Oleh: Cep Gilang Fikri Ash-shufi

Penokohan Kartini dimulai sejak tanggal 2 Mei 1964 sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional—yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Nasional untuk diperingati setiap tahun. Penokohan tersebut, sebagaimana dinyatakan oleh Dr. Tiar Anwar Bachtiar,[1] didasarkan pada usulan Partai Komunis kepada Soekarno melalui buku Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Panggil Aku Kartini Saja. Atas dasar buku tersebut, Soekarno menyetujui pemahlawanan Kartini dengan mengeluarkan keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 tahun 1964.

Selain itu, penokohan Kartini pun tidak lepas dari pengaruh kolonial Belanda. Belanda menaruh kepentingan dalam tulisan-tulisan Kartini, terlebih pada tulisan-tulisan sewaktu remajanya. Peran Belanda tersebut diwakili oleh J. H. Abendanon, seorang utusan Belanda yang ditugaskan untuk melaksanakan politik etis. Ia mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A. Kartini kepada teman-temannya di Eropa. Buku itu kemudian diberi judul Door Duisternis tot Licht yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada tahun 1911, setelah 7 tahun wafatnya Kartini.

Pembukuan kumpulan surat Kartini tersebut dilakukan seiring dengan kepentingan politis Abendanon yakni dengan tugasnya dalam melaksanakan politik etis. J.H. Abendanon memilih R.A. Kartini untuk dijadikan figur dari kalangan wanita dalam menonjolkan pentingnya politik etis di Bumiputera.[2] Sebuah ungkapan yang mungkin mencerminkan kepentingan politik etis adalah “ada racun dibalik madu” (pen.), mengingat politik etis itulah yang kemudian menanamkan nilai-nilai Barat dalam pendidikan masyarakat Indonesia. Selain itu, Abendanon sendiri adalah penganut aliran ateis (baca: liberal) di Belanda.[3] Sangat wajar kalau ia kemudian mempromosikan ide-ide liberal seperti yang tercermin dalam surat-surat Kartini. Secara tidak langsung, Abendanon ingin mengajarkan feminisme-liberal kepada masyarakat Indonesia, namun meminjam tangan anak bangsa Indonesia sendiri, yaitu Kartini. 

Pemikiran feminis Kartini salah satunya dapat dilihat dari pemaparan Sulastin Sutrisno, seorang perempuan yang menerjemahkan surat-surat Kartini. Ia menjelaskan, “Kartini bercita-cita memberi bekal pendidikan kepada anak-anak perempuan, terutama budi pekerti, agar mereka menjadi ibu yang berbudi luhur, yang dapat berdiri sendiri mencari nafkah sehingga mereka tidak perlu kawin kalau mereka tidak mau.”[4] Pemikiran Kartini tersebut masih mengandung unsur-unsur feminis-sosialis, yaitu wanita perlu lepas dari keluarganya agar bisa menjadi individu yang mandiri.

Namun, Kartini yang sudah dewasa, adalah seorang pejuang kemerdekaan wanita yang memedulikan pendidikan sebagai kunci utamanya. Kemerdekaan wanita yang diusung oleh Kartini—pada fase yang sudah memiliki pemikiran matang—tidak  lagi memandang wanita sebagai makhluk otonom yang terpisah dari lingkungannya, melainkan sebagai pribadi yang peduli dengan kemajuan bangsa. Ia menulis:

“Kecerdasaran pikiran penduduk Bumiputera tiada akan maju dengan pesatnya, bila perempuan ketinggalan dalam usaha itu, (yaitu) perempuan jadi pembawa peradaban. Saya sendiri yakin sungguh bahwa dari perempuan itu mungkin timbul pengaruh besar, dalam hal membaikkan maupun memburukkan kehidupan, bahwa dialah yang paling banyak membantu memajukan kesusilaan manusia. Dan betapakah ibu Bumiputera itu sanggup mendidik anaknya, bila mereka itu tiada berpendidikan? ”[5]
Pemikiran feminis yang terdapat dalam kumpulan surat Kartini tersebut sesungguhnya merupakan idenya sewaktu remaja. Mengenai hal ini, Ratna Megawangi, seorang peneliti Gender, dalam bukunya ia mengatakan, “Kartini sebagai seorang remaja adalah sosok yang resah. Berangkat dari sikap berontaknya terhadap adat bangsawan Jawa saat itu yang memingit anak gadis, dan kebiasaan kaum pria bangsawan yang berpoligami, ia kemudian berpendapat bahwa untuk menjadi wanita merdeka mungkin tidak perlu menikah.”[6]

Selain itu, Kartini juga tidak sepakat dengan adanya poligami. Menurutnya, poligami merupakan salah satu bentuk kesewenang-wenangan pria terhadap wanita. Kartini melihat dan merasakan betapa besar penderitaan dan pengorbanan kehidupan wanita yang dimadu oleh suaminya. [7] Namun, gejolak keresahan jiwa Kartini menjadi berkurang sejalan dengan usianya yang lebih dewasa, dan ini tampak dalam perubahan gaya tulisannya, terutama ketika ia mendekati ajal. Setelah melalui proses berpikir yang cukup panjang, Kartini tampak telah menemukan siapa dirinya apalagi ketika sudah menikah dengan seorang pria yang ternyata sangat mendukung cita-citanya.[8]

Perubahan pikirannya tersebut dapat dilihat sewaktu ia memutuskan untuk menikah. Kartini menulis dalam suratnya:
“Akan lebih banyak lagi yang dapat saya kerjakan untuk bangsa ini, bila saya ada di samping seorang laki-laki yang cakap, mulia, yang saya hormati. …Lebih banyak, kata saya, daripada yang dapat saya usahakan sebagai perempuan yang berdiri sendiri”[9]
Dalam tulisannya tersebut, tampak jelas perubahan pemikiran Kartini dari yang sebelumnya menganjurkan untuk tidak menikah agar bisa mandiri dan tidak diperbudak oleh laki-laki, menjadi berbalik menganjurkan untuk menikah. Hal inilah yang luput dari perhatian kaum feminis. Kaum feminis hanya bernaung di bawah pemikiran Kartini remaja yang masih labil dan belum memiliki pemikiran yang matang. Usaha itu dilakukan tidak lain adalah untuk memperkuat kepentingan politis mereka. Selain itu, tulisan-tulisan Kartini tersebut diterbitkan 7 tahun setelah ia wafat. Oleh karena itu, sesungguhnya Kartini tidak bertanggung jawab atas penerbitan tulisan-tulisannya tersebut. Sebagai seorang wanita yang sudah matang, ia pasti akan menyaring dan memilah-milah tulisan-tulisannya, terutama pemikiran-pemikiran labil masa remajanya. Jika Kartini masih hidup, mungkin Kartini akan menyalahkan penerbitan surat-suratnya tersebut menjadi sebuah buku. Dengan demikian, pemikiran feminis yang menganjurkan untuk mandiri dari laki-laki dan tidak menikah, tidak sah lagi dinisbatkan kepada Kartini dan tidak bisa dijadikan acuan bagi siapa pun untuk memperkuat pemikiran feminis, mengingat Kartini telah berubah pada masa dewasanya.  

Dari paparan di atas, dapat kita pahami bahwa penokohan Kartini dengan mengambil pemikiran-pemikiran remajanya bertujuan untuk melancarkan ide-ide feminis di Indonesia. Mula-mula hal ini dilakukan dengan politik etis, kemudian mengambil tokoh Kartini sebagai pahlawan nasional dari kalangan wanita dalam menunjukkan pentingnya politik etis tersebut. Dengan begitu, politik etis telah menjadi jalan masuknya ide-ide Belanda (Barat) ke dalam masyarakat Indonesia. Penokohan Kartini juga untuk memperkuat ajaran Belanda (Barat) serta membuat alur sejarah Indonesia yang sesuai dengan pemikiran Belanda, yaitu frame pemikiran feminis-liberal. Maka tidak aneh jika banyak pendukung feminis yang menggunakan ide-ide Kartini untuk menguatkan argumen-argumen mereka. Padahal, masih banyak tokoh nasional dari kalangan wanita yang patut dicontoh, di antaranya Malahayati, seorang panglima perang perempuan dari Aceh, dan Cut Nyak Dhien, seorang pahlawan yang sangat taat syariat Islam. Dengan demikian, meminjam perkataan Dr. Tiar Anwar Bachtiar, “(penokohan Kartini ini) sama saja dengan membunuh sejarah kita sendiri, kita tidak akan mempunyai masa depan yang gemilang karena telah memilih tokoh sejarah yang tidak tepat.”


Terimakasih telah mengunjungi https://rukyatulislam.blogspot.com/







[2] Politik etis adalah kebijakan pemerintahan Hindia-Belanda yang merupakan politik “balas budi” terhadap rakyat Indonesia. Dengan politik etis, pemerintahan belanda berkeinginan tidak hanya mengambil keuntungan dari negara jajahan seperti sebelumnya, kebijakannya dikenal sebagai drainage-politiek (politik eksploitasi), melainkan juga harus turut memberikan kesejahteraan bagi rakyat di negeri jajahan tersebut (Poesponegoro dan Nugroho Notusosanto, 1990: 33-34). Kebijakan ini diumumkan oleh ratu Wilhelmina pada bulan Januari 1901. Ia mengatakan pemerintah Belanda mengakui bahwa pada masa lalu banyak perusahaan dan orang-orang Belanda yang telah memperoleh keuntungan melimpah-limpah dari Hindia Belanda, sementara penduduk tanah jajahan itu sendiri menjadi semakin miskin. Tujuan utama pemerintah jajahan di masa mendatang ialah memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Upaya ke arah sana, mau tidak mau mengharuskan pemerintah Belanda membuka kesempatan lebih luas kepada masyarakat pribumi untuk mendapatkan akses pendidikan model Belanda (baca: Barat) yang lebih luas. Perlahan-lahan pemerintah Hindia belanda  memperluas kesempatan bagi anak-anak Indonesia dari golongan atas untuk mengikuti sekolah-sekolah berbahasa Belanda tingkat dasar dan menengah. Sampai akhir perang dunia I, kebijakan baru dalam bidang pendidikan ini menghasilkan lulusan yang jumlanya terus meningkat. Namun, karena fasilitas pendidikan tinggi di Indonesia masih sangat sedikit dan tidak satu pun menyediakan status profesional secara penuh, para lulusan terbaik harus melanjutkan pelajaran mereka ke negeri Belanda. (Ingleson, 1988: 1) dalam Tiar Anwar Bachtiar, Tesis: Sikap Intelektual Persatuan Islam terhadap Kebijakan Politik Orde Baru. (FIB UI, 2018) hlm. 15
[3] Tiar Anwar Bachtiar, Jas Mewah: Jangan Sekali-Kali Melupakan Sejarah dan Dakwah (Yogyakarta: Pro-U Media, 2018) hlm. 195-196
[4] Sulastin Sutrisno, Surat-Surat Kartini, (Djambatan, 1985) hlm. 17
[5] Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, terjemahan Armijn Pane, 1990, hlm. 80 dan 85
[6] Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?: Sudut Pandang Baru Relasi Gender (Bandung: Mizan, 1999) hlm. 216
[7] Sudrajat, Kartini: Perjuangan dan Pemikirannya
[8] Ratna Megawangi, ibid
[9] Kartini, “Habis Gelap Terbitlah Terang”, terjemahan Armijn Pane, 1990, hlm. 80 dan 85