Pendahuluan
Tafsir feminis dari waktu ke waktu dapat dikatakan terus diperbarui. Sejak zaman Amina mengeluarkan qur’an and womennya hingga faqihudin dengan Qira`ah Mubadalahnya. Adanya usaha tersebut dapat dikatakan sebagai upaya serius dalam mempropagandakan penafsiran mereka terhadap publik. Gamblangnya, para feminis ingin metodologi dan produk tafsirnya diterima. Pasalnya, karya-karya para feminis tersebut tidak luput dari kritik-kritik hingga mementahkannya dari dunia keilmuan. Amina Wadud, misalnya, setelah ditelusuri oleh banyak peneliti, produk tafsirnya tidak lain merupakan pengaruh dari women’s bible (penafsiran bible versi perempuan). Artinya, pembaharuan tafsir dari waktu ke waktu menunjukan usaha yang serius dalam melahirkan tafsir dengan kacamata feminisme.
Usaha tersebut bisa dilihat dari adanya produk yang diklaim
“baru” dalam penafsiran, yaitu Qira`ah mubadalah. Untuk itu, penela’ahan
kembali mengenai tafsir feminis pula bukan merupakan hal yang kuno, meningat ia
terus menurs diperbaharui. Namun, apakah pembaharuan tafsir feminis tersebut
benar-benar sesuatu yang baru, ataukah hanya penampilannya saja. Hal ini akan
dibahas dalam tulisan ringkas berikut.
Apa itu tafsir Feminis?
Istilah tafsir Feminis pada dasarnya bukan klasifikasi dari
tafsir al-Qur’an. Frasa tersebut populer karena tokoh-tokoh feminisme marak
menafsirkan al-Qur’an dengan kaca mata feminisme (gender atau perempuan). Di
antaranya Asghar Ali Engineer, Amina Wadud, Nasarudin Umar, Husein Muhammad,
Faqihudin Abdulkodir. Tafsiran dari tokoh-tokoh tersebut tidak pernah lengkap
30 juz, melainkan hanya pada ayat-ayat yang berkaitan dengan perempuan. Selain
itu, metodologi yang dipakai tidak akan bisa mencakup keseluruhan al-Qur’an,
seperti bahwa kacamata kesetaraan gender tidak bisa menafsirkan ayat-ayat yang
berkaitan dengan hari akhir, atau ahwal al-ghaibiyyah. Artinya tafsir
feminis memiliki karakter tersendiri, sesuai dengan orientasinya yaitu
mewujudkan kesetaraan gender dalam segala hal.
Sementara itu, tafsir al-Qur’an tidak memiliki orientasi
kesetaraan gender sebagaimana diusung oleh Feminisme. Penafsiran al-Qur’an
dibangun berdasarkan tuntunan wahyu, dan hal ini terpelihara sejak zaman Nabi
hingga ke generasi-generasi setelahnya. Rasulullah yang menjelaskan kepada para
sahabat akan maksud-maksud ayat bukan berdasarkan hawa nafsu melainkan
berdasarkan arahan wahyu. Dalam penafsiran sahabat, terdapat beberapa hal yang
menunjukan bahwa tafsir al-Qur’an yang berada dalam tangan para sahabat tidak
luput dari bimbingan wahyu. Pertama, para sahabat memiliki kecerdasan
akal dan hati yang jernih dalam menangkap maksud ayat. Kecerdasan tersebut
tidak dimiliki oleh selain orang arab asli quraisy. Dalam hal ini, ayat-ayat
al-Qur’an yang tidak musykil, dapat dipahami langsung oleh para sahabat.
Kedua, para sahabat selalu menanyakan kepada Nabi apabila terdapat ayat
yang tidak dipahami oleh mereka. Ketiga, melalui pengajaran dan
penjelasan Nabi kepada para sahabat atas maksud dari ayat-ayat al-Qur’an. Keempat,
melalui teguran dan pembenaran nabi atas pemahaman sahabat yang keliru terhadap
al-Qur`an.
Metode Tafsir Amina Wadud
Amina wadud dilahirkan di Maryland, Amerika pada tanggal 25
september 1952. Ayahnya seorang pendeta sedangkan ibunya keturunan dari Muslim
para budak Arab, berber dari Afrika. Pada usia 20 tahun (1972) Amina masuk
Islam. Ia memiliki banyak gelar studi di antaranya; memperoleh BS-nya dari
University of Pennsylvania, pada tahun 1975. Ia memperolah gelar MA-nya dalam
kajian Near Eastern Studies, di University of Michgan, pada tahun 1986, dan
juga belajar studi Quran dan Tafsir di American
University di cairo. Ia juga mengambil kursus philosophy pada
universitas al-Azhar. Melihat perjalanan studi tersebut, nuansa barat cukup
kentara dipelajarinya.
Pemikiran Amina yang mempropagandakan metode tafsirnya
terdapat dalam bukunya berjudul Qur`an and Women. Di dalamnya ia mengemukakan
metode penafsiran yang digunakan dan juga aplikasinya ke beberapa ayat
al-Qur`an. Dari segi metode, ia membuat tulisan khusus di bagian pembukaan
dengan judul hermeneutics and methodology. Secara gamblang, Amina
menyebutkan bahwa Hermeneutika menjadi metode interpretasinya. Sebab dengan
hermeneutika, landasan gender dapat dipakai untuk mengarahkan hasil
interpretasi al-Qur`an. Ia mengatakan, “throughout this line of inquiry, I
continue to see the significance of gender in interpretative methodology”.[1]
Bahkan racikan gender dan hermeneutika yang digunakan ia namai dengan
hermeneutika tauhid. Tujuan dari hermeneutika tersebut adalah “would be to
address the dynamics between Qur`anic universal and particulars”.[2]
Universal dan Partikular yang ia maksud sebagaimana payungnya
hermeneutika, tidak keluar dari metode interpretasi teks asal barat tersebut. Amina
menilai bahwa al-Qur’an membangun basis nilai moral yang universal. Nilai
tersebut dinarasikan dengan nilai tauhid, keadilan, hak asasi manusia, kesetaraan,
yang pada hakikatnya merupakan nilai kesetaraan gender. Itu yang ia sebut
sebagai Weltanschauung al-Qur`an.[3] Amina mengatakan bahwa tujuan
penelitian yang ia lakukan adalah “untuk menemukan aspek-aspek kesetaraan
gender dalam weltanschauung al-Qur’an”.[4]
Artinya nilai dasar bagi Amina yang disebut dengan pandangan hidup al-Qur`an
adalah kesetaraan gender.
Amina menggunakan nilai tersebut untuk menghukumi ayat-ayat
yang berseberangan dengan paradigma kesetaraan gender, yang dalam pandangannya disebut
sebagai partikular. Caranya, ayat yang hendak ia ubah dilihat secara
historisnya, yaitu bagaimana kondisi masyarakat Arab pada saat ayat turun.
Kemudian, ia melihat kondisi historis pada masa kini untuk dibandingkan.
Melihat adanya perbedaan kondisi historis tersebut, nilai kesetaraan gender ia
gunakan untuk mengubah maksud ayat dan diterapkan sesuai dengan kondisi
kekinian. Ia mengatakan, “In the social, political, and moral arena, a
reciprocal relationship must be made between particular historical or cultural
practices during the time of the Qur'anic revelation as reflections of the
underlying principles and the diverse reflections of those principles in other
historical and cultural contexts”[5]
Metode historisitas memang sangat kental dalam diskursus hermeneutika.
Ia mengaplikasikan metode tersebut dalam ayat-ayat yang
berkaitan dengan perempuan. Seperti ayat tentang waris, penciptaan manusia, poligami
dan persaksian. Dalam artikel ringkas ini, hanya akan dilihat bagaimana
aplikasi metode tafsir Amina dalam ayat tentang persaksian, yaitu dalam surat
al-Baqarah ayat 282. Allah berfirman: “…Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang
seorang mengingatkannya…”. Amina
mempermasalahkan persaksian wanita yang tidak disebut sebagai sandingan dari
laki-laki. Wanita baru disebut jika tidak ada laki-laki, dan dengan perbandingan;
dua wanita sebanding satu laki-laki. Ia menyimpulkan sekaligus mempertanyakan
bahwa “therefore one male equivalent to, or as good as, two female
absolutely?”[6].
