Fenomena penafsiran ulang al-Qur’an
banyak terjadi tidak hanya di kalangan orientalis, namun juga di kalangan
pemikir Muslim modernis. Usaha ini bukan memperkuat dan memperluas penafsiran
salaf yang didasarkan pada arahan Rasulullah, namun bertujuan merusak dan
menggantinya dengan cara pandang Barat.
Ilmuan Muslim tersebut berpandangan
bahwa dengan mengikuti cara pandang Barat, dunia Islam akan maju. Kemunduran
umat Islam dalam kaca mata mereka disebabkan penggunaan metode konservatif dan
klasik dalam memahami al-Qur’an dan al-Hadits. Sehingga, hasil penafsiran
selalu mengekang kemajuan, mengebiri kebebasan, subordinasi perempuan,
intoleran dan lain-lain.
Prinsip tersebut sudah tidak layak
lagi digunakan di zaman sekarang. Sudah saatnya teks-teks agama ditafsirkan
berdasarkan dinamika sosio-historis. Maka hermeneutika menjadi solusinya.
Begitulah seharusnya al-Qur’an ditafsirkan menurut mereka. Dalam tulisan
singkat ini akan dibahas bagaimana hakaikat penafsiran ulang al-Qur’an dan
relevansinya.
Bibel
Memerlukan Hermeneutika
Istilah hermeneutika berasal dari
bahasa Yunani kuno yang berarti hal-hal yang berkenaan dengan pemahaman dan
penerjemahan suatu pesan. Kata tersebut merupakan derivat dari kata “Hermes”
yang dalam mitologi Yunani[1]
merupakan dewa yang diutus oleh Zeus (Tuhan) untuk menyampaikan pesan dan
berita kepada manusia di bumi. Artistoteles pun mengatakan hermeneias adalah
ungkapan atau pernyataan semata.[2]
Hermeneutika pada awalnya bukan metode ilmiah untuk menafsirkan bibel.
Ia mulai digunakan sebagai teknik
atau metode memahami teks bibel setelah reformasi yang diusung oleh marthin
luther di jerman pada abad ke-18.[3]
Hasilnya, para teolog protestan menolak klaim katolik dalam pemaknaan kitab
suci. Menurut mereka, bibel bisa ditafsirkan oleh siapapun dengan syarat
mengetahui bahasa dan konteks sejarahnya. Untuk mendukung itu dibangulah metode
ilmiah bernama Hermeneutika.[4]
Dengan demikian, Hermeneutika sebagai ilmu tidak bebas nilai. Ia lahir dan
berkembang dari suatu peradaban dan pandangan hidupnya (worldview).
Hermeneutika menjadi metode
menafsirkan teks bibel karena problematisnya teks tersebut secara historis dan teologis.
Secara historis otoritas bibel dipertanyakan[5].
Richard Elliot Friedman, dalam bukunya, Who Wrote the Bible, menulis
bahwa hingga kini siapa yang sebenarnya menulis Kitab ini Masih merupakan
Misteri.
Selain itu, ia juga mengalami
masalah karena berbenturan dengan sains.[6]
Sementara dari sisi teologis, konsep tentang Tuhan tidak secara jelas terdapat
dalam bibel.[7] Dr. C.
Groenen ofm, seorang teolog Belanda menggunakan cara spekulatif untuk
menjelaskan konsep Yesus setelah karena konsep yesus misterius dan tidak dapat
dijangkau oleh akal manusia.[8]
Kedua permasalahan itu mendorong interpretasi hermeneutika untuk senantiasa
dilakukan.
Hermeneutika diterapkan pada al-Qur`an?
Para Cendekiawan Muslim modernis & kontemporer telah banyak melahirkan pemikiran-pemikiran berbeda tentang al-Qur’an. Muhammad
Syahrur,[9]
seorang pemikir Muslim asal damaskus, dalam memahami al-Qur’an menggunakan
metode linguistic-historis-ilmiah (al-manhaj al-lughawī
al-tārikhī al-‘ilmī).
Prinsip tersebut melahirkan tiga kesimpulan.
