Oleh : Cep Gilang Fikri Ash-Shufi
Pengertian Al-Islām
Islam secara etimologi bermakna menundukkan wajah (islāmul wajhi), berserah diri (al-Istislām), suci bersih (as-salāmah), selamat sejahtera (as-salām), dan perdamaian (as-silm). Islam dalam terminology syari’ah adalah agama dengan Iman, Islam dan Ihsan.[1] Rukun ‘Iman yang enam’ menjadi sistem keyakinan yang mengikat seluruh kehidupan manusia, baik hubungan sesama manusia atau hubungan setiap manusia dengan Tuhannya. Keimanan seseorang akan bisa dilihat dalam berbagai kehidupannya, seperti ketika seseorang mengaku bahwa dirinya telah beriman kepada Allah dan hari akhir namun ia adalah seorang yang suka membuat kerusakan di antara manusia, maka sesungguhnya ia tidak beriman. Demikian halnya seseorang tidak dikatakan beriman ketika ia selalu berkata kotor. [2]
Seseorang yang meyakini akan adanya malaikat mestinya ia sadar bahwa setiap apa yang dilakukannya diacatat oleh malaikat, seseorang yang meyakini atas kitab Allah semestinya menerima dan mengamalkan isi dari kitab Allah tersebut, seseorang yang meyakini utusan-Nya memestikan ia menerima dan mengikuti apa yang datang dari utusannya tersebut, seseorang yang meyakini akan adanya hari kiamat memestikan ia mempersiapkan diri untuk menghadapinya dan seorang yang meyakini akan adanya takdir Allah mestinya ia menerima takdir tersebut baik atau buruknya. Di sinilah Islam sebagai sistem faith (kepercayaan) dan sistem kaidah (norma). Dengan demikian, semua rukun iman tersebut memiliki konsekuensi kehidupan, yang jika hal itu tidak terwujud, maka seseorang masih berada dalam tararan islam (pengakuan).
Sistem keyakinan yang mengikat kehidupan manusia tersebut secara khusus mesti diwujudkan dalam amalan khusus/syari’at yang tercantum dalam rukun Islam. Seseorang yang mengaku beriman tidak akan dikatakan beriman jika ia tidak mengerjakan shalat, zakat, shaum dan haji jika ia mampu. Di sinilah dapat dipahami bahwa Islam juga selain mengandung sistem kepercayaan dan norma, juga mengandung sitem ritual.
Iman dan Islam merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Jika seseorang melakukan salah satu sistem ritual misalnya shalat, maka secara norma ia mesti tercegah dari perbuatan keji dan munkar. Sebaliknya, jika ia melaksanakan shalat namun tetap melakukan perbuatan keji dan munkar, maka itulah tanda ia tidak benar dalam melaksanakan shalatnya. Sama halnya ketika seseorang melaksanakan shaum, namun ia tetap melakukan kemaksiatan-kemasiatan seperti korupsi, membunuh dan lain sebagainya, hal ini menunjukkan bahwa ada yang tidak benar dalam shaumnya, shaumnya tidak mengatarkan ia kepada ketakwaan, demikian juga dalam peribadatan yang lainnya.
Sementara ihsan, inti dari makna kata tersebut adalah membaguskan amal. Batasan minimal seseorang dapat dikatakan telah melakukan ihsan di dalam beribadah kepada Allah yaitu apabila di dalam memperbagus amalannya disertai dengan keikhlasan. Kadar inilah yang mesti ditunaikan oleh setiap muslim. Adapun ihsan dalam tingkatan selanjutnya terdapat dua tingkatan, yaitu 1) murōqobah; dan 2) musyāhadah.[3]
Tingkatan murāqabah yakni seseorang yang beramal senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah dalam setiap aktivitasnya. Ini berdasarkan sabda Nabi shalallāhu ‘alaihi wa sallam, “fain lam takun tarōhu fainnahū yarāka” (jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu). Pada tingkatan ini seseorang tidak mampu memperhatikan sifat-sifat Allah, namun dia yakin bahwa Allah melihatnya. Tingkatan inilah yang dimiliki oleh kebanyakan orang. Apabila seseorang mengerjakan shalat, dia merasa Allah memperhatikan apa yang dia lakukan, lalu dia memperbagus shalatnya tersebut. Hal ini sebagaimana Allah firmankan dalam surat Yunus, “Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya…” (QS. Yunus: 61)[4]
Sedangkan tingkatan musyāhadah adalah Tingkatan yang lebih tinggi dari yang pertama, yaitu seseorang senantiasa memeperhatikan sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya dengan sifat-sifat tersebut. Inilah realisasi dari sabda Nabi, “an ta’buda ‘l-Lāha ka-annaka tarōhu” (Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya). Perlu ditekankan bahwa yang dimaksudkan di sini bukanlah melihat dzat Allah, namun melihat sifat-sifat-Nya. Memperhatikan sifat-sifat Allah yakni dengan memperhatikan pengaruh sifat-sifat Allah bagi makhluk. Apabila seorang hamba sudah memiliki ilmu dan keyakinan yang kuat terhadap sifat-sifat Allah, dia akan mengembalikan semua tanda kekuasaan Allah pada nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dan inilah tingkatan tertinggi dalam derajat ihsan.[5]