Berdasarkan keresahannya, amina menafsirkan ayat tesebut dengan
cara lain. Ia menganggap perbandingan saksi satu laki-laki sama dengan dua
perempuan merupakan tafsir literal. Amina menolak tafsiran tersebut dengan mempertimbangkan
kondisi sosio-ekonomi ketika ayat ini turun. Atas hal itu, Amina menilai
redaksi ayat yang menyebut persaksian laki-laki dua banding satu dari perempuan
karena para wanita waktu itu tidak banyak terlibat dengan perniagaan dan atau
tidak memiliki keahlian tentangnya. Oleh karena itu Amina mengatakan, “Di era
modern ini, pertimbangan revolusioner terhadap potensi perempuan harus mengarah
pada promosi yang lebih besar dari kontribusinya pada sistem sosial yang adil
dan moral, dan mengakhiri eksploitasi terhadap dirinya dan orang lain dalam
masyarakat.”[7]
Artinya, metode tafsir amina tersebut adalah dengan melihat
unsur partikular, sebagaimana ia jelaskan dalam metodenya; yaitu melihat kondisi
historis ketika ayat turun dan dibandingkan dengan kondisi historis kekinian. Setelah
itu, nilai universal berupa kesetaraan gender yang sudah ia persepsikan dimasukan
sebagai basis moral. Dalam kaitannya dengan persaksian wanita, disimpulkan
pandangan bahwa pada era ini, perempuan telah banyak yang berkecimpung di dunia
bisnis dan memiliki keahlian dalam bidang tersebut. Dengan demikian, persaksian
perempuan dapat menjadi sama dengan laki-laki.
Kritik Metode Tafsir Amina Wadud
Metode tafsir Amina wadud sangat kental dengan metode
historistas, hanya saja nilai yang dibangun merupakan nilai dalam gender
equality. Pola penafsiran yang ia gunakan pada hakikatnya sama dengan teori
double movementnya (gerakan ganda) Fazlurrahman (seorang pemikir
modernis asal pakistan). Teori tersebut merupakan metode interpretasi teks
berdasarkan penela’ahan sosio-historis, yang ia tujukan kepada al-Qur’an.
Double movement menjelaskan penafsiran dua arah, yaitu melakukan penelusuran
konteks lahirnya teks pada masa lampau dengan memahami kondisi saat ini dengan
merumuskan visi al-Qur`an yang utuh dan membawa kembali dalam situasi sekarang.[8]
Dalam teori amina, visi al-Qur`an yang utuh dinamkan weltanschauung al-Qur’an,
yang mempersepsikan nilai kesetaraan gender.
Metode Historisitas teks, atau mendasarkan pemaknaan teks
terhadap kondisi sosio-historis tidak pas jika diterapkan kepada al-Qur`an.
Al-Qur`an bukan kitab yang dibuat berdasarkan konteks budaya masyarakat Arab.
Ia merupakan kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, baik secara
lafazh dan maknanya.[9]
Hakikat al-Qur`an tersebut tidak diinsafi oleh banyak tokoh modernis yang
mendukung dekonstruksi-rekonstruksi tafsir salaf. Nasr Hamid Abu Zayd, seorang
modernis Mesir yang dicap murtad oleh mahkamah Mesir karena karya-karyanya,
mengatakan al-Qur`an adalah muntaj tsaqafi (produk budaya). Karena Nabi
hanya menerima makna dan maksud firman Allah saja, lalu membahasakan sesuai
bahasa Nabi. Dengan demikian, jika al-Qur`an adalah bahasa manusia, maka
manusia tidak terlepas dari konteks budaya-historis tertentu, dan karena itu
pula al-Qur’an adalah produk budaya.
Kesalahan mendasar bagi para pendukung metode historisitas
dalam menafsirkan al-Qur`an adalah pada tataran ontologis. Apa itu realitas
wahyu/al-Qur`an dan yang realitas ontologis yang sangat menentukan realitas
lainnya adalah realitas Allah (wujudullah). Allah tidak diyakini sebagai
Tuhan yang maha mengetahui, termasuk peristiwa dan kejadian-kejadian masa
depan. Atas hal itu, ayat al-Qur`an selalu disangkakan out of date
sehingga mesti dikontekstualisasi. Padahal, alih-alih kontekstualisasi tafsir,
pada hakikatnya usaha tersebut adalah membelokan makna al-Qur`an. Dalam realitas wahyu, al-Qur’an bukan produk
budaya, melainkan kalamullah yang diturunkan secara lafazh dan maknanya. Allah
berkuasa untuk membahasakan keinginannya dengan bahasa manusia. Al-Qur`an
dimaknai berdasarkan makna yang dikehendaki Allah, bukan dikehendaki oleh selain-Nya.
