Bagian Kedua
BEJANA ZAITUN
PERBINCANGAN ANTARA PEDAGANG ‘HASAN’ DAN ISTRINYA
Pada suatu malam, pedagang yang dititipi bejana zaitun oleh ‘Ali Kucya itu makan bersama istrinya. Tiba-tiba istrinya berkata, “Aku ingin zaitun, sementara zaitun sejak lama sudah habis di rumah kita.” Suaminya (pedagang ‘Hasan’) berkata kepadanya, “Ucapanmu itu telah mengingatkanku kepada sahabatku “Ali Kucya” yang menitipkan bejana berisi zaitun sebelum pergi ke Makkah.”
“Hingga saat ini
ia telah menempuh perjalanan selama tujuh tahun dan tidak pernah kembali. Aku
tidak tahu mengapa ia telah lama menghilang dan tidak kembali ke negeri ini.
Salah seorang pedagang yang melaksanakan haji bersamanya telah memberi kabar
kepadaku bahwa ia pergi ke Mesir. Namun ia menghilang dan belum kembali hingga
saat ini. Apa yang terjadi padanya, aku heran. Aku yakin ia sudah meninggal.”
“Oleh karena itu
akan aku datangkan bejana zaitun yang dititipkan padaku itu untukmu, agar kita
bisa memakan buahnya yang masih bagus yang ada di dalamnya.”
Kemudian pedagang
itu meminta istrinya untuk mengambil lampu, dan piring untuk diisi dengan buah
zaitun dari bejana ‘Ali Kucya yang diletakan di gudangnya. Istrinya berkata
kepadanya, “Adapun buah zaitun ‘Ali Kucya, aku tidak ingin memakannya sedikit
pun. Aku peringatkan engkau untuk tidak menyentuh buah zaitun yang diamanahkan
kepadamu itu. Jika engkau mengambilnya walau sedikit maka berarti engkau telah
berkhianat dan aku tidak akan meridhaimu selamanya.”
Istrinya
melanjutkan perkataannya: “Jika ‘Ali Kucya telah menghilang selama tujuh tahun
dari negaranya, maka tidak berarti ia telah meninggal. Orang-orang yang
melaksanakan haji telah mengabarkan padamu bawa ‘Ali Kucya pergi ke Mesir, tapi
tidak ada yang mengabarkan kepadamu apa yang ia lakukan di Mesir. Engkau tidak
tahu barangkali ia pergi ke negara lain untuk berniaga di sana. Sebenarnya
engkau tidak tahu apa-apa tentang itu dan tidak mendengar dari siapa pun
mengenai kabar kematiannya, maka jangan menyentuh amanah yang ia percayakan
kepadamu. Engkau wajib menjaga amanah ini hingga ia kembali, engkau tidak tahu
barangkali ia kembali esok atau lusa?”
“Apa yang akan
engkau katakan padanya jika engkau melalaikan amanah yang dipercayakan
kepadamu? Apa yang akan engkau katakan pada orang-orang jika mereka tahu engkau
telah berkhianat terhadap sahabatmu? Dan celaan apa yang akan datang padamu dan
pada keluargamu? Jika engkau melalaikan amanahmu maka Allah akan murka padamu,
engkau memperlihatkan aibmu pada orang-orang dan nama baikmu akan rusak,
janganlah engkau sekali-kali berani melakukan perbuatan yang dibenci ini.”
Istrinya tidak henti berkata
kepada suaminya, Hasan: “Aku katakan padamu bahwa aku tidak akan memakan buah
zaitun milik ‘Ali Kucya tatkala engkau memberikannya padaku. Engkau tidak usah
merepotkan dirimu sendiri untuk mengambil buah itu padaku. Di samping itu, buah
zaitun tersebut pasti sudah tidak bagus untuk dimakan setelah didiamkan dalam
waktu yang sangat lama. Sebelumnya aku benar-benar tertarik dengan perkataan
orang yang memuji-muji buah zaitun, namun sekarang aku tidak tertarik.
Ketahuilah wahai suamiku, buah zaitun itu pasti sudah jelek. Aku bersumpah
untuk menjauhi dirimu karena pikiran jelekmu itu, dan aku peringatkan bahwa
engkau akan menerima akibat yang buruk atas perbuatanmu.”
DI GUDANG PEDAGANG HASAN
Pedagang
‘Hasan’ itu tidak menerima nasihat istrinya. Ia bersikeras untuk tetap pergi ke
gudangnya dan membuka bejana zaitun itu.
Sesampainya di
gudang, ia membuka tutup bejana tersebut, dan buah zaitun langsung terlihat. Ia
melihat buah tersebut sudah tidak layak untuk dimakan karena sudah basi. Buah
tersebut sudah diletakan dalam bejana dalam waktu yang sangat lama.
Pedagang ‘Hasan’
kemudian ingin tahu lagi, apakah buahnya sudah membusuk semuanya ataukah
tersisa sebagian yang masih bisa dimakan. Kemudian ia berkata pada dirinya
sendiri, “Aku penasaran, apakah yang di dalamnya juga busuk seperti yang di
atasnya?!” Kemudian ia memiringkan bejana tersebut untuk memastikannya. Maka
buah zaitun berjatuhan menempati baskom yang ia bawa. Bersamaan dengan itu,
jatuhlah beberapa dinar, dan suara dentinganpun keluar karena dinar-dinar
berjatuhan mengenai wadah yang ia bawa tersebut.
Ia sangat kaget
tatkala melihat dinar dan mendengar dentingan suaranya yang berjatuhan. Ia
memperhatikan ke dalam bejana, ia melihat masih banyak dinar yang disimpan oleh
‘Ali Kucya di dalamnya. Dari sana ia tahu bahwa sahabatnya ‘Ali Kucya telah
menempatkan dinar yang banyak lalu ditutupi di atasnya dengan sedikit buah
zaitun.
‘Hasan’
kemudian mengembalikan dinar-dinar dan buah zaitun tersebut ke dalam bejana dan
menutupnya kembali. Ia pulang ke rumahnya dan berkata pada istrinya, “Engkau
benar wahai istriku, buah zaitun itu telah busuk. Aku menempatkan kembali
bejana itu seperti sebelumnya, sehingga ketika ‘Ali Kucya kembali (walau aku
tidak mengiranya ia akan kembali) ia tidak akan mengetahui bahwa aku telah
membuka bejananya atau aku telah melihat apa yang ada di dalamnya.”
Istrinya berkata
kepadanya, “Andai saja engkau membenarkan ucapanku, dan andai saja engkau tidak
membuka bejana itu. Engkau telah berdosa atas perbuatanmu. Aku berdo’a kepada
Allah agar mengampuni kesalahanmu yang engkau perbuat dengan semena-mena.”
PENGKHIANATAN PEDAGANG
Hasan
tidak mempedulikan ucapan istrinya. Perhatiannya telah dilarutkan dengan
dinar-dinar yang ia dapati dalam bejana ‘Ali Kucya. Ia berencana untuk
mengambil uang tersebut. Kesenangan yang ia rasakan telah melupakan kejinya
dosa dari perbuatan tersebut.
Hasan berbaring
tidur sambil memikirkan sepanjang malam bagaimana cara yang akan ia tempuh
untuk bisa mendapatkan dinar-dinar itu tanpa ada fitnah dari ‘Ali Kucya ketika
ia datang.
Ketika waktu
shubuh telah datang, segera hasan keluar dari rumahnya menuju pasar, ia membeli
buah zaitun untuk mengganti isi bejana ‘Ali Kucya. Kemudian ia kembali ke
gudangnya, lalu membuka bejananya dan mengambil dinar yang ada di dalamnya
serta menyimpannya di tempat yang aman. Ia mengambil buah zaitun yang telah ia
beli dari pasar, lalu ia penuhi bejana tersebut dengan buah zaitun itu.
Tatkala
ia selesai memenuhi bejana dengan buah zaitun yang ia beli, ia tutup kembali
bejana tersebut. Kemudian ia menempatkan kembali bejana itu di tempat di mana
‘Ali Kucya menyimpan sebelumnya.
Pedagang itu tidak
memikirkan akibat pengkhianatannya yang keji ini. Ia tidak takut akan murka
Allah serta kebencian dan celaan dari orang-orang di antara mereka.
KEMBALINYA ‘ALI KUCYA
Kejahatan
pedagang (hasan) itu berlalu hingga satu bulan. Setelah itu, ‘Ali Kucya kembali
ke Baghdad dari safarnya yang sangat lama. Sebagaimana yang telah diceritakan,
bahwa sebelum ‘Ali Kucya pergi ke Makkah, ia membiarkan rumahnya ditinggali
(disewakan kepada) orang lain. Maka ketika ia kembali, ia tidak dapat tinggal
di rumahnya.
Kemudian
ia tinggal di penginapan hingga ia menemui orang yang menyewa rumahnya tersebut
supaya dikosongkan.
Pada
hari berikutnya, ‘Ali Kucya pergi menemui sahabatnya (Hasan). Ketika hasan itu
melihat kedatangan ‘Ali Kucya, ia merasa senang. Ia segera memeluknya,
memberikan ucapan selamat atas kedatangannya dari safar yang sangat lama, yang
hingga membuat hasan khawatir akan terjadi hal-hal yang buruk padanya.
Hasan berkata
kepada ‘Ali Kucya, ”Aku sudah putus asa karena kepergianmu yang sangat lama.
Namun sekarang alhamdulillah engkau kembali dengan selamat.”
PERCAKAPAN ‘ALI KUCYA DAN PEDAGANG ‘HASAN’
Ketika
‘Ali Kucya menemui saudaranya itu, ia berterima kasih karena telah menyambutnya
dengan baik. Kemudian ia berkata kepada sahabatnya, “Barangkali engkau ingat
tentang bejana zaitun yang aku titipkan padamu sebelum perjalananku?”.
Sahabatnya tersenyum kemudian menjawab, “Ya, aku ingat betul.” ‘Ali Kucya
berkata kepadanya, “Aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu ini sepanjang
hidupku, dan semoga aku tidak menyusahkanmu dengan titipanku selama itu.”
