Oleh : Cep Gilang Fikri Ash-shufi
Kebebasan
pada dasarnya merupakan keadaan yang diinginkan oleh setiap orang. Manusia yang
tidak bebas, atau berada dalam kekangan tertentu akan merasakan kesempitan dan
kesusahan dalam hidupnya. Sebaliknya manusia yang memiliki kebebasan akan
dengan mudah melaksanakan berbagai kepentingannya. Namun, istilah kebebasan ini
seringkali dimaknai secara problematis, apalagi istilah ini sudah sejak lama
dijadikan alat untuk melancarkan ideologi liberal. Oleh karena itu, telah
banyak yang terjerumus dengan ideologi liberal tersebut. Alih-alih ingin bebas
dari suatu kekangan, justru masuk kepada kekangan ideologi liberal. Dalam
tulisan ini, disajikan ulasan mengenai liberalisme yang kemudian menjadi ideologi
dibalik istilah “kebebasan” bagi para penganutnya. Kemudian dipaparkan mengenai
konsep kebebasan dalam Islam. Dengan dua paparan tersebut, diharapkan pembaca
dapat memiliki sikap kritis dalam menyikapi istilah “kebebasan”, sehingga tidak
memahami kebebasan layaknya dalam paham liberal.
Liberalisme Dan Wajah Peradaban Barat
Term liberalism
berasal dari bahasa latin (liber) yang berarti bebas (freedom/al-Hurr),
liberalism berarti paham yang menganut kebebasan (madzhabu
‘l-Hurriyyah).[1]
Makna kebebasan ini, sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Kamil al-Hajj, secara
mutlak menunjukkan pengukuhan segala sesuatu yang ada kepada sumbernya. Ia lantas
menjelaskan bahwa keinginan yang bebas adalah kemampuan bertindak sesuai dengan
dorongannya sendiri, dan tidak dibatasi oleh hal-hal yang berada di luar dirinya.[2]
Makna bebas ini kemudian menjadi sikap kelas masyarakat terpelajar di Barat
yang membuka pintu kebebasan berfikir (The old Liberalism).[3]
Selanjutnya, liberalisme yang bermakna kebebasan berpikir tersebut berkembang sehingga dimaknai dalam konteks politik dan sosial. Secara politis, liberalisme adalah ideologi politik yang berpusat pada individu, dianggap sebagai memiliki hak dalam pemerintahan, termasuk persamaan hak dihormati, hak berekspresi dan bertindak, serta bebas dari ikatan-ikatan agama dan ideologi.[4] Dalam konteks sosial, liberalisme diartikan sebagai suatu etika sosial yang membela kebebasan (liberty) dan persamaan (equality).[5] Secara umum, menurut Alonzo L. Hamby, PhD., profesor sejarah di Universitas Ohio, liberalisme adalah paham ekonomi dan politik yang menekankan pada kebebasan (freedom), persamaan (equality) dan kesempatan (opportunity).[6]
Paham liberal di Barat, pada awalnya secara khusus hanya dipahami pada ranah ekonomi, politik, dan sosial. Mereka berusaha membatasi negara untuk campur tangan dalam kegiatan ekonomi rakyat, memindahkan kekuasaan sejati dari kepemilikan raja kepada rakyat, dan menekankan peran negara yang lebih besar untuk membela hak-hak individu. Paham ini sudah muncul sejak sebelum abad 17, baru kemudian pada tahun 1789 terjadi Revolusi Perancis yang di dalamnya terdapat kebebasan mutlak dalam pemikiran agama, etika, kepercayaan, berbicara, pers, dan politik (Magna Charta liberalisme). Paham liberal di Barat pada waktu itu mulai memasuki ranah keagamaan.
Kebebasan pemikiran keagamaan ini pada mulanya muncul sebagai liberalisme intektual yang mencoba untuk bebas dari agama dan dari Tuhan, tetapi dari situlah berkembang menjadi theological liberalism (liberalisme pemikiran keagamaan). Kebebasan pemikiran keagamaan ini bisa dilacak seperti pada ungkapan Sartre (1905-1980). Menurutnya, “Even if God existed, it will still necessary to reject him, since the idea of God negates our freedom”.[7] (Walaupun Tuhan itu ada, tetap mesti kita tolak, karena ide Tuhan telah melawan kebebasan kita.” Contoh lain mengenai ideologi liberal ini dikemukakan oleh Alister E. McGrath, ia menyatakan bahwa, “Perkembangan politik, kekuatan akal, sains, demokrasi, dan rekonstruksi ajaran Kristen, kuncinya terletak pada metode sosio-historis. Skeptis dengan beragam tingkatan spekulasi abstraknya, telah menginterpretasi ajaran Kristen sebagai gerakan sosio-historis yang dipercayai dan dievaluasi secara pragmatis.”[8] Alister secara otomatis menggiring ajaran Kristen agar dipahami berdasarkan sosio-historis.