Islam Agama Yang Sempurna
Islam sebagai Agama, Religion dan sekaligus juga Ad-Dīn (seperti dalam firman-Nya; lakum dīnukum wa-liya dīn) telah memunculkan satu pertanyaan mendasar bahwa apakah selain Islam bisa dimaknai Agama (Religion) dan Ad-Dīn?. Untuk mengetahui hal ini mestilah mengetahui terlebih dahulu ke-tiga term tersebut. Pertama, Agama berasal dari Bahasa sanskerta, ‘a’ berarti tidak dan ‘gama’ berarti kacau, istilah ini dipakai untuk menjelaskan hubungan manusia dengan Tuhan-Nya dalam kerangka kepatuhan terhadap aturan untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera, damai, selamat dan tentram. Dengan demikian, prinsip dan misi Agama dalam term ini adalah berusaha mewujudkan kehidupan yang tidak kacau (sistema norma).[6]
Kedua, pada terminologi lain ditemukan kata-kata “Religion” untuk menggambarkan hal yang sama dengan Agama. Dalam An English Reader’s Dictionary disebutkan bahwa; Religion is a system of faith and worship based on such belief (Religion adalah sistem kepercayaan dan oenyembahan yang dibangun berdasarkan keuakinan tertentu). dengan demikian Religion hanya memiliki dua unsur, yaitu 1) Faith (kepercayaan); 2) worship (peribadatan, penyembahan, ritus).[7]
Sementara ke-tiga, ad-Dīn mengandung makna Agama, kepercayaan, tauhid, hari pembalasan, tunduk, dan patuh. Debtor atau creditor (dā-in) memiliki kewajiban (dayn), berkaitan dengan penghakiman (daynūnah) dan pemberian hukuman (idānah), yang mungkin terjadi dalam aktivitas perdagangan (mudun atau madā-in) dalam sebuah kota (madīnah) dengan hakim, penguasa, atau pemerintah (dayyān), dalam proses membangun atau membina kota, membangun peradaban, memurnikan, memanusiakan (maddana), sehingga lahirlah peradaban dan perbaikan dalam budaya sosial (tamaddun).[8] Keseluruhan makna dengan akar kata ‘DYN’ memiliki hubungan secara konseptual, kesatuan makna yang tidak terpisahkan, dan semua ini terkait dengan upaya menghambakan diri (dāna nafsahū) yang bermuara kepada Ad-Dayyan yang merupakan sifat Allah, yang bermakna Yang Maha Kuasa (Al-Qahhar), Hakim (AlQadhi).[9]
Ad-Dīn secara Bahasa memang tidak dikhususkan untuk Islam[10], namun islam menjadi Ad-Dīn yang dikhususkan untuk hamba yang berakal, dan menjadi satu-satunya Agama yang ada di sisi Allah. Hal itu dikarenakan pandangan hidup ad-Dīn yang khusus dan mengkhususkan, sehingga ia khusus di hadapan ad-Dayyan (Tuhan), dan kemudian khusus pada pandangan dā-in (yang berhutang/makhluk). Selain itu, Islam juga merupakan ad-Dīnul kamīl[11], ia memiliki tiga sistem, yakni 1) tata keyakinan (sistema credo); tata peribadatan (sistema ritus); dan tata kaidah (Sistema norma).[12] Pengertian ini menunjukkan bahwa tidak disebut Agama jika hanya mengkhususkan pada tata peribatan saja tanpa tata kaidah, sebagaimana tidak disebut Agama jika berhenti pada tata keyakinan tanpa tata peribadatan.
Adanya pembagian antara Agama samāwī (langit) dan ardlī (bumi) tidak lantas melahirkan pemahaman bahwa ‘Agama-agama’ yang jumlahnya ribuan dengan beragam definisinya dapat disatukan secara esoteris.[13] Hal dikarenakan kristen dan yahudi yang umumnya dimasukan ke dalam Agama samāwī telah melakukan penyimpangan yang membuat mereka lepas dari wahyu itu sendiri (dari kaitan samāwī), maka tersisalah Islam yang masih genuine - dengan konsep-konsep dasarnya dan tidak akan pernah berubah sampai kapanpun - sebagai satu-satunya Agama para nabi (samāwī).[14] Dengan demikian, dari tiga term tersebut (Agama, Religion dan Ad-Dīn), bisa dikatakan bahwa semua agama merupakan ad-Dīn (secara bahasa), terkecuali hanya Islam yang merupakan ad-Dīnu ‘l-Kamīl dan satu-satunya agama di sisi Allah.
[1] H.R. al-Bukhari, Kitab Al-Iman, No. 50.
[2] Hadits riwayat al-Bukhari
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِيَنَّ جَارَهُ، مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ»
[3] Lihat Syarh Arba’in an Nawawiyah penjelasan hadits ke-2, Syaikh sholeh Alu Syaikh
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Drs. Ihsan, M.Pd.I dalam https://rusmanhaji.wordpress.com/2013/05/09/agama-dien-dan-religion/
[7]Ibid
[8] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), hal. 68
[9] Ibnu Manzhur, Lisanu-l’arab (Kairo: Dāru ‘l-Ma’ārif, 1119) hal. 1470
[10] Q.S. Al-Kafirun [109]:6; Q.S. Al-Fath [48]: 28; Q.S. Ali ‘Imran [3]: 19, 85.
[11] Q.S. Al-Maidah [5]: 3.
[12] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama: Pendahuluan, Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1979), hlm. 126-127.
[13] Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi Kristen Islam, (Jakarta: GIP, 2004) hal. 8
[14] (Ibid) hal. 126-129

Social Plugin