Pedagang itu
berkata kepada ‘Ali Kucya, “Tidak, engkau tidak sedikit pun menyusahkanku,
engkau akan mendapati bejana itu di tempat yang semula engkau simpan dengan
tanganmu sendiri tanpa ada seorang pun yang menyentuhnya. Inilah kuncinya wahai
sahabatku. Ambilah olehmu sendiri sebagaimana engkau sendiri yang meletakannya.” Maka ‘Ali Kucya
berterima kasih kepadanya yang kedua kali.
‘Ali Kucya
berpamitan kepada Hasan dan mengambil bejananya ke penginapan.
‘ALI KUCYA DAN BEJANA ZAITUN
Ketika
ia masuk ke penginapan, ia membuka bejana dan mengeluarkan sebagian buah zaitun
dari bejananya. Ia melihat ke dalamnya dan ternyata sudah tidak ada
dinarnya. ‘Ali Kucya lalu mengeluarkan lagi buah zaitun dari
bejana itu dan tetap tidak menemukan apa pun kecuali hanya buah zaitun. Ia
tercengang dan tidak bisa menahan emosinya, ia membalikkan bejananya. Maka
tumpah dan berceceran seluruh buah zaitun yang ada di dalam bejana itu, namun
ia tidak menemukan dinarnya satu pun.
Atas kejadian itu
ia sangat bersedih dan kaget dengan pengkhianatan sahabatnya. Ia kemudian
berkata pada dirinya sendiri, “Aku telah ditipu oleh laki-laki itu, padahal aku
menganggapnya seorang yang amanah, namun kenyataannya ia seorang pencuri, ia
seorang pengkhianat yang benar-benar tidak bertanggung jawab terhadap
amanahnya.”
KEMBALINYA ‘ALI KUCYA KEPADA ‘HASAN’
‘Ali
Kucya bergegas ke rumah sahabatnya, hasan si pedagang itu. Ia merasa sangat
disakiti karena tindakan sahabatnya. Hatinya benar-benar terpenuhi dengan rasa
takut atas dinar-dinar yang telah ia simpan.
‘Ali
Kucya berkata kepada Hasan, “Jangan heran karena aku segera kembali padamu, aku
telah melihat sesuatu yang tak kuharapkan.”
“Bejana Zaitun yang kuambil kemarin, atau yang
dulu kusimpan di gudangmu, memang tidak berubah. Namun, aku tidak memenuhi
semua isinya dengan buah zaitun. Aku penuhi bejana itu dengan seribu dinar
emas, kemudian setelah itu aku penuhi di atasnya dengan buah zaitun. Ketika aku
mengambil dan membuka bejana itu, dinarnya sudah tidak ada! Lalu aku berkata
pada diriku sendiri, ‘Barangkali sahabatku telah memerlukannya pada suatu hari,
lalu ia mengambilnya dari bejana. Bagiku tidak masalah, bahkan aku sangat senang jika bisa menolong
sahabatku”.
“Mengenai dinar-dinarku yang hilang itu,
sekarang engkau beritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi, hingga aku merasa
tenang dan tidak resah lagi. Kedatanganku bukan untuk mengambilnya sekarang,
aku akan mengambilnya darimu kapan pun kau sanggup.”
HASAN MENGELAK DARI KESALAHANNYA
Hasan
sudah benar-benar mengetahui bahwa sahabatnya akan kembali setelah ia membuka
bejana dan tidak menemukan dinarnya. Hasan pun duduk memikirkan cara agar ‘Ali
Kucya merelakan dinar tersebut dan membebaskannya dari hukuman pencurian atau
pengkhianatan. Hasan mengira bahwa tipu daya kepada temannya akan berhasil,
sebagaimana ‘Ali Kucya menganggap ia seorang yang dapat dipercaya.
Hasan kemudian
memalingkan pembicaraan sahabatnya, ia berkata, “Tidakkah aku telah
berikan kunci gudangku wahai sahabatku, untuk kau simpan bejana itu dengan
tanganmu sendiri di tempat yang kau inginkan. Kemudian aku bertanya kepadamu,
di mana engkau dapati bejana itu setelah kau kembali dari perjalananmu?
Tidakkah engkau mendapatinya di tempat semula sebagaimana engkau simpan?, tanpa
ada seorang pun yang menyentuhnya? Beritahu aku wahai sahabatku, apakah bejana
itu berpindah dari tempat asalnya? Apakah tutupnya berbeda? Apalagi yang engkau
mau adukan?”
“Kalaulah engkau
menyimpan sesuatu di dalamnya pasti engkau akan menemukannya. Engkau
memberitahuku sewaktu hendak safar bahwa isinya adalah buah zaitun. Maka aku
membenarkannya dan tidak membukanya karena aku sudah tahu apa yang ada di dalamnya.
Tanganku tidak menyentuh bejana itu sejak engkau menyimpannya di gudangku.
Percayalah padaku wahai sahabatku, sebenarnya aku tidak tahu apa yang ada di
dalam bejanamu, karena itu aku tidak berpikir untuk membukanya baik sebelum kau
pergi atau sesudah kau pergi.”
Social Plugin