Pertama, syahrur berpendapat bahwa kemu’jizatan al-Qur’an mengajarkan manusia
agar senantiasa bergantung kepada akal, bukan kepada wahyu. Karena menurutnya,
manusialah yang menyebabkan al-Qur’an menjadi mu’jizat. Akibatnya, teks
al-Qur’an ditafsirkan secara dinamis dan terjadi relativitas pemahaman.[10]
Kedua, ia memandang al-Qur’an
sebagai makhluk, bukan Kalamullah. Dengan pemahaman tersebut al-Qur’an dapat
ditafsirkan dengan jalan lain, di luar jalan yang mu’tabar yang digunakan para
ulama tafsir dan ushul. Ketiga, ia membedakan nama al-kitāb dan al-Qur’ān.
Menurutnya, al-Qur’an berisi ayat-ayat mutasyabihat. Ia berdimensi Nubuwah,
bersifat obyektif, berisi kumpulan aturan hukum yang berlaku di alam semesta
dan berada di luar kesadaran manusia. Sementara al kitab berisi ayat-ayat
muhkamat, berdimensi risalah dan bersifat menuntut dekonstruksi hukum ayat-ayat
Al-Qur’an yang termasuk qath’i al-tsubūt dan qath’I al-dilālah.
Dengan kata lain, dalam masalah
ayat-ayat hukum dan perundang-undangan akan selalu terjadi ijtihad, dan
kebenaran ijtihad ditentukan dengan kesesuaiannya dengan realitas. Syahrur
mengatakan bahwa penerapan ayat-ayat hukum pada alam realitas adalah aplikasi
relatif-historis.[11]
Hasilnya, masalah jilbab, aurat,
sampai kumpul kebo ala syahrur, semuanya didasarkan kepada hal-hal yang terjadi
di tataran realitas dan dipaksakan untuk legal atas nama agama.[12]
Tiga buah pemikiran syahrur tersebut mencerminkan nilai-nilai barat yang
berasal dari doktrin modernisme-postmodernisme, seperti liberalisme,
rasionalisme, relativisme, dan dikotomi.
Cendekiawan Muslim lainnya, Nasr
Hamid Abu Zayd yang berasal dari mesir, mengubah konsep wahyu yang selama ini
diyakini oleh umat Islam, bahwa al-Qur’an adalah kalâm Allâh yang sakral, yang
turun kepada Nabi Muhammad SAW dengan lafal dan maknanya, lalu menggantinya dengan
konsep baru bahwa al-Qur’an tidak lain hanyalah teks manusiawi biasa yang
merupakan produk budaya, sehingga penafsirannya pun harus dengan memerhatikan
konteks budaya di mana ia turun. Dampaknya, Ia mendekonstruksi akidah umat Islam
dengan menganggap surga, neraka, malaikat, jin, dan sebagainya sebagai mitos
orang-orang Arab zaman lampau, lalu berusaha merombak hukum-hukum Islam yang
telah mapan seperti hukum keharaman riba, ketentuan hukum waris, hukum-hukum
hudud, dan sebagainya.[13]
Di Indonesia, Husein Muhammad,
seorang Kiai kelahiran Cirebon, memiliki ide untuk menafsirkan ulang al-Qur’an.
Menurutnya tafsir-tafsir salaf menyebabkan pemahaman bias gender. Maka ia
memadukan analisa gender dengan kaidah penafsiran al-Qur’an untuk menafsirkan
kembali yat-ayat relasi gender.[14]
Hasilnya, ayat-ayat tersebut harus dipahami berdasarkan dinamika dan
perkembangan masyarakat.[15]
Usaha penafsiran yang bertujuan
menghaislkan keadilan gender tersebut tidak tepat, karena ia terpengaruh oleh
framework barat dalam memandang wanita sehingga keliru dalam mehamai ajaran Islam
secara syumūliy. Dengan demikian, Mengatakan
ajaran Islam bias gender dan telah menindas perempuan adalah khayalan belaka.[16]
Tafsir
dan al-Qur’an
Memahami Al-Qur’an tidak terlepas
dari ilmu tafsir. Dengan ilmu ini, seseorang dapat memahami, menjelaskan dan
mengeluarkan hukum-hukum serta hikmah dari Kitabullah tersebut.[17]
Tujuannya tidak lain adalah agar ia senantiasa berada dalam jalan yang lurus
dan menggapai kebahagiaan hakiki.[18]
Tafsir sudah dimulai sejak zaman
Rasulullah Saw. Beliaulah orang pertama yang menguraikan Kitabullah dan
menjelaskannya kepada umatnya.[19]
Setelah beliau wafat, tafsir terus dilanjutkan dengan generasi-generasi
berikutnya.[20]
Pemahaman al-Qur’an berdasarkan petunjuk Nabi terus menerus diriwayatkan dari
generasi ke generasi, hingga dituangkan dalam berbagai kitab tafsir dengan
coraknya yang berbeda-beda.[21]
Ilmu ini tidak pernah luput dari kaum Muslimin.