Paham liberalisme ini terus-menerus berkembang hingga akhirnya pada abad ke-20 menjadi tren yang dominan di Barat. Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History, and the last man mengemukakan bahwa:
“….the principle of liberty and equality underlying the modern liberal state had been discovered and implemented in the most advance countries, and that there were no alternative principles or forms of social and political organization that were superior to liberalism. Liberal societies were, in the other words, … would therefore bring the historical dialectic to a close”.[9]
“….prinsip-prinsip kebebasan dan persamaan yang mendasari negara liberal
modern telah diketemukan da diimplementasikan pada negara-negara maju, dan
tidak ada prinsip atau bentuk alternatif organisasi sosial dan politik yang
lebih superior daripada liberalisme. Dengan kata lain masyarakat-masyarakat
liberal akan menjadikan dialektika sejarah berakhir”.
Pertanyaan
Fukuyama tersebut mengindikasikan dua hal. Pertama, paham liberal telah menjadi
sistem yang pakem dalam tatanan sosial, politik, ekonomi bahkan keagamaan di Barat. Kedua, paham liberalisme tersebut diekspor ke negara-negara maju,
bahkan termasuk ke dalam dunia Islam, sebagaimana yang telah kita lihat saat
ini. Dengan demikian, wajah perabadan Barat dapat dikukuhkan sebagai peradaban
yang liberal.
Kebebasan Dalam Islam
Mengenai
kata kebebasan ini, Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, dalam International Conference
on Religious Issues in Indonesia and Malaysia, menjelaskan bahwa kebebasan
dalam Islam tidak mengacu kepada makna freedom yang berarti bebas tanpa
ada batasan, melainkan mengacu kepada istilah ikhtiyār yang berasal dari
kata khayr (baik). [10]
Beliau ingin menegaskan bahwa istilah kebebasan dalam Islam bukan dimaknai
sebagaimana pada umumnya, yaitu sebagaimana yang mengacu kepada freedom dan
liberty.
Perhatikan apa yang ditulis oleh Muhammad Ali dalam sebuah buku berjudul “Merayakan Kebebasan beragama”, ia mengemukakan bahwa:
“Dalam Bahasa Inggris, liberty berasal dari bahasan latin (libertas)
yang berarti bebas dari pembatasan, dari keterikatan. Namun kata freedom
yang berakar free, atau frei (Jerman), vrig
(Perancis), berasal dari kata Indo-Eropa Priya, yang artinya “yang
dikasihi”. Freedom memiliki akar yang sama dengan friend, kawan. Free
dulunya berarti seseorang yang bergabung dengan sebuah suku bangsa yang telah
bebas dari segala ikatan keluarga dan hak milik. Jadi, liberty lebih berarti “pemisahan”, “keterpisahan”, “kemandirian”,
sementara freedom mengandung arti “hubungan”.[11]
Kebebasan
yang mengacu pada kata freedom dan liberty tersebut telah dikukuhkan oleh seorang Filosof Politik, Isaiah Berlin, dalam bukunya, Two
Concept of Liberty (1958). Ia membedakan dua jenis
kebebasan yang ia sebut sebagai “kebebasan negatif” serta “kebebasan positif”. “Kebebasan
negatif” artinya keadaan
seseorang bebas dari melakukan sesuatu. Segala bentuk pengaturan dan pembatasan berupa suruhan, larangan ataupun
ajaran, dianggap berlawanan dengan kebebasan. Sedangkan kebebasan positif
adalah keadaan seseorang bebas untuk melakukan sesuatu, seseorang boleh
menentukan sendiri segala hal yang ia kerjakan. Kebebasan
yang bermakna inilah yang pada
umumnya dipahami di
Indonesia.
Jika demikian halnya, kebebasan berarti keadaan seseorang yang tidak mematuhi aturan dan berbuat sekehendaknya. Makna ini sesungguhnya ternyata memiliki keterkaitan dengan tiga latar belakang Barat sejak Dark Age.[12] Pertama, trauma sejarah, khususnya yang berhubungan dengan dominasi agama (Kristen) di zaman pertengahan (the medieval ages) atau zaman kegelapan (the dark ages). Kedua, problema teks Bibel yang berkaitan dengan otentisitas teks Bibel dan makna yang terkandung di dalamnya. Dan ketiga, problema teologis Kristen. Ketiga problemaitu berkait satu dengan yang lainnya, sehingga memunculkan sikap traumatis terhadap agama, yang pada ujungnya melahirkan sikap berpikir sekular-liberal dalam sejarah tradisi pemikiran Barat modern.
Kebebasan yang memiliki keterkaitan dengan ideologi sekular-liberal tersebut tidak aneh jika dikampanyekan agar keluar dari berbagai kekangan atau perbudakan Tuhan. Atas hal ini, orang yang terbebas dari kekangan dan perbudakan Tuhan sebagaimana yang mereka katakan, sebenarnya ia juga tidak bebas. Ia telah masuk kepada perbudakan kebebasan. Segala perbuatannya yang bebas dan kehidupannya yang tidak sudi diatur oleh Tuhan adalah bentuk keterbelengguan oleh kebebasan. Kampanye kebebasan ini tidak memberikan kebebasan hakiki, melainkan sebenarnya membawa “kekangan-kekangan” paham sekuler-liberal.
