Definisi Worldview Islam
Dalam pembahasan
mengenai definisi Worldview Islam, akan dibahas empat tokoh Muslim, yaitu; Abu
A’lā al-Maududi, Shaykh Atif al-Zayn, Sayyid Qutb, S.M. Naquib
al-Attas. Pertama, Abu a’lā al-Maududi, menamakan
worldview Islam dengan istilah Islam Nazhariyat. Beliau menjelaskan bahwa
pandangan hidup seseorang dimulai dari keyakinan akan keesaan Tuhan, hal ini
dalam pandangannya akan berpengaruh pada seluruh sikap dan tindakan manusia
dalam menghadapi kehidupannya di dunia.[1]
Kedua, Syekh atif al-Zayn, meski beliau tidak
menyebut secara langsung term worldview, sempat menjelaskan istilah al-Mabda
al-Islāmiy, yang bermakna ‘aqīdah al-fikriyyah. Dapat dikatakan
bahwa worldview dalam pandangan ‘al-Zayn merupakan keyakinan atau keimanan, di
mana beliau menyebut bahwa “Al-Islām ‘Aqīdatun fikriyyah mabniyyatun
‘ala al-‘aql”.[2] Kalimat fikriyyah ditambahkan
setelah ‘aqīdah menunjukkan bahwa keyakinan seorang Muslim
merupakan hasil pemikiran akal. Keimanan kepada hakikat wujud Allah, kenabian,
al-Qur’an dalam pandangannya adalah hasil dari proses akal. Begitu juga
keimanan kepada hal-hal yang ghaib.[3]
Pengakuan akal seseorang
tersebut akan mendorongnya untuk mengimaninya, dan berdampak pada pengaturan
hubungan manusia dengan penciptanya, dengan dirinya dan dengan manusia yang
lainnya. Artinya, keimanan dalam Islam mesti diproses secara aqliyah, sehingga
seorang yang belum ‘aqil baligh belum diakui diakui keyakinannya. Hal ini
berbeda dengan tradisi Kristen yang membaptis setiap bayi yang dilahirkan,
mereka menjustifikasi kekristenan Bayi yang padahal belum bisa memfungsikan
akalnya. Selain itu, setiap manusia yang lahir hingga sebelum ia ‘aqil baligh
berada dalam keislaman, sebagaimana dijelaskan dalam Islam.[4] Dengan demikian,
worldview dalam pandangan al-Zayn adalah keyakinan yang telah diproses secara
akal, yang mendorong untuk mengatur (tanzhīm) hubungan manusia
dengan Tuhannya, dengan dirinya dan dengan sesamanya.
Sejalan dengan al-Zayn
yang mengatakan bahwa worldview adalah keyakinan, Sayyid Qutb menamakannya
dengan istilah al-tashawwur al-Islāmī. Meski sebenarnya beliau
tidak menyebutkannya secara definitif, pemahamannya akan worldview dapat
dilihat dari penjelasannya mengenai karakteristik al-tashawwur
al-Islāmi tersebut. Karakteristik-karakteristik tersebut adalah; rabbāniyyah,
tsabāt, syumūl, tawāzun, ījābiyyah, wāqi’iyyah, dan tauḥīd.[5]
Karakteristik yang
pertama, rabbāniyyah, menunjukan bahwa al-tashawwur
al-Islāmi merupakan gambaran keyakinan yang diwahyukan dari Allah,
tidak dari yang lainnya.[6] Secara otentisitas dan
hakikatnya, rabbāniyyah ini tetap terjaga, tidak terkena tahrīf.[7] Dalam arti, tashawwur
al-Islāmiyyah sumbernya adalah Allah, melalui wahyu yang
diturunkannya, dan tanpa ada corruption. Ia berbeda dengan
gambaran atau pemikiran Filsafat yang ditumbuhkan melalui akal manusia, dan
juga berbeda dengan keyakinan-keyakinan lainnya yang tidak diwahyukan.[8]
Kedua, tsabāt, menunjukan bahwa nilai dari tashawwur
al-Islāmi tidak berkembang dan tidak berubah, melainkan permanen, kokoh, tetap.