Usaha-usaha
penafsiran ulang al-Qur’an yang dilakukan beberapa pemikir Muslim modernis
sejatinya bukan untuk memperkuat dan memperluas khazanah keIslaman yang telah
ditorehkan oleh para ulama salaf. Apa yang mereka lakukan tidak lain hanyalah
dekonstruksi ajaran Islam itu sendiri.
Rumusan-rumusan
para ulama yang telah kukuh sehingga dikenal ‘ulūm al-Qur’ān dicampurkan bahkan diganti dengan
rumusan barat dalam menafsirkan bibel. Hermeneutika sebagai alat menafsirkan
kitab suci Kristen dipandang bisa menafsirkan teks-teks lainnya, seperti karya
sastra dan termasuk pula al-Qur’an. Hal ini tidak bisa dilakukan mengingat
al-Qur’an merupakan kitab suci yang berbeda dengan teks-teks selainnya. Ia
harus ditafsirkan berdasarkan arahan wahyu itu sendiri.
Selain
itu, hermeneutika mengandung nilai-nilai barat yang berbeda dengan nilai-nilai Islam
dan tidak didasarkan kepada wahyu. Barat memiliki problem secara historis dan
teologis atas bibelnya sehingga diperlukan Hermeneutika.
Sementara
al-Qur’an tidak pernah mengalami problem seperti Bibel sehingga untuk memahami
al-Qur’an dengan mudahnya merujuk pada tafsir-tafsir mu’tabar yang dirumuskan
berdasarkan arahan Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam. Kemunduran umat Islam bukan
didasarkan pada penggunaan keilmuan para ulama salaf, melainkan karena faktor
kepribadian kaum Muslimin itu sendiri seperti kemalasan, inferior terhadap
peradaban barat, terlena dengan kehidupan dunia, banyak terinveksi pemikiran
sekular liberal dan lain-lain.
[1] Sebagaimana diketahui bahwa
Yunani tidak menganut agama tertentu, melainkan mempercayai tuhan dalam bentuk
mitologi
[2] Arif, Orientalis dan Diabolisme
Pemikiran.178
[3] Werner menyebutkan tiga
mileu penting yang berpengaruh terhadap timbulnya Hermeneutika sebagai suatu
metode, konsep atau teori interpretasi. Pertama, milleu masyarakat yang
terpengaruh oleh pemikiran Yunani. Kedua, milleu masyarakat yahudi dan Kristen
yang menghadapi masalah teks kitab suci agama mereka dan berupaya mencari model
yang cocok interpretasi itu. Ketiga, milleu masyarakat eropa dizaman pencerahan
(enlightment) berusaha lepas dari tradisi dan otoritas keagamaan dan membawa
hermeneutika keluar konteks keagamaan. Lihat: Werner G. Jeanrond, dalam Hamid Fahmy Zarkasyi, “Hermeneutika”.
[4] Ibid.
[5] Karena bibel asli tidak
ditemukan maka teks standar untuk membuat berbagai versi pun tidak ada. Problem
teks Bibel ini diperparah lagi oleh tradisi kependetaan (Rabbbanic Tradition)
yang memberikan kuasa agama sepenuhnya kepada Gereja. Di sinilah sebenarnya
akar masalahnya sehingga bibel memerlukan hermeneutika. Lihat: Adian HUsaini, “Hermeneutika”, Islamia,
vol. I No. I Mu, no. Biblical Criticism (1425), p. 9.
