar, namun, organisasi tersebut terhitung banyak
menyelesaikan berbagai permasalahan kemanusiaan di Paris. Seperti permasalahan
kemiskinan, kekerasan, pendidikan, dan lain sebagainya. Ia memang selalu
menanamkan semangat dan kepercayaan kepada yang lainnya bahwa kita harus
bangkit, kita bisa, kita harus maju, kita harus mengembangkan diri. Hal itu
nampaknya cukup berhasil dalam mengubah kehidupan Paris.
Selain
berkonsentrasi dalam bidang ekonomi, ia juga memiliki perhatian besar pada
perdamaian masyarakat. Ia selalu menekankan toleransi dan perdamaian, tanpa
melihat apapun. Tanpa membeda-beakan suku, ras, keyakinan, kekayaan dan lain
sebagainya. Ia sangat menekankan cinta kepada sesama, berprikemanusiaan, cinta
kerukunan dan perdamaian. Usahanya yang sejuk tersebut banyak diamini oleh masyarakat.
Terlebih karena toleransi diusung pula oleh banyak orang.
Sampai
ia meninggal, ia terus mengabdikan dirinya. Gadis yang hidup 65 tahun tersebut
memiliki motto hidup “mengabdi kepada manusia”. Sayangnya, ia adalah seorang
ateis, yang dalam pengakuannya sama sekali menafikan adanya Tuhan. Ia
bersikeras membuktikan bahwa, tanpa Tuhan, manusia dapat membangun kehidupannya
yang baik dengan dirinya sendiri. Dengan akal, manusia dapat membuat aturan
yang dapat dijadikan batu pijakan hidup.
Berbagai
permasalahan yang dapat ia tangani dari waktu ke waktu semakin meyakinkannya
bahwa segala sesuatu adalah berasal dari manusia dan untuk manusia. Tuhan yang
diyakini oleh orang-orang, pikirnya tidak dapat mengubah atau membantu
mewujudkan kebaikan bagi manusia. Meyakini adanya Tuhan, hanyalah akan
membelenggu kebebasan manusia saja. Sebagai yang merasa paling suci, manusia
tidak perlu terikat dan terkungkung dalam melaksanakan titah Tuhan dalam kitab
suci yang diturunkannya. Untuk menjadi baik, dalam pikirannya, tidak perlu
beragama, karena agama telah membawa malapetaka.
Emilie
dan masyarakat barat lainnya yang trauma terhadap agama memang bukan tanpa
presedennya (sebab). Mereka telah mewarisi kehidupan sebelumnya yang dipenuhi
dengan gangguan dari agama. Institusi Gereja yang berada di negara-negara
eropa, termasuk Perancis, telah banyak menganiaya para pemeluknya. Umat
kristiani, yang mayoritas di negara-negara tersebut, selalu dihadapkan pada
hukuman gereja, baik laki-laki ataupun perempuan.
Salah
satu institusi gereja yang sangat mengerikan adalah mahkamah inquisisi.
Pengadilan tersebut banyak menghukum masyarakat dengan cara-cara yang kejam.
Hal itu dikarenakan kediktatoran gereja, karena para pendeta dalam tradisi
Kristen saat itu adalah wakil tuhan yang berada di Bumi; mereka tidak mungkin
salah dan tidak boleh ditentang. Wajar jika orang-orang barat sangat trauma
dengan sejarah agamanya.
Selain
karena sejarah mereka yang memilukan, sebab lain adalah karena agama yang
dianutnya diketahui banyak kekeliruan. Hal yang paling fatal, adalah doktrin
trinitas. Sebagian peneliti Bibel dan teolog Kristen menyatakan keberatan atas
keyakinan tersebut. Pasalnya, trinitas tidak masuk akal. Mereka menyatakan
bagaimana mungkin konsep satu adalah tiga, satu dalam tiga atau tiga dalam satu
kesatuan. Hal ini tetaplah tiga. Problem kedua ini dikenal sebagai problem
teologi Kristen.
Sebab
selanjutnya adalah datang dari permasalahan teks bibel. Sejak perjanjian lama
yang dipakai oleh kaum Yahudi hingga perjanjian Baru yang dipakai oleh
kristiani, teks bibel tidak luput dari kritikan para penelitinya.
Richard
Eliot Friedman, dalam menyebutkan kecacatan bibel, menyatakan bahwa tidak ada
teks asli dari Pentateukh (lima kitab perjanjian lama) atau yang disebut
juga the old testament. Sama halnya dengan the old
testament, the new testament (perjanjian baru) juga tidak
diketahui siapa penulisnya. Keduanya, bagi kalangan kritikus bibel, merupakan
kitab yang menyisakan banyak misteri tua di dunia yang tak kunjung terpecahkan.
Selain
tidak diketahui asal usulnya, bibel juga mengalami masalah pemahaman teks.
Dengan bahasa aslinya, greek, yang sulit dipahami, kitab itu menjadi korpus
terbuka yang siapapun dapat bebas menafsirkannya. Sehingga, para penerjemah
bibel ke dalam berbagai bahasa pun sebagaimana dinyatakan oleh Friedman banyak
menerka-nerka dan menuliskan bibel terjemahan sesuai dengan asumsinya tersebut.
Apalagi, jika merujuk bahasa aslinya yaitu Ibrani, sangat sulit untuk dipahami.
Dampaknya,
para pembacanya pun tidak bisa menggunakan ilmu tafsir yang khusus unuk kitab
tersebut, hal itu bukan saja karena tidak dapat dimengerti teksnya, melainkan
adanya bibel tidak diriingi dengan perangkat penafsirannya. Hal ini berbeda
dengan al-Qur’an yang diturunkan sekaligus dengan ilmu penafsirannya.