Hal ini merupakan karakteristik yang muncul setelah rabbāniyyah, dalam arti
segala sesuatu yang datang dari Allah bersifat permanen dan kokoh, berbeda
dengan fenomena kehidupan yang selalu berubah-ubah, sehingga Islam tidak
mendasarkan pandangan atau tashawwurnya kepada fenomena kehidupan (wāqi’iyyah).[9] Ketiga, Syumul,
karakteristik ini ditambahkan dengan karakteristik keempat, tawāzun. Dalam
arti, gambaran Islami adalah gambaran menyeluruh yang tidak berlebihan; tidak
ekstrem dan tidak pula terlalu lemah.
Keempat, ījābiyyah,
yang berarti dalam tashawwur al-Islāmi terdapat hubungan antara Allah dengan
alam dan dengan manusia. Ia tidak terbatas hanya pada pembahasan tentang
manusia saja, atau pembahasan mengenai Tuhan saja. Kelima, wāqi’iyyah,
yaitu gambaran Islam berinteraksi dengan realitas positifistik, realitas
ketuhanan dan realitas alam. Keenam, tauḥīd, dan karakteristik ini merupakan
elemen pertama dalam tashawur Islam. Orientasinya bukan orientasi nafsu,
materi, atau mansia yang bebas sebebabs-bebasnya, melainkan orientasi yang
murni karena Allah.
Dari beberapa
karakteristik tersebut, dapat disimpulkan bahwa tashawur al-Islāmi yang dimaksud
Sayyid Quthb adalah, Gambaran keyakinan yang menyeluruh, bersumber dari tauhid
dengan merujuk kepada wahyu ilahi yang permanen (qat’iy dilālah),
dan dengannya mendorong untuk memahami realitas alam dan ketuhanan.
Berbeda dengan definisi
sebelumnya, Syed Naquib Al-Attas, menjelaskan bahwa worldview Islam tidak hanya
sebatas keyakinan, namun lebih dari itu, merupakan cara pandang. Beliau
menamakannya sebagai rukyah al-Islām lil wujūd (pandangan
Islam tentang wujud). Al-attas menekankan bahwa setiap cara pandang harus
memiliki visi tentang realitas dan kebenaran.[10] Kedua hal itu diatur
dalam ajaran-ajaran Islam untuk dijadikan pandangan hidup yang terbentuk dalam
pikiran dan diwujudkan dengan tindakan.
Dari keempat tokoh
tersebut dapat disimpulkan bahwa pandangan hidup Islam adalah pandangan Islam
tentang realitas dan kebenaran yang tertanam dengan kokoh dalam pikiran serta
berpengaruh terhadap sikap dan tindakan dalam kehidupan. Namun, masing-masing
tokoh memiliki kecenderungan yang berbeda-beda. Al-Maududi lebih menekankan
pada aspek politik, syekh Atif al-Zayn dan Sayyid Quthb menekankan aspek
ideologis dan metafisis, sementara al-Attas menekankan kepada aspek
epistemologis dan metafisis.[11]
Selain itu, menurut
Berghout, tokoh-tokoh Islam sebelum al-Attas tidak berupaya secara khusus
merumuskan diskursus di bidang Islamic Worldview. Meskipun telah ada sentuhan
ideologis yang mewarnai usaha mereka dan menggagas studi worldview dalam
tradisi Islam, namun hal itu masih memerlukan perluasan dan pengembangan. Dalam
dunia Islam, masih belum ada cabang ilmu atau disiplin ilmu terpisah yang
berspesialisasi dalam isu-isu Worldview Islam, seperti pokok bahasan, tujuan,
metode atau alat analisis dan penerapannya pada berbagai disiplin Ilmu.[12] Prof. Al-Attas,
sebagaimana dijelaskan Berghout, adalah salah satu tokoh Muslim yang melakukan
pendekatan sistematis terhadap definisi dan konseptualisasi mengenai Islamic
Worldview.[13]
Elemen dan Karakteristik
Worldview Islam
Dengan visi Islam
terhadap realitas dan kebenaran yang dijelaskan al-Attas, dapat dibedakan
antara karakter worldview barat sekuler dan worldview Islam. Worldview Barat,
sebagaimana telah disinggung di atas, berbasis kepada penalaran spekulatif dan
pengalaman empiris. Baik itu didominasi oleh faktor tata nilai sosial, budaya,
sejarah, politik, dan lain sebagainya, semua faktor tersebut merupakan hal-hal
yang dicerna secara nalar spekulatif dan dialami secara empiris. Hasilnya,
worldview barat hanya mengenal dunia yang empiris, dan dunia yang dapat dinalar,
dengan tidak mengenal konsep dunia metafisik. Kebenaran yang mereka lihat hanya
terletak pada dunia fisik, dan terpisah dari nilai-nilai di balik itu. Hal ini
dikarenakan Barat sekuler telah mematikan Tuhan dalam pikiran mereka. Dengan
demikian, karakteristik worldview Barat adalah dikotomis, antara fisik dan
metafisik, atau bahkan antara dunia dan akhirat.