Seorang muslim mesti memahami kebebasan dalam arti “kebebasan memilih yang baik“ (ikhtiyār). Sebagaimana dijelaskan oleh Profesor Naquib al-Attas, sesuai dengan akar katanya, ikhtiar menghendaki pilihan yang tepat dan baik akibatnya (lihat: Prolegomena to the Metaphysics of Islam, hlm. 33-4). Oleh karena itu, orang yang memilih keburukan, kejahatan, dan kekafiran sesungguhnya telah menyalahgunakan kebebasannya. Sebab, pilihannya bukan sesuatu yang baik (khayr). Di sini kita dapat mengerti mengapa dalam dunia yang beradab, manusia tidak dibiarkan bebas untuk membunuh manusia lain.[13]
Setiap muslim mestinya merenungkan firman Allah: “Siapa yang mengerjakan kebaikan, maka ia telah berbuat baik untuk dirinya. Sebaliknya, siapa yang berbuat jahat, maka ia berlaku jahat kepada dirinya jua” (41: 46). Dengan demikian, kebebasan dalam Islam adalah bebas dari keburukan-keburukan hawa nafsu dan syaithan lalu diarahkan kepada ketaatan kepada Allah subhānahū wata’āla. Seseorang yang memahami bahwa sejatinya Tuhan telah memperbudak manusia, kemudian ia ingin bebas dari perbudakan (slavery) Tuhan tersebut, sejatinya ia telah terlepas dari ikatan kasih sayang Tuhan menuju ikatan hawa nafsu dan syaithan. Kebebasan dari Tuhan akan membawa kepada kebinasaan serta kehancuran. Ia telah memilih hidupnya untuk dihambakan kepada nafsu dan syaithan. Dua pilihan tersebut senantiasa ada di hadapan manusia. Mestinya kita mampu belajar dari falsafah kehidupan. Kehidupan yang senantiasa jujur selalu memberikan dua pilihan kepada manusia: baik-buruk, senang-sedih, bahagia-sengsara, laki-laki-perempuan, kanan-kiri, dan begitu pula bebas dari syaithan dan nafsu atau bebas dari Allah subhānahū wata’ālā. Maka pilihlah, bebas dari hawa nafsu dan syaithan (taat), atau bebas dari Allah subhānahū wata’āla (maksiat)!
Terimakasih telah mengunjungi https://rukyatulislam.blogspot.com/
[1] ‘Abdul Mun’im.
al-Mu’jamu ‘sy-syāmil limushthalahāti ‘lfalsafah (Kairo:
Maktabah Madbuli, 2000) hlm. 713
[2] Kamīl al-Hajj. al-Mausū’atu ‘l-Muyassarah fī ‘l-Fikri
‘l-Falsafī wa ‘l-Ijtimā’ī, ‘arabī - injlīzī (Beirut:
Maktabah Lubnān, 2000) hlm.
202
[3] Hamid Fahmy
Zarkasyi, Liberalisasi Islam (Ponorogo: CIOS, 2008) hlm. 24
[4] Simon
Blackburn, Oxford Dictionary of philosophy (Oxford : Oxford University
Press, 1996)
[5] Coady, C. A.
J. Distributive Justice, A Companion to Contemporary Political
Philosophy, editors Goodin, Robert E. and Pettit, Philip. (Blackwell
Publishing, 1995) hlm. 440
[6] Alan Brinkley.
Liberalism and Its Discontents. (Harvard University Press, 1998)
[7] History of God, (1993) hlm. 378
[8] Ia menyatakan
bahwa: “Political progressivism,
confidence in reason, science and democracy, and a reconstructed Christian
faith. The key to their reconstruction was the ‘ socio - historical method.
Sceptical in varying degrees about abstract speculation, these theologians
interpreted Christianity as a socio historical movement the beliefs of which
were to be understood and evaluated pragmatically.” Alister
E. McGrath, The Blackwell Encyclopedia of Modern Christian Thought,
(Oxford: Blackwell, 1993), hlm. 327
[9] Francis
Fukuyama, The End of History and The Last Man, (New York: Avon Book,
1992) hlm. 64
[10] Kegiatan yang
dilakukan di Kampus Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor pada tanggal 2-3 Agustus 2019
[11] Muhamad Ali,
dkk. Merayakan Kebebasan Beragama, Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi.
Editor Elza Peldi Taher, Anich HT (Jakarta: Indonesia Conference on
Relifion and Peace bekerja sama dengan Kompas, 2009) hlm. 332
[12] Adian Husaini, Mengapa
Barat menjai Sekuler-Liberal, (Ponorogo: Center For Islamic and Occidental
Studies/CIOS, 2015), hlm. 3
[13] Syamsyudin Arif,
Tiga Makna Kebebasan, dalam kumpulan jurnal, Islam VS
Liberlisme, (Menjawab Gugatan terhadap UU Penodaan Agama, UU No.
1/PNPS/1965) hlm. 57
Social Plugin