Bibel
kemudian ditafsirkan dengan akal manusia semata, yaitu dengan filsafat tafsir
(hermeneutika). Dengan karakteristiknya yang relativistik, penafsiran bibelpun
menjadi liar, yang satu sama lain berbeda-beda. Singkatnya, problem teks bibel
telah melahirkan problem-problem lainnya yang lebih kompleks.
Emilie,
yang sempat mewarisi fenomena tragis tersebut, baik fenomena inkusisi yang
banyak menumpahkan darah (problem sejarah Kristen), konsep teologi yang
membingungkan, dan permasalahan bibel, merasa trauma dengan agama.
Agama
pada waktu itu hanya menjadi alat bagi para penguasa gereja untuk melancarkan
kepentingannya. Ketika mereka mengeluarkan aturan untuk umatnya, namuan para
pendeta, dengan rahasia umum mereka, melanggarnya. Ketika masyarakat disiksa,
mereka menikmati hasil rampasannya.
Agama
hanya mencampuri urusan manusia tanpa memberikan solusi terhadap manusia,
bahkan tidak sedikit agama menimbulkan tragedy kemanusiaan. Inilah yang membuat
Emilie semakin kesal terhadap agama. Akhirnya, ia lebih memilih mengembangkan
dirinya sendiri sekuat tenaga, tanpa bantuan agama.
Humanisme
jelas bertentangan dengan Islam. Dalam Islam, kunci pembangunan dan kemajuan
adalah agama. Aspek ketuhanan adalah aspek yang paling sentral dalam pandangan
hidup Islam. Seorang Muslim, dengan keimanannya mendapatkan kemajuan hidup dari
Allah, maju dan berkembang dengan berpegang teguh kepada agama-Nya, dan
berakhir pula di haribaan-Nya.
Peradaban
Islam adalah peradaban yang dibangun atas dasar ketuhanan, dengan visi hidup
dunia dan akhirat. Berbeda dengan Islam, Barat akan maju jika meninggalkan
agamanya, baik yahudi maupun Kristen. Sejarah agama mereka telah berlawanan
dengan visi kemajuan, seperti sains, kebudayaan dan lain sebagainya. Akhirnya,
mereka melupakan agama, dan mengganti tuhan mereka dengan sains dan teknologi.
Dampaknya,
peradaban di barat adalah peradaban sains yang ateis. Warna sekularisme dan
liberalisme sangat kentara dalam wujud peradaban mereka. Bukan saja peradaban
dalam bentuk produk, namun peradaban dalam bentuk pikiran dan ilmu pengetahuan.
Kedua hal ini yang lebih utama untuk diwaspadai, mengingat hal itu dapat
memperkeruh kejernihan pemikiran setiap Muslim. Dengan kata lain, Jika barat
menjadikan sentral kehidupannya adalah manusia, maka Islam menjadikan sentral
kehidupannya adalah ketuhanan.
Selain
itu, doktrin bahwa cukup menjadi baik saja tanpa meyakini ketuhanan adalah
nihil. Bagaimana mungkin kebaikan dapat terwujud sementara nilai dari kebaikan
tersebut dibuat oleh manusia itu sendiri. Sementara, sumber nilai adalah Allah.
Dzat yang maha Rahman dan Rahim itulah yang memiliki konsep tentang kebaikan
dan keburukan, kemajuan dan kemuduran, kebahagiaan dan kenestapaan. Semua itu
telah diturunkan dalam bentuk wahyu (al-Qur’an) untuk diikuti.
Hal
itu tidak lain untuk mewujudkan kebaikan, kebahagiaan, keteraturan, perdamaian
dan hal baik lainnya. Pandangan hidup Islam yang bersumber dari ketuhanan
tersebut, berkaitan dengan semua realitas (segalanya), baik realitas empiris
(syahādah) atau realitas metafisik (Ghāib). Jika berbicara tentang kebaikan
sosial, hal itu adalah bagian kecil yang terdapat dalam kelengkapan pandangan
hidup Islam. Jadi berislam, akan mendapatkan nilai kebaikan yang sesungguhnya,
dan tidak hanya tentang kebaikan sosial atau kemanusiaan, tapi kebaikan
menyeluruh.
Sebaliknya,
jika kebaikan dilandaskan kepada akal manusia saja, dan menafikan ketuhanan,
maka nilai kebaikan menjadi absurd. Pantas saja seorang yang menganut paham
humanisme, tidak mengenal halal haram. Tidak akan mengenal mana kebenaran
realitas dan mana realitas yang benar.
Kebaikan
seorang humanis akan berbeda dengan kebaikan yang lainnya. Dan dengan
keterbatasan manusia, jika tidak bergantung kepada wahyu, nilai yang dianggap
baik oleh manusia akan banyak yang corrupted dan bertentangan
dengan nilai-nilai yang lainnya. Singkatnya, jika mereka mengatakan dengan
menjadi baik tidak perlu agama, sangat problematis, karena kebaikan dalam
pandangan mereka tidak bernilai benar (tidak haq).
Cerita
tersebut menggambarkan sedikit tentang
Humanisme. Doktrin utamnya, man is the measure of all thing, yaitu
mengusung bahwa manusia adalah sentral kehidupan. Manusia menjadi subjek utama
dalam menentukan hubungannya dengan sesama manusia dan hubungannya dengan alam.
Dengan begitu, agama dan Tuhan dilupakan, dan dialihkan perhatian utamanya
menjadi antroposentris.
https://www.rukyatulislam.com/2020/09/kebaikan-dan-humanisme.html

Social Plugin