Karakter worldview Barat
yang dikotomis tersebut berdampak pada karakter-karakter lainnya. Karakter
tersebut yaitu, sifat worldview yang spekulatif dan berubah-ubah. Hal ini
terjadi karena worldview Barat sekuler tidak melandaskan pandangan hidupnya
kepada sesuatu yang permanen, sebagaimana wahyu dalam Islam. Mereka
menyandarkan pandangan hidupnya kepada pemikiran mereka sendiri, dan pemikiran
manusia akan berubah sesuai dengan situasi dan kondisinya. Tidak aneh jika
dalam perkembangan pemikiran di Barat, yang pada mulanya melarang keras
terhadap sesuatu, namun di zaman berikutnya sesuatu tersebut diperbolehkan,
seperti pernikahan sejenis, memakan daging babi, dan lain-lain. hal ini
mencerminkan karakteristik worldview mereka yang senantiasa berubah-ubah.
Berbeda dengan Barat
yang sekuler, Islam tidak dualistik dan tidak berubah-ubah. Worldview Islam
menggabungkan antara dunia dan akhirat, di mana aspek dunia tidak bisa
dipisahkan dengan aspek akhirat. Segala yang dilakukan di dunia, dalam Islam
mesti diarahkan untuk tujuan ukhrawi. Realitas bukan hanya sebatas wāqi’iyyah
(reality/peristiwa) sebagaimana dipahami dalam tradisi Barat sekuler,
namun realitas merupakan haqīqah (truth). Jika realitas dipahami
sebagai kebenaran/haqīqah, maka reality (factual occurrence) merupakan
salah satu aspek yang terdapat di dalamnya, dan hal itu disebut dengan fakta
yang benar. Sementara realitas yang hanya diartikan sebagai factual
occurrence saja, bisa mengaktualisasikan nilai yang salah (bāṭil). Dengan
kata lain, karakteristik worldview Islam adalah tauhidi (Integrated).[14]
Selain itu, worldview
Islam juga memiliki karakter yang teguh dan kokoh. Hal ini karena basis dari
worldview islam adalah ketuhanan, dan wahyu yang diturukan-Nya menjadi pegangan
bagi ummat Islam. Sebagaimana sifat dari Wahyu, yang tidak terkena perubahan
dan bersifat permanen, maka worldview Islam pun bersifat permanen. Dalam hal
ini, kita dapat memahami salah satu elemen worldview Islam yang dikemukakan
oleh Sayiid Quthb, yaitu al-tsabāt (permanen). Selain itu,
al-Attas juga menjelaskan bahwa pandangan hidup bukan mengikuti realitas (wāqi’iyyah) semata,
melainkan mesti mengikuti kebenaran yang berbasis wahyu. Oleh karena itu,
beliau selalu menyebutnya sebagai the vision of reality and truth.
Dengan kata lain, worldview Islam akan senantiasa konsisten dengan kebenaran,
di manapun dan kapanpun.