Artinya, persepsi ontologis yang salah melahirkan sikap yang salah terhadap
al-Qur`an dan tafsirnya.
Selain historisitas incompatible diterapkan pada
al-Qur`an, metode tersebut sarat dengan relativisme. Seperti dalam double
movemen Fazlurrahman yang dipakai Amina Wadud untuk menafsirkan al-Qur`an.
Teori itu mendasarkan kebenaran kepada realitas sosio-historis, sementara
realitas tersebut selalu berubah-ubah. Bisa jadi apa yang dianggap benar,
pantas, dan baik pada suatu masa tidak dianggap demikian pada masa yang lain.
Belum lagi setiap tempat/ruang sosial berbeda-beda dalam mempersepsi
kebaikan/kebenaran. Keharaman daging babi akan dipersepsikan sebagai kondisi
sosio-ekonomi masyarakat Arab abad ke 7, dan dapat menjadi berubah hukumnya
sesuai perubahan kondisi sosio-ekonomi tersebut.
Demikian juga dalam hal-hal lain, seperti dalam pernikahan
beda agama, keberadaan hari akhir, prinsip-prinsip agama, dan lain-lain. Tidak akan
ada ketetapan dalam agama jika relativisme ini dianut. Semua bisa benar, dan
setiap orang tidak berhak menyalahkan persepsi yang lain. Termasuk dalam
tafsir, tidak ada tafsir yang mutlak benar, atau dengan narasi tafsiran para
ulama belum tentu benar. Seperti pernyataan amina, “No method of Quranic
exegesis fully objectives. Each exgete makes subjective choices”.[10]
Artinya relativisme nilai tidak dapat dijadikan standar nilai/kebenaran itu
sendiri.
Pengaruh Feminis Barat terhadap penafsiran Amina Wadud
Cara kerja tafsir Amina wadud jika ditelusuri tidak berbeda
dengan cara kerja tafsir Bibel yang dilakukan oleh Feminis Eropa. Letty M.
Russel dalam bukunya Feminist Interpretation of the bible yang telah
diindonesiakan dengan tema “perempuan dan Tafsir Kitab Suci”, menjelaskan lebih
rinci tiga metode tafsir feminis terhadap alkitab. Ketiga metode ini adalah; a)
mencari teks yang memihak perempuan untuk menentang teks-teks terkenal yang
digunakan untuk menindas perempuan. b) menyelidiki kitab suci secara umum untuk
menemukan perspektif teologis yang mengkritik patriarki. c) menyelidiki teks
tentang perempuan untuk belajar dari sejarah dan kisah perempuan kuno dan
modern yang hidup dalam kebudayaan patrarkal.[11]
Tiga metode tersebut
mirip dengan metode tafsir Amina. Pertama, mencari teks yang memihak
perempuan untuk menentang teks-teks yang menindas perempuan diistilahkan dengan
dinamika universal-partikular. Kedua, menyelidiki kitab suci secara umum
untuk menemukan perspektif teologis yang mengkritik patriarki dalam istilah
wadud adalah aspek ketauhidan atau weltanschauung al-Qur`an. Ketiga,
menyelidiki teks tentang perempuan untuk belajar dari sejarah dan kisah
perempuan kuno dan modern yang hidup dalam kebudayaan patriarkal adalah
dinamika gerak ganda (double movement). Ketiga metode tersebut digunakan oleh
para feminis eropa dalam menafsirkan bibel. Dengan demikian, cara interpretasi
Amina bukanlah hal yang baru, melainkan diimpor dari para feminis Barat.
Padahal, sifat al-Qur’an dan Bibel berbeda secara mendasar.
Sudah menjadi Ijma` bahwa al-Qur`an, lafazh dan maknanya, berasal dari Allah.
