Oleh: Fachri Khoerudin S.Ag
(Alumni Program Kaderisasi Ulama angkatan XIII)

Urgensi untuk menjaga lingkungan kian hari semakin ramai diperbincangkan. Setidaknya banyak orang yang mulai menyadari, bahwa eksploitasi terhadap alam secara besar-besaran justru mengancam keberlangsungan eksistensi bumi. Berbagai gerakanpun mulai muncul ke permukaan. Sebutlah itu seperti mengurangi penggunaan plastik, gagasan green economy, penggunaan energi alternatif, memanfaatkan sisa limbah, juga usaha-usaha lain yang menjadi trend saat ini, terutama di kalangan anak muda milenial.

Namun tulisan ini tidak sedang membahas mengenai persoalan di atas satu per-satu secara rinci. Tetapi lebih secara filosofis, permasalahan akan dilihat dari sudut pandang yang paling mendasar, yaitu dari sisi worldview atau cara pandang dari permasalahan mengenai hubungan antara manusia dan alam (bumi); apakah hubungan di antara mereka hanya sebatas “susunan rantai makanan” dan “objek eksploitasi” belaka, atau ada unsur-unsur lain yang tidak kalah pentingnya dari dua hal tersebut?.

Sebagai agama yang komperhensif, Islam tentu memiliki cara pandang tersendiri ketika membicarakan persoalan ini. Oleh sebab itu, penulis menggunakan worldview Islam sebagai alat untuk mengupas tema mengenai hubungan manusia dan alam. Setelah itu, dapat ditemukan posisi dan peran masing-masing dalam hierarki kosmos.       


Kata alam sebenarnya dapat ditelusuri ketika para ahli tafsir menafsirkan kata “âlamîn” dalam surat al-Fatihah ayat yang kedua. Ada sebuah definisi yang menarik dari Ibnu Katsir ketika menjelaskan kata itu. Menurut beliau, yang dimaksud dengan ‘alam adalah setiap yang ada, selain Allah ‘azza wa jalla (kullu maujûdin siwa llahi ‘azza wa jalla) (Katsir, 1999 M: 131). Konsekuensi logis dari definisi tersebut adalah cakupan dari alam sangatlah luas karena setiap yang diciptakan disebut dengan alam. Bumi dan langit, surga dan neraka, malaikat dan jin adalah alam, termasuk manusia itu sendiri.

Karena definisi alam seperti itu maka peta hierarkinya bukan lagi “Allah-manusia-alam” tetapi “Allah-alam”. Artinya, manusia sebagai bagian dari alam tersebut tidak boleh terlepas dari dimensi ketuhanan, karena yang menciptakan alam adalah Allah. Manusia harus selalu tunduk kepada perintah-Nya, menyembah-Nya dan memuji-Nya sesuai dengan apa yang diisyaratkan oleh surat al-Fatihah ayat kedua tersebut (al-Hamdu: segala puji).

Dalam perspektif lain, sebagai bagian dari alam yang diciptakan oleh Allah, manusia sepatutnya memanfaatkan bumi dengan penuh pertanggung jawaban berlandaskan perintah dan larangan-Nya. Aturan-aturan yang mengatur manusia dengan bumi harus selalu diterapkan dan diikuti sebagai bukti bahwa manusia sebenarnya sama saja dengan hewan, tumbuhan, batu, sungai dan lainnya dari segi “diciptakan oleh-Nya”. Dengan pengintegrasian yang jelas seperti itu, maka dalam pandangan Islam, rasanya tidaklah mungkin apabila posisi alam dan manusia dilepaskan begitu saja dari dimensi ketuhanan.

Tentu hal ini berbeda dengan cara pandang Barat yang begitu materialistik ketika memandang alam dan menjelaskan posisi manusia di hadapan alam. Harvey Cox dalam The Secular City, menunjukan salah satu elemen sekularisasi adalah disenchantment of nature atau pengosongan dunia dari nilai-nilai ruhani (Harvey, 2006: 31).

Eksploitasi bersar-besaran terhadap alam semenjak revolusi industri di Barat membuktikan pandangan tentang ketiadaan unsur ruhani dalam alam. Sehingga mereka menganggap alam sebagai objek yang mesti dieksploitasi demi keuntungan pribadi. Fenomena seperti ini sangatlah wajar karena dalam worldview Barat, manusia menempati tempat tertinggi hierarki segala sesuatu; semua ditentukan oleh manusia baik itu nilai, norma, aturan dan lain sebagainya.

Dari penjelasan tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa ada perbedan mendasar antara worldview Barat dan Islam. Harmoni antara khaliq dan makhluq tidak dapat ditemukan dalam pandangan hidup Barat yang begitu materialistik. Sebaliknya, dalam pandangan hidup Islam, harmoni seperti itu sangat mudah ditemukan karena memang tujuan terciptanya alam adalah sebagai tanda-tanda fisikal yang membuktikan kekuasaan Allah SWT.


