Cep Gilang Fikri Ash-shufi S. Hum    
             Dewasa ini terdapat banyak tudingan dari para tokoh Muslim liberal bahwa penafsiran para Ulama dalam ayat-ayat tentang perempuan tidak melahirkan pemahaman yang adil. Para Ulama dianggap telah menafsirkan ayat-ayat tersebut memakai kacamata kelelakiannya. Akibatnya hasil penafsirannyapun dianggap tidak adil terhadap wanita. Perempuan selalu diposisikan berada di bawah laki-laki. Ia juga dianggap mendapatkan hak yang lebih sedikit daripada laki-laki, dan lain sebagainya.
            Berbagai tudingan tersebut melahirkan satu pertanyaan mendasar, bahwa apakah penafsiran para ulama dalam kitab-kitabnya yang telah berlangsung sejak zaman sahabat hingga zaman sekarang mensubordinasi dan mendiskriminasi perempuan? Tulisan sangat ringkas ini mencoba mengklarifikasi tiga persoalan yang sering digugat oleh cendekiawan Muslim liberal. Pertama, bagian waris antara laki-laki lebih besar daripada perempuan [al-Nisa: 11]. Kedua, menafsirkan qawwam secara misoginis. Ketiga, menghendaki hukuman memukul kepada istri yang nusyūz [al-Nisa: 34].
            Pertama, soal ayat kewarisan
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ
“Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan” (al-Nisa: 34)
            Para Ulama dianggap keliru menafsirkan ayat waris dengan kesimpulan melebih besarkan bagian laki-laki dibanding perempuan. Seharunya penafsiran di mata mereka dilakukan secara kontekstual dengan mengacu kepada visi kesetaraan laki-laki dan perempuan. Sehingga kesimpulan hukumnya adalah 2 banding 2 antara laki-laki dan perempuan.
            Pemahaman demikian tidak akan muncul jika memahami ayat tersebut secara mendalam. Penulis kiranya cukup memaparkan penjelasan Imam al-Sya’rawi, salah seorang Ulama dan mufassir kontemporer, dalam kitabnya al-Mar`ah fī al-Qur’ān. Ia telah memaparkan dengan jelas dan logis bahwa dibalik pembagian waris yang perbandingannya melebihkan laki-laki dibanding perempuan terdapat keadilan.
            Al-Sya’rawi menjelaskan bahwa hikmah dari pembagian tersebut adalah karena Seluruh kehidupan perempuan berada dalam tanggungjawab laki-laki. Jika ia seorang anak-anak maka ayahnya yang menafkahinya. Apabila Ayahnya meninggal maka saudaranya yang menafkahinya, atau pamannya. Selamanya perempuan ditanggung oleh laki-laki. Apabila ia menikah, ia berada pada tanggungan suaminya. Suaminyalah yang menafkahinya. Seorang istri tidak diberikan tanggungjawab secara syari’at untuk menafkahi kepada yang lain, walaupun mereka merupakan kerabatnya. Namun seorang laki-laki memiliki berbagai tanggungjawab. Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Ia bertanggungjawab secara syari’at atas ibunya dan saudaranya, ketika ia menikah ia bertanggungjawab atas istrinya. Adapun seorang perempuan sebelum menikah, ia dinafkahi oleh walinya, dinafkahi suaminya setelah menikah. kemudian dinafkahi oleh anaknya setelah itu.[1]
Selanjutnya al-Sya’rawi memaparkan perumpamaan, bahwa jika seorang ayah memiliki enam hektar tanah dan hanya memiliki seorang putra dan seorang putri. Sang putra mendapat empat hektar dan putrinya mengambil dua hektar. Dalam situasi yang paling keras, seorang anak perempuan mungkin hanya mengandalkan dirinya sendiri dan cukup 2 hektar baginya. Ketika dia menikah, suaminya menjaminnya dan dua hektar tersebut menjadi banyak karena ia mendapat nafkah dari suaminya. Sementara anak laki-laki yang mendapatbagian 4 hektar, ia akan menikah dengan perempuan dan menanggung kehidupannya. Jadilah 4 hektar tesebut untuk kehidupan dua orang. Dengan begitu seorang perempuan pada hakikatnya mendapat bagian yang besar karena ia tidak dibebankan tanggungjawab untuk menanggung siapapun.[2]
            Kedua, soal penafsiran qawwāmah
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ ….
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,….” (al-Nisa: 34)
            Penafsiran kata qawwāmūn (pemimpin) dianggap menindas perempuan atau misoginis. Padahal, jika dicermati, para Ulama menafsirkan qowam tidak didasarkan kepada jenis kelamin (gender) atau bukan karena mereka adalah seorang laki-laki, melainkan dengan kualifikasi ilmu dan agama.
            Imam Ibn Katsir dan al-Ṭabari, menafsirkan qawwāmah tidak jauh dari pemimpin, pelaksana tugas, dan pelindung.[3] Imam Jalālain menafsirkannya sebagai penguasa (musalliṭūn). Kekuasaan laki-laki tersebut bukan dalam rangka mengeksploitasi atau diskriminasi. Namun Imam Jalālain mengaitkan kekuasaan itu dengan tanggungjawab untuk mendidik dan mengurusi kehidupan perempuan. Selaras dengan penafsiran salaf, para ulama kontemporer pun menafsirkan qowāmah tidak bias gender. Sayyid Qutb dan Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa qowam bukan semata-mata penguasa dan mendiskriminasi, melainkan memiliki tanggungjawab, amanah, dan pembebanan mengurusi kehdiupan (tadbīr al-ma’āsh).[4]
            Selain itu, seorang qawwam mesti mewujudkan sikap menolong, menjamin, dan memutuskan perkara berdasarkan musyawarah (Q.S. al-Shūrā: 38). Ia mengemban amanah dari ikatan pernikahan (mītsāqan ghalīẓa), yaitu agar selalu berwasiat atau menasihati dengan kebaikan (istauṣū bi al-nisā khairan).[5] Keluarga dalam Islam menghendaki kehidupan yang tentram, penuh dengan cinta dan kasih sayang bukan kehidupan permusuhan dan persaingan (Q.S. al-Rūm: 21). Ketiadaan relasi yang timpang dalam Islam tersebut telah jelas karena laki-laki adalah pakaian bagi perempuan, dan perempuan adalah pakaian bagi laki-laki. Suami merasa tentram dengan istrinya, dan istri merasa tentram dengan suaminya.[6] Dengan demikian, kepemimpinan laki-laki atas perempuan (suami atas istri) dalam penafsiran para Ulama dilekatkan dengan tanggungjawab, amanah dan beban yang berat, dan perlakuan menindas perempuan merupakan suatu hal yang menyalahi amanah tersebut.
            Ketiga, soal pemukulan suami kepada istri nusyūz.
وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (al-Nisa: 34)
            Tidak berbeda dengan dua kasus sebelumnya, dalam ayat ini para Ulama juga diasumsikan telah salah menafsirkan, mestinya kata pukullah tidak ditafsirkan secara literal (harfiyah). Ia harus ditafsirkan secara kontekstual, dengan menghindari cara-cara kekerasan.
            Padahal, para Ulama telah menjelaskan bahwa pemukulan tersebut adalah pemukulan yang tidak melukai dan dalam rangka pendidikan. Selain itu, hal yang perlu diketahui dalam hal ini, bahwa Islam menghendaki kehidupan yang sakinah mawadah dan rahmah dalam keluarga. Untuk mencapai tujuan tersebut, ajarannya mengharuskan suami-istri masing-masing memerankan perannya dengan baik. Seorang suami mesti memaksimalkan tugas kepemimpinannya (qawwam), dan seorang istri mesti memaksimalkan tugasnya sebagai wanita shalehah yaitu ta’at kepada suami. Kepemimpinan yang baik dengan disertai adanya keta’atan yang dipimpin akan menciptakan tatanan masyarakat atau keluarga yang bahagia.
            Selain merumuskan aturan pembagian peran tersebut, Islam juga memperhatikan bagaimana menjaga keberlangsungan keluarga agar tetap berjalan dengan baik. Seorang suami diperingatkan dengan amanah yang besar dan hukuman yang berat jika menzhalimi istrinya. Demikian pula istri, ia diperingatkan dengan hukuman yang berat jika tidak mena’ati suaminya. Istri berhak menasihati dan memperingatkan suaminya agar suaminya tidak berlaku zhalim, seperti tidak menafkahi, tidak melindungi dan lain-lain. Bahkan, istri diberikan dua pilihan dalam menghadapi suami yang ẓalim, bersabar atau menggugat cerai.
            Demikian juga seorang suami, ia diberi tanggungjawab untuk mendidik istrinya agar tetap shalehah. Pendidikan tersebut dibebankan kepada suami agar istrinya selamat dari adzab neraka yang kebanyakan penghuninya adalah para wanita yang membangkang kepada suaminya (yakfurna al-‘ashīr). Pendidikan bagi istri yang tidak ta’at kepada suaminya (nusyūz) dilakukan dengan tiga cara dan dengan mekanisme bertahap. Pertama, menasihati. Kedua, memisahkan dari tempat tidurnya. Ketiga, memukul tanpa melukai dan tidak boleh mengarah ke wajah. Jika setiap tahapan sudah dapat menyembuhkan sikap ketidak ta’atan istri maka tahap selanjutnya tidak berlaku. [7] Semua cara tersebut dalam rangka pendidikan, bukan dalam rangka kekerasan, dan upaya menegah perempuan terjerumus kpeada adzab neraka karena dosa kufur kepada suami.
