Setelah anak itu memakai pakaian yang paling bagus yang ia miliki, pergilah ia bersama menteri Ja’far menuju istana Khalifah Harun Ar-Rasyid.

        Tatkala anak itu berdiri di hadapan khalifah, ia nampak ketakutan sekali. Namun Khalifah melihatnya sambil tersenyum dan menenangkannya. Anak itupun mulai merasa tenang. Kemudian Khalifah berkata kepadanya, “Kemarilah wahai anakku, mendekatlah dan jangan takut.” Anak itu mendekat sambil berkata, “Baiklah wahai amirul mukminin.

        Khalifah berkata, “Aku kagum sekali atas keputusan Hakim dalam peragaan kisah ‘Ali Kucya dan sahabatnya Hasan tadi malam. Maka beritahukanlah padaku wahai anakku, apakah benar engkau yang berperan sebagai hakim dalam peragaan teresbut?” Anak itu menjawab dengan sopan, “Benar wahai Amirul Mukminin.

        Khalifah berkata lagi kepadanya, “Aku sangat kagum sekali karena kecerdasanmu, dan aku bermaksud agar pada hari ini engkau menjadi hakim untuk memutuskan di pengadilan ini sebagaimana yang telah engkau putuskan kemarin. Namun kemarin engkau melaksanakan putusan di antara dua anak, adapun hari ini engkau akan langsung melaksanakan putusan itu di antara ‘Ali Kucya sendiri dan Pedagang ‘Hasan’. Maka kemarilah wahai anakku, duduklah di sampingku agar engkau memutuskan di antara mereka berdua layaknya putusan hakim.

HAKIM KECIL MEMERANKAN SEBAGAI HAKIM DI HADAPAN KHALIFAH

          Hakim kecil duduk di samping Khalifah. Khalifah memerintahkan menghadirkan Hakim yang membebaskan Hasan, ’Ali Kucya, Hasan, dan dua pedagang buah zaitun lainnya.

        Tatkala mereka semua telah hadir, khalifah melihat ke arah mereka kemudian berkata, “Dipersilakan untuk mengadukan permasalah tiap-tiap kalian kepada anak ini, karena dialah yang akan memutuskan perkara di antara kalian. Namun, jika ia tidak bisa memutuskannya maka aku sendiri yang akan memutuskannya di antara kalian.

        ‘Ali kucya menceritakan pengaduannya, dan Hasan pun menyebutkan bantahannya. Ketika Hasan hendak bersumpah dengan nama Allah sebagaimana yang telah dilakukannya di depan hakim sebelumnya agar ia dibebaskan dari tuduhan tersebut, anak itu melihat ke arahnya dan berkata, “Tidak, aku tidak ingin engkau bersumpah dengan nama Allah wahai laki-laki, kami tidak butuh sumpahmu.

        Kemudian anak itu berkata, “Di mana bejana zaitun itu? Aku ingin melihatnya.” Maka ‘Ali Kucya menyerhkan kepada anak tersebut. Hakim kecil melihat ke arah Hasan dan bertanya kepadanya, “Apakah benar ini bejana zaitun yang dititipkan sahabatmu, ‘Ali Kucya sebelum ia melakukan perjalanannya?” Hasan menjawab, “Benar, inilah bejananya. Anak itu pun menyuruhnya untuk membuka bejana tersebut.


        Sang khalifah dapat melihat buah zaitun yang ada di dalamnya, beliau mengambil buah itu dan memakannya. Beliau mencicipinya dan segera mengetahui bahwa buah ini segar dan pasti baru disimpan di bejana. Kemudian hakim kecil memanggil dua pedagang buah zaitun lainnya untuk memeriksa buah zaitun yang ada dalam bejana tersebut. Keduanyapun mencicipinya dan berkata, “Buah ini segar dan baru disimpan dalam bejana.

KUATNYA TUDUHAN

          Hakim kecil berkata kepada dua pedagang buah zaitun, “Apakah kalian yakin?. Kedua pedagang itu menjawab, “Kami benar-benar yakin.” Hakim berkata, “Ali Kucya mengatakan bahwa buah itu disimpan dalam bejana sejak tujuh tahun yang lalu. Bagaimana bisa kalian mengatakan bahwa buah zaitun ini baru disimpan?” Kedua pedagang itu menjawab, Mungkin buah zaitun yang lama sudah diganti dengan yang baru.



Ali Kucya menghadirkan bejana zaitun di depan khalifah

        Ketika Hasan mendengar demikian, ia merasa tuduhan semakin menguat pada dirinya. Tak lama kemudian, ia mengakui kesalahannya dan langsung memohon kepada khalifah agar memaafkan perbuatannya.

        Kali ini hakim kecil tidak memutuskan hukumannya seperti dalam keputusannya tadi malam. Ia berkata kepada Khalifah, 

       “Tadi malam, ketika aku memutuskan hukuman itu, aku sedang bergurau dengan teman-temanku. Adapun hari ini bukan senda gurau, ini merupakan perkara serius. Aku tidak berhak memaksakan hukuman yang menentukan hidup atau matinya laki-laki itu. Urusan ini adalah tanggungjawab engkau, wahai amirul mukminin. Maka putuskanlah sesuai atas apa yang telah engkau lihat. Jika engkau berkehendak, engkau perintahkan untuk menghukumnya, dan jika tidak, engkau memaafkan kesalahannya!”