Selain itu worldview
Islam juga memiliki elemen yang berbeda dari worldview Barat. Elemen worldview
Barat, sebagaimana dikemukakan oleh para tokohnya, adalah segala kekuatan
intelektual. Hal itu dikarenakan bahwa worldview barat sekuler merupakan produk
manusia yang dipengaruhi oleh kondisi sosio-historis. Dilthey menyebut sumber
worldview adalah kehidupan,[15] Nietszche menyebutnya
sebagai “a product of its time, place, and culture”[16], Wittgenstein menyebutnya
sebagai produk penalaran subjektif dari bahasa[17], dan Foucault
menyebutnya a slice of history. [18] Dapat dikatakan,
elemen worldview barat adalah, segala kekuatan intelektual manusia yang
dipengaruhi oleh kondisi sosio-historis; baik itu kebudayaan, etnis, ras, atau
komunitas manusia tertentu.
Berbeda dengan Barat,
Islam tidak menyandarkan akal sebagai sumber dari worldview. Elemen worldview
Islam adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya. Dengannya, standar
kebenaran dan aturan hidup manusia, baik di dunia maupun untuk hidup di
akhirat, diatur secara komprehensif dan kosisten. Dalam hal ini, al-Attas
mengatakan, “Islam is not a form of culture… the system of value
derived from it are not merely derived from cultural and philosophical elements
aided by science, but one whose original source is revelation, confirm by
religion, affirmed by intellectual and intuitive principles.”[19] Dengan demikian
worldview Islam dicirikan oleh keaslian dan finalitas yang menunjuk pada
sesuatu yang tertinggi. Selain itu, worldview Islam juga memproyeksikan
pandangan tentang realitas dan kebenaran yang mencakup keberadaan dan kehidupan
secara keseluruhan yang unsur-unsur fundamentalnya ditetapkan secara permanen.[20]
[1] Abu A’lal
al-Maududi, The Process of Islamic Revolution (Lahore: Islamic
publications, 1977). 14
[2] Shaykh Atif al-Zayn, al-Islām
wa Idiulūjiyyāt al-Insān (Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnan,
1989). 13
[3] Hal ini sejalan
dengan QS. Ar-Rum: 21, “Demikianlah Kami uraikan
beberapa tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya”
[4] Hamid Fahmy Zarkasyi,
“Worldview Islam dan Kapitalisme Barat”, Tsaqafah, vol. 9, no. 1
(2013).
[5] Sayyid Qutb, Khaṣāiṣ
al-Taṣawwur al-Islāmī (Beirut: Dar al-Syaruq, 1983). 40-182
[6] Di antara dalil yang
dikemukakan oleh Sayyid Quthb adalah Q.S. al-An’am: 161, “Katakanlah:
"Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus,
(yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah
termasuk orang-orang musyrik" dan Q.S. al-Hijr: 9, “Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya”
[7] Qutb, Khaṣāiṣ
al-Taṣawwur al-Islāmī. 43
[8] Ibid. 43
[9] Ibid. 74
[10] Syed Naquib
Al-Attas, Prolegomena to the metaphysics of Islam (Kuala
Lumpur: ISTAC, 2001). 2
[11] Kata Pengantar Dr. Hamid
Fahmy Zarkasyi dalam Framework Studi Islam, Harda Armayanto (ed.),
(Ponorogo: Fakultas Ushuluddin UNIDA Gontor dan UNIDA Gontor Press,
2018). xvii
[12] Abdul Aziz
Berghout, Introduction to the Islamic Worldview (Gombak: IIUM
Press, 2020). 3-6
[13] Ibid. 8
[14] Al-Attas, Prolegomena
to the metaphysics of Islam.1-2
[15] “the ultimate root of
any worldview is life itself”
[16] Dalam Sire, Naming
the Elephant: Worldview as a Concept.28
[17] Ibid. 30
[18] Ibid. 30
[19] Al-Attas, Prolegomena
to the metaphysics of Islam. 4
[20] “as such the
worldview of Islam is characterized by an authenticity and a finality that points
to what is ultimate, and it projects a view of reality and truth that
encompasses existence and life altogether in total perspective whose
fundamental elements are permanently established” Ibid. 4-5
https://www.rukyatulislam.com/2020/04/definisi-worldview-islam.html
Social Plugin