oleh : Cep Gilang Fikri Ash-shufi
Wacana merupakan sesuatu yang inheren dari informasi yang disebarkan lewat Media. Media tersebut pada dasarnya bertujuan untuk mengangkat berbagai informasi yang sesuai dengan kenyataannya. Hanya saja, pertanyaan tentang “apakah yang dituju oleh media/penulis dalam mengeluarkan informasi terebut adalah mengangkat realita atau mengangkat tujuan politis tersendiri” menjadi hal yang patut diwacanakan. Karena tidak semua tujuan dari media dalam memberikan informasi adalah mengangkat realita yang sebenarnya. Dengan kata lain, arah dan tujuan dari wacana yang dibangun oleh media tidak selamanya objektif, melainkan banyak juga yang subjektif. Untuk itu, perlulah kita bisa bersikap kritis terhadap berbagai informasi yang disebarkan oleh media tersebut.
Adanya berbagai istilah “peyoratif” yang tersebar di Masyarakat Indonesia, seperti “intoleran”, “radikalisme” dan “fundamentalisme” merupakan produk dari wacana yang diserbarkan lewat berbagai Media Informasi. Setiap Orang yang mengikuti wacana tersebut pada dasarnya ditentukan oleh beberapa hal, di antaranya; ia memiliki ideologi yang sama dengan media yang membangun wacana tersebut, atau juga karena ia tidak memiliki sikap kritis dalam menyikapi berbagai informasi yang ada. Dalam mekanismenya, Istilah-istilah tersebut pada umumnya didasarkan pada fakta, dan hasil survei. Sayangnya fakta-fakta yang disajikan senantiasa dipolitisasi, atau data-data yang diambil merupakan sebagian dari keseluruhannya. Hanya data-data yang mendukung maksud penulis saja yang diambil, kemudian apa yang diproposisikan berbeda dengan sesuatu yang terjadi.
Hal semacam ini ditemukan misalnya dalam kasus Ustadz Abdul Somad. Beliau seorang Ulama Ahlus-Sunnah wal-Jamā’ah yang senantiasa memberikan ceramah Islami dan bimbingan ke kepada Kaum Muslimin. Tidak lama setelah tanggal 17 agustus 2019, berbagai label yang tidak baik disematkan kepadanya. Seorang Mahasiswa, Ogi Mansyah, dalam rmolbengkulu.com, ia mengatakan[1];
“patut disayangkan, di tengah semarak perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, Masyarakat Indonesia dihebohkan oleh penggalan video yang berisi ceramah Ustadz Abdul Somad yang mengolok-olok Salib dan sosok Yesus yang tergantung di Salib tersebut. Ceramah yang berisi olok-olok itu seperti sebuah antithesis dari peristiwa bersejarah 74 tahun silam ketika semua golongan menyatu untuk kemerdekaan karena isi ceramah itu justru berpotensi memcah belah rasa persatuan bangsa”.
Laporan tersebut kemudian dituliskan dalam sebuah berita yang yang diberi judul Ustadz Abdul Somad Keblinger dan Intoleran. Dengan begitu, lengkaplah citra buruk dari media terhadapnya.
Dari pernyataan di atas, setidaknya ada beberapa hal yang patut digaris bawahi. Pertama, pernyataan “Masyarakat Indonesia dihebohkan oleh penggalan video”. Kedua, “Ustadz Abdul Somad mengolok-olok Salib dan sosok Yesus”. Ketiga, “pernyataan tersebut seperti sebuah antithesis (perlawanan) dari peristiwa bersejarah 74 tahun silam (kemerdekaan RI)”. Tiga pernyataan tersebut jika disikapi dengan sikap kritis akan melahirkan sebuah kesimpulan bahwa informasi tersebut merupakan representasi yang telah melampaui realita, atau dengan ungkapan porposisi interogatif, “benarkah UAS pada kenyataannya seperti yang diinformasikan seorang aktivis PMKRI tersebut?”
Pertama, frasa “Masyarakat Indonesia” secara umum merupakan frasa Endosentris karena terdapat unsur inti, yaitu kalimat “Masyarakat”. Sedangkan dilihat dari distribusinya, frasa ini termasuk kepada kategori frasa Atributif. Di mana kata “Masyarakat” sebagai unsur inti, dan kata “Indonesia” sebagai unsur pewatas. Maka Frase tersebut menunjuk maknanya secara umum, yaitu seluruh masyarakat di Indonesia. Berbeda halnya jika dibubuhi artikel nomina, seperti “beberapa”, “sebagian”, “separuh”, maka maknanya berubah dan tidak lagi bermakna semua Masyarakat Indonesia. Dengan begitu, ada satu hal yang patut dipertanyakan, yaitu “apakah semua masyarakat Indonesia dihebohkan oleh penggalan video….?”. Tentu pada kenyatannya tidak. Menjadi sesuatu yang melebihi realita jika dikatakan “Masyarakat Indonesia”. Seharusnya, proposisi yang bisa ditawarkan adalah “Kaum Nasrani diihebohkan dengan…” atau “Sebagian Masyarakat Indonesia dihebohkan”. Dengan demikian, penggalan kalimat “Masyarakat Indonesia” tidak merpresentasikan keadaan sebenarnya.
Kedua, “…berisi ceramah UAS yang mengolok-olok Salib dan sosok Yesus”. Mengolok-olok atau menjelek-jelekkan Agama lain pada dasarnya berangkat dari Ekslusifisme setiap ajaran Agama. Setiap Agama memiliki ajaran bahwa kebenaran hanya ada pada agama tersebut, tidak ada di agama yang lainnya. Menurut ajaran Islam, kebenaran hanya ada pada Agama Islam. begitu juga menurut Agama Kristen, Budha dan lain sebagainya. Walaupun ada doktrin pluralisme Agama, yang mengatakan bahwa kebenaran ada pada semua Agama, maka hal itu berbeda dari ajaran dasar setiap Agama. Pluralisme agama lahir sebagai sintesis dari klaim kebenaran antar umat beragama yang berbeda-beda. Selain itu, pluralisme agama mencoba mengompromikan Agama-Agama dengan ikut campur terhadap keyakinan Agama-Agama tersebut. Alih-alih merukunkan hubungan sosial antar Umat beragama, namun ternