Pertama, Wilhelm Dilthey. Worldview
dalam pandangannya dapat dicermati dalam beberapa hal. Pertama, Worldview
merupakan sesuatu yang inheren dalam jiwa manusia (mental). Seseorang akan
menghadapi realitas dan kehidupan sesuai dengan worldview yang diyakininya. Ia
bukan merupakan paksaan dan tidak berlawanan dengan keinginan jiwanya. Kedua, Sumber
dari worldview ini adalah kehidupan,[1] di mana manusia mengalami dan menghadapi
dunianya secara berulang atau dengan penghayatan mendalam, lalu dengan
kesadarannya, terbentuklah seperangkat mental yang dipengaruhi oleh situasi dan
kondisi di mana ia hidup.
Oleh karena itu,
worldview seseorang berbeda-beda tergantung dengan bagaimana ia dipengaruhi
oleh kehidupannya masing-masing. Dalam hal ini Dilthey mengatakan, “pandangan
dunia berkembang dalam kondisi, iklim, ras, kebangsaan yang berbeda, yang
ditentukan oleh sejarah dan melalui organisasi politik, batas waktu dan era
yang terikat waktu.” Ketiga, kategori mental yang terbentuk dari lingkungan
tersebut akan menentukan bagaimana ia menghadapi dunia atau kehidupannya.
Dari tiga hal yang
dikemukakan Dilthey tersebut, dapat dikatakan bahwa worldview adalah
seperangkat mental setiap manusia yang dibentuk oleh hal-hal yang berada di
luar dirinya (lingkungan, budaya dan sebagainya), serta menentukan bagaimana
seseorang memahami dunia sekitarnya.[2]
Kedua, Friedrich Nietzsche. Tidak Jauh
berbeda dengan Dilthey, Nietzche mengatakan bahwa worldview adalah produk dari
sejarah, di mana seseorang membentuk worldviewnya sendiri tergantung pengaruh
waktu, tempat dan budayanya.[3] Nietsche menekankan bahwa worldview
seseorang mesti sesuai dengan kehendak dirinya, tanpa ada keterkaitan dan
paksaan dari Tuhan, sebagai sesuatu yang transenden. Hal ini tidak lepas dari
pemikirannya bahwa Tuhan telah mati, dan digantikan dengan Übermensch (manusia
super), yang membuat dan mengatur nilai sendiri untuk mengatur kehidupannya.
Baginya, gagasan tentang Tuhan tidak memberikan efek terhadap bagaimana manusia
berprilaku.[4]
Namun dalam pandangan
Nietzsche, karena Tuhan tidak lagi memberi pengaruh pada pengaturan kehidupan
manusia, atau aturan Tuhan tidak lagi menjadi cara pandang manusia dalam
menghadapi realitas, maka sejatinya manusia merupakan makhluk yang hampa. Ia
terlahir ke dunia dengan tanpa tujuan, tanpa nilai-nilai, dan tanpa tabi’at
atau fitrah. Manusialah yang menentukan nilai-nilai kebenaran. Oleh karena itu,
manusia tidak memiliki tujuan yang pasti, sebaliknya ia menuju kepada ketiadaan
dan kehampaan.[5] Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
worldview dalam pandangannya adalah sebuah struktur mental yang tidak terikat
dengan otoritas ketuhanan, terbentuk dari pengaruh lingkungan atau situasi dan
kondisi kehidupan yang mengitarinya.
Ketiga, Ludwig Wittgenstein. Worldview menurut
Wittgenstein merupakan pendekatan dan cara pandang terhadap Dunia yang
kebenarannya tidak dapat diverifikasi. Seseorang yang memiliki worldview dalam
pandangan Wittgenstein adalah dia yang menentukan cara pandangnya sendiri,
sesuai dengan kehendak dirinya, walaupun tidak menemukan pembenarannya sama
sekali. Tegasnya, worldview Wittgenstein, sebagaimana disebut oleh Naugle
adalah,“a way of thinking about reality that rejects the notion that one can
have knowledge of objective reality and thus limits knowable reality to the
language on find useful in getting what one wants”.[6] Definisi demikian diyakini Wittgenstein karena ia memahami bahwa
sesuatu yang penting adalah tercapainya keinginan seseorang. Hal itu dilakukan
dengan memahami sesuatu sesuai dirinya.
Untuk memahami sedikit
lebih jauh apa yang didefinisikannya mengenai worldview, perlu mengetahui
pandangannya terhadap realitas dan kebenaran. Mengenai realitas, ia mengatakan
bahwa realitas sesungguhnya terdapat di dalam Bahasa. Tidak mungkin terdapat
kebenaran di luar bahasa. Selain itu, setiap orang berhak menafsirkan bahasa
sesuai dengan kehendaknya. Dalam hal ini, Wittgenstein memiliki pandangan yang
ekstrem terkait dengan ontologi. Selain itu, ia juga menolak untuk membicarakan
epistemologi. Sebab, apa yang penting bagi setiap orang, menurutnya, adalah
bukan tentang mengakui adanya ontologi dan epistemologi, namun tentang
bagaimana cara seseorang memahami dan menggunakan kebenaran yang terdapat dalam
bahasa.
Dengan demikian, dapat
dikatan bahwa worldview menurutnya adalah cara berpikir tentang realitas yang
menolak gagasan bahwa seseorang dapat memiliki pengetahuan tentang realitas
objektif apapun, dan membatasi realitas yang dapat diketahui ke dalam bahasa
yang berguna untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Dalam ungkapan lain,
Worldview menurut Wittgenstein dimulai dari bahasa, digunakan atau ditafsirkan
sesuai dengan kehendaknya, dan tujuannya adalah mencapai sesuatu yang
diinginkan tanpa mendasarkannya pada kebenaran mutlak.
Keempat, Michel Foucault. Dalam
pandangan Foucault, worldview hanya terbatas pada konstruksi linguistik yang
dibuat oleh para penguasa elit. Dalam pandangannya, tidak ada worldview
seseorang yang benar-benar objektif, melainkan semuanya semu, karena cara
pandang manusia ditentukan oleh kekuasaan pemerintah melalui konstruk bahasa.
Naugle, menyarikan definisi worldview Foucault, bahwa, “worldview are merely
the linguistic contructions of a power.” Dalam ungkapa lain, “worldview
are nothing but pseudo interpretations of an ultimate reality all dressed up in
a linguistic power suit.”[7] Foucault menganggap tidak ada worldview yang benar-benar objektif.
Hal itu karena Foucault
meyakini bahwa kebenaran merupakan rezim, dalam arti dibentuk oleh kekuatan
yang menguasai orang-orang banyak. Manusia dalam pandangannya, pasti
terperangkap pada struktur bahasa atau wacana yang mendominasinya. Hal itulah
yang dalam pandangannya akan membentuk cara pandang seseorang. Nagule kembali
menjelaskan, bahwa “Foucault has no time for truth about objective reality.
There are only discourse, and each of them is a play to power.”[8] Sebuah wacana atau bahasa yang dikeluarkan
rezim tersebut tidak mengenal realitas objektif, melainkan adalah untuk
menguasai pikiran manusia. Worldview dalam pandangannya, dengan demikian,
merupakan alat yang digunakan rezim untuk menguasai wacana, pemikiran, dan cara
pandang manusia.
Dari pernyataan empat
tokoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa worldview Barat adalah struktur mental
yang bersumber dari penalaran spekulatif terhadap aspek sosio-historis. Sumber
worldview Barat tersebut mencirikan pemikiran sekulernya, yaitu tidak
mengaitkan pandangan hidup mereka dengan kepercayaan agama atau ketuhanan.
Dalam hal ini, Al-Attas menyatakan bahwa peradaban barat hanya bersandar kepada
rasio dan pengalaman empiris. Kedua dasar tersebut pada akhirnya membentuk
manusia sekuler.[9]
Selain itu, Dari
penjelasan keempat tokoh Barat di atas pula, dapat diketahui bahwa elemen
wordview Barat Sekuler adalah kekuatan rasio atau spekulasi filosofis. Hal ini
karena menurut mereka, worldview dihasilkan oleh manusia dari faktor-faktor
sosio-historis. Dilthey menyebutnya sebagai pengaruh dari kehidupan,[10] Nietzsche membahasakannya sebagai product
of its time, place and culture,[11] dan Foucault menyebutnya slice of history.[12] Sementara Wittgenstein, sangat subjektif, karena worldview
menurutnya dibentuk dari penalaran yang spekulatif, yaitu dengan menafsirkan
bahasa sesuai kehendak dirinya.[13]
[1] “the
ultimate root of any worldview is life itself”
[2] Sebagaimana
disimpulkan oleh James Sire, worldview dalam pandangan Dilthey adalah “a
set of mental categories arising from deeply lived experience which essentially
determines how a person understands, feels and responds in action to what he or
she perceives of the surrounding world and the riddles it presents”. James
W. Sire, Naming the Elephant: Worldview as a Concept, ISBN 978-0
edition (IVP Academic, 2015).
[3] Sebagaimana
dikatakan Naugle, bahwa worldview menurut Nietzsche adalah, “a product of
its time, place, and culture.” Dalam Ibid.28
[4] Ibid. 27-28
[5] Ibid. 28
[6] Ibid. 30
[7] Naugle, Worldview dalam Ibid. 31
[8] Naugle,
dalam ibid. 31
[9] Syed
Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme (Kuala Lumpur: ISTAC,
2003). 19
[10] seperti;
“kondisi, iklim, ras, kebangsaan, ditentukan oleh sejarah dan melalui
organisasi politik, batas waktu dan era yang terikat waktu” Sire, Naming
the Elephant: Worldview as a Concept. 26
[11] Dalam Naugle, Worldview:
The History Of A Concept. 100
[12] Sire, Naming
the Elephant: Worldview as a Concept. 30
[13] Ibid. 29
https://www.rukyatulislam.com/2020/04/definisi-worldview-barat-sekular.html
Social Plugin