      Setelah membahas perbedan alam antara worldview Barat dan Islam, pembahasan selanjutnya mengenai komparasi antara worldview Islam dan worldview agama lain tentang alam dan pencipta. Mengenai hal ini, akan muncul beberapa pertanyaan; apa perbedaan alam dalam pandangan Islam dan agama lainnya? Apakah harmonisasi khaliq dan makhluq juga terdapat dalam worldview Kristen, Yahudi, Hindu, Budha dan yang lainnya?
         
  Sebenarnya harmonisasi antara khaliq dan makhluq juga terdapat dalam agama lain. Pengakuan terhadap “kontribusi Tuhan” dalam penciptaan dan pengurusan alam merupakan bukti dari statement di atas. 

 Agama Hindu misalnya, mereka mengaitkan ketiga Tuhan mereka dengan konsep kejadian, keberlangsungan dan kehancuran alam (Brahma Dewa percipta, Wisnu Dewa pemelihara, serta Syiwa sebagai Dewa penghancur alam). Maka, pengharmonisasian khaliq dan mahluq bukanlah sesuatu yang asing dan baru.

Meski begitu, konsep khaliq dan makhluq dalam agama lain tidak sama dengan konsep yang terdapat dalam agama Islam. Perbedaannya terletak pada praktik dari “pengharmonisasian”, sehingga menghasilkan konsep-konsep yang bersumber dari ajaran agama. Sampai sini, akan timbul sebuah pertanyaan; bagaimana cara melibatkan harmonisasi itu dalam aktifitas para pemeluknya?
        
    Jika ditelisik lebih jauh, kita akan kesusahan menemukan sebuah konsep ekslusif hasil dari pengejawantahan harmonisasi dalam aksi yang nyata. Sebagai contoh, dalam masalah politik misalnya, benar jika dikatakan bahwa setiap pemeluk agama-agama harus menjalankan politik dengan penuh tanggung jawab dan adil. Namun ketika ditanya “bagaimana  konsep keadilan dalam Hindu?”“seperti apa konsep politik yang benar dalam agama Sikh?”“bagaimana kriteria pemimpin dalam agama Protestan menurut Bible?”. Semua tidak akan bisa terjawab dengan mudah. Alasannya adalah karena memang sulit ditemukan konsep politik yang utuh dalam sumber cara pandang mereka. Kalaupun ada, tidak bersentuhan secara langsung.
         
   Tapi berbeda dengan agama Islam. Sebagai agama yang memiliki pedoman yang jelas dalam pembentukan worldview-nya, Ia tidak memiliki permasalahan yang sangat mendasar seperti itu. Islam memiliki al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber cara pandang di mana akan menghasilkan konsep-konsep yang mengatur seluruh aktifitas manusia. Konsep-konsep itu akan saling berhubungan satu sama lain; sehingga membentuk jaringan-jaringan konsep (conceptual network)
          
 Menarik ketika Rasyid Ridha menjelaskan tentang harmoni Khaliq dan makhluq. Dalam tafsirnya al-Manar, beliau menyebutkan bahwa dalam agama Islam, konsep Rabb memiliki dua fungsi, yaitu tarbiyatun khulqiyyah dan tarbiyatun syar’iyyah. Point yang pertama menunjukan sebagai Rabb, Allah SWT adalah dzat yang mengurus dan menumbuhkan manusia pada sisi perkembangannya. Manusia yang asalnya tidak ada menjadi ada, lahir, tumbuh, berakal, sampai dia menjadi tiada lagi adalah berkat qudrah Allah SWT. Sedangkan point yang kedua menunjukan bahwa Allah sebagai Rabb juga mengurus dan mengatur manusia untuk senantiasa terus berjalan lurus dalam fitrahnya, berdasarkan dengan ilmu dan amal yang benar (liyukmila bih fitratahum bil ‘ilm wal ‘amali idzâ ihtadaû bihi) dengan cara memberikan kepada manusia syariat yang diwahyukan kepada para Nabi. (Ridha, 1990 M: 43)
          
      Berdasarkan asumsi-asumsi di atas maka bisa dipastikan bahwa agama Islam tidak memiliki masalah dalam pengejawantahan harmonisasi khaliq dan makhluq. Berbeda dengan agama lainnya yang masih “kebingungan” menemukan konsep-konsep pandangan alam yang bersumber dari kitab suci mereka, Islam memiliki kejelasan sumber untuk membentuk konsep-konsep sehingga menjadi sebuah cara pandang. Selaitu itu, agama Islam merupakan satu-satunya agama yang mengintegrasikan hubungan antara khaliq dan makhluq berdasarkan sumber yang jelas, konsep yang selaras dan tujuan yang tegas. Wallahu a’lamu bis-shawwâb


Terimakasih telah mengunjungi https://rukyatulislam.com/