Tidak ada campur tangan manusia, termasuk Nabi Muhammad itu sendiri. Rasulullah
selalu memisahkan antara Firman Allah dan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi
wasallam. Al-Qur’an dengan begitu menutup kemungkinan adanya kontekstualisasi,
atau rekonstruksi makna mengacu pada kondisi sosio-historis. Sementara Bibel
memang ditulis olah para penulisnya, yang menurut konsep Kristen, mendapat
Inspirasi dari Tuhan. Karena yang dianggap wahyu Tuhan adalah makna dan
inspirasi dalam bibel-bukan teks bibel itu sendiri- maka kaum Kristen tetap
menganggap terjemahan Bibel dalam bahasa apa pun adalah firman Tuhan (dei
verbum). Dalam tradisi penafsiran Bibel, sebagain teolog melakukan
kontekstualisasi yang ekstrim, seperti Bultmann, yang menganggap Bibel sebagai
mitos. Dengan ini, hampir setiap bentuk kontekstualisasi adalah mungkin, karena
ada banyak cara untuk memahami sejarah.[12]
Artinya ketidak telitian feminis dalam memahami perbedaan Bibel dan al-Qur`an
membuat mereka mengimpor metode tafsir Bibel kepada al-Qur’an.
Penutup
Tafsir sebagai suatu cara interpretasi
teks (nash) merupakan suatu ilmu dan karenanya memiliki konsep tertentu. Metode
tafsir yang datang dari Barat tidak sama dengan yang datang dari Islam.
Hermeneutika dalam perjalananannya telah banyak berinteraksi dengan teks yang
tidak jelas asal usulnya. Metode tersebut juga melahirkan penafsiran-penafsiran
liberal yang dilakukan oleh para protestan dan feminis Kristen. Tidak aneh jika
dalam Kristen terdapat Bibel versi perempuan (woman’s bibel) yang menjadi
pijakan suci bagi para teolog feminis dalam melahirkan ide-ide gerakan mereka. Dengan
alat tafsir tersebut, kemungkinan kesimpulan yang berbeda beda dan relatif bisa
dan telah terjadi. Makna tidak lagi mengikuti penulisnya, melainkan diletakan
pada kecenderungan penafsir, dan setiap penafsir yang mengedepankan hawa
nafsunya tersebut memiliki keinginan yang berbeda-beda.
Berbeda
dengan hermeneutika, Metode Tafsir al-Qur’an lahir dari rahim Islam itu sendiri
melalui arahan wahyu yang ditanamkan kepada jiwa Rasulullah. Dari beliaulah
para sahabat diajari bagaimana memahami al-Qur`an sesuai dengan kehendak dan
maksud Allah. Para sahabat dididik untuk menjauhi hawa nafsu atau berbagai
tujuan politis mereka. Nilai-nilai keikhlasan, ketawadluan, dan pasrah terhadap
perintah Allah begitu kuat dilaksanakan oleh para sahabat. Sehingga para
sahabat tidak mementingkan kepentingan pribadi atau kepentingan jenis
kelaminnya dalam menafsirkan al-Qur`an. Bukankah hukum daging babi antara
sayyidina Abu Bakar dengan Siti Aisyah sama? Akankah sebuah hukum atau aturan
tertentu bisa berbeda karena dilahirkan dari penafsir yang berbeda jenis kelamin?.
[1] Amina Wadud, Qur’an and Woman:
Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (New York: Oxford
University Press, 1999), p. xii.
[2] Ibid.
[3] Ibid., p. 10.
[4] Ibid., p. 94.
[5] Ibid., p. xiii.
[6] Ibid., p. 85.
[7]
“In this modern era, such revolutionary consideration
of women’s potential should lead to greater promotion of her contributions to a
just and moral social system, and end exploitation of her and others in
society.”dalam ibid., p. 86.
[8] Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (London: The University of
Chicago Press, 1982), p. 7.
[9] Samiyah binti Yasin bin Abdurrahman Al-Badri, Afii Nubuwawati Syakk?! (Riyad: Markaz Dalail, 2016), p. 54. Lihat pula Ibnu Abi ‘Izz, syarh
Aqidah al-Thahawiyah, 1:282
[10] Wadud, Qur’an and Woman: Rereading
the Sacred Text from a Woman’s Perspective, p. 1.
[11] Letty M. Russel, Feminist
Interpretation of the bible (London: Westminster John Knox Press, 1975), p.
41.
[12] Adian Husaini & Rahmatul Husni, “Problematika Tafsir Feminis: Studi
Kritis Konsep Kesetaraan Gender”, al-Tahrir,
vol. 15, no. 2 (2015), pp. 381–3.

Social Plugin