[6] Disamping mengalami problema
otentisitas, Bibel juga memuat hal-hal yang bertentangan dengan akal dan
perkembangan ilmu pengetahuan. Sejumlah Ilmuwan mengalami benturan dengan
Gereja dalam soal ilmu pengetahuan, seperti Galileo Galilei (1546-1642) dan
Nicolaus Copernicus (1473-1543). Bahkan Giordano Bruno (1548-1600), pengagum
Nicolaus Copernicus dibakar hidup-hidup. Lihat: Marvin Perry, dalam Adian HUsaini, Mengapa Barat Menjadi
Sekular (Ponorogo: Center For Islamic and Occidental Studies, 2015).32
[7] Husaini, “Hermeneutika”.11
[8] Lihat: Husaini, Mengapa Barat Menjadi
Sekular.30
[9] Dale F. Eickelman,
mengatakan kedudukan syahrur di dalam Islam sama dengan Martin Luther di dalam
Kristen dan Immanuel Kant-Nya dunia Arab. Sebagai seorang liberal Muslim,
seperti dikatakan wael B. Hallaq (seorang orientalis), Syahrur merupakan
eksponen utama kelompok religious liberalism dalam pemikiran ushul fikih
kontemporer yang memiliki konsep pembaharuan paling revolusioner dan paling
inovatif bila dibanding dengan pemikir lain dalam kelompok Muslim liberal.
Lihat: Islamia, Volume. VI, No. 1, 2012. Hlm. 36
[10] Ibid, Hlm. 38
[11] Ibid, Hlm. 39
[12] Ibid, hlm. 50
[13] “Pemikiran Nasr Hamid yang
ditujukan menjadikan syariat Islam relevan di setiap waktu dan konteks zamannya
tentu tidak benar. Justru syariat Islam akan menjadi relevan dalam ruang dan
waktu dengan integralitas dan universalitas hukum-hukum dan kaidah-kaidahnya,
serta kandungan makna dan konsepnya yang permanen dan tidak berubah sehingga
bisa menjadi barometer bagi setiap fenomena baru di dunia ini.” Lalu Heri Afrizal, “No Title”, Tsaqafah,
vol. 12 No. 2 N (2016), p. 322.
[14] Husein Muhammad, Fiqh Perempuan:
Refleksi Kiai atas Tafsir Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: IRCiSoD,
2019).69
[15] Husein Muhammad, Islam Muhammad,
Husein. 2009, Islam Agama Ramah Perempuan, Yogyakarta: LKIS.Agama Ramah
Perempuan (Yogyakarta: LKIS, 2009).18
[16] Pola pemahaman teks mengikuti sejarah tersebut jika dicermati sebenarnya semakna dengan metode historical-criticism, salahsatu prinsip hermeneutika. Dengan kaidah tersebut, Ayat al-Qur’an tidak lagi dipahami berdasarkan makna dari lafazh-lafazhnya, tetapi berdasarkan pandangan sosio historis manusia. dengan demikian, maknaIni tidak sejalan dengan arahan Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam dalam menafsirkan al-Qur’an.
[17] Abdurrahman Jalaluddin Al-Suyuti, al-Itqan
fi ’Ulum al-Qur’an (Haihah Mishriyyah al’Ammah li al-Kitab, 1974). 4:195
[18] Ibid.4:199
[19] Subhi Shalih, Membahas Ilmu-ilmu
al-Qur`an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008).411
[20]Ibid.
[21] Setelah zaman tabi’ut
tabi’in, para ulama ahli tafsir mulai mempunyai arah sendiri-sendiri yang
berbeda dalam menafsirkan al-Qur’an. Ada tafsir yang dinamai al-Tafsir bil
Ma-tsūr, yaitu kelanjutan dari tafsir-tafsir masa sebelumnya yang diisnadkan
kepada para sahabat Nabi, kaum Tabi’in dan kaum Tabi’it tabi’in. Ada pula
tafsir yang dinamai tafsir at-Tafsir bir-Ra-yi, di dalamnya terdapat berbagai
metode penafsiran dan berbagai pemikiran yang saling bertabrakan, sehingga
sebagian dapat dipuji dan sebagian yang lain pantas dicela, tergantung pada
jauh-dekatnya dengan hidayah al-Qur’an. Ibid. 413
https://www.rukyatulislam.com/2019/10/penafsiran-ulang-al-quran-sebuah.html
Social Plugin