            Atas hal itu, anggapan para liberalis bahwa para Ulama melegitimasi kekerasan dalam rumah tangga, khususnya dalam kasus pemukulan istri yang nusyūz jelas keliru. Ayat tersebut tidak bisa diganti penafsirannya dengan cara-cara lain. Mengingat tidak ada aturan yang lebih sempurna dibanding aturan Allah. Semua hukum-hukumnya mengandung hikmah yang luarbiasa. Kegagal pahaman dalam menilai agama Islam dikarenakan menuruti akal semata (hawa nafsu) atau tidak mengetahui khazanah keislaman itu sendiri.
Penutup
            Permasalahan diskriminasi dan subordinasi perempuan tidak lahir dari ajaran Islam atau tafsir-tafsir para Ulama. Sebab ajaran Islam lahir telah merevolusi tradisi jahiliyah yang sebagian besarnya adalah penindasan perempuan. Ayat-ayat al-Qur’an tidak ada satupun yang misoginis. Derajat laki-laki dan perempuan dalam al-Qur’an ditentukan oleh ketakwaannya, bukan jenis kelamin.
            Dalam kehidupan keluarga, masing-masing memiliki peran dan tanggungjawab yang berbeda sesuai dengan fitrahnya. Dalam kehidupan publik, baik laki-laki ataupun perempuan dituntut berperan dan berpartisipasi aktif melaksanakan amar ma’ruf nahyi munkar serta berlomba-lomba dalam kebaikan. Penafsiran para Ulama pun tidak didasarkan pada jenis kelamin atau bias gender. Mereka diharuskan memenuhi syarat-syaratnya, yaitu; keilmuan, kemampuan akal yang baik, syarat agama dan adab. Dengan demikian, menghilangkan diskriminasi adalah dengan mengoreksi pelaku-pelaku kejahatan tersebut, bukan mengoreksi agama dan penafsirannya.
            Islam memiliki konsep yang lebih baik daripada kesetaraan dan persamaan mutlak antara laki-laki dan perempuan yang diusung oleh kaum feminis (sekular-liberal), yaitu konsep keadilan. Konsep keadilan Islam tercermin dalam syari’at-syari’atnya (Q.S. Al-An’am: 115). Syari’at selalu memberikan porsi yang sama antara laki-laki dan perempuan ketika persamaan itu adil. Syari’at juga selalu memberikan porsi berbeda ketika perbedaan itu merupakan keadilan. Keadilan tersebut yaitu; isti’māl al-umūr fī mawāḍi’ihā (menempatkan sesuatu pada tempatnya).[8]Artinya, menjalankan syari’at Islam adalah solusi untuk menciptakan keadilan, dibanding menuntut kesetaraan mutlak dengan merombak dan menentang syari’at.
Terimakasih telah mengunjungi https://rukyatulislam.blogspot.com/



[1] Muhammad Mutawallā Al-Sha’rāwī, al-Mar`ah fī al-Qur’ān al-Karīm (Kairo: Maktabah al-Sha’rāwi). 81-83
[2] Ibid.
[3] Lihat: Muhammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān fī Ta`wīl al-Qur’ān, Ed. Ahmad Muhammad Syakir (t.t: Muassasah al-Risālah, 2000), 8: 290, Isma’īl Ibn Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, ed. by Sāmī bin Muhammad Salāmah (t.t: Dār Ṭayyibah, 1999). 1: 292, Jalāluddīn Al-Suyūṭī & Al-Muḥallī, Tafsīr Jalālain (Kairo: Dār al-Hadīts, t.th). 106
[4] Sayyid Qutb, Fī Ẓilāl al-Qur’ān (Beirut: Dār al-Syarūq, 1412). 2: 651, Yusuf al-Qardawi, Min Fiqh Al-Dawlah Al Islāmiyyah. 218.
[5] Hadits riwayat Muslim dalam Ibn Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. 2: 245.
[6] Ibnu Abbas mengatakan, “hunna sakanun lakum wa antum sakanun lahunna” Ibid. 1: 510
[7] Qutb, Fī Ẓilāl al-Qur’ān. juz 2, 653
[8] ‘Alawi bin ‘Abd al-Qahhar, Mausū’ah al-Akhlāq al-Islāmiyyah, (t.t: Mawqi’ a-Sanniyyah dorar.net, 1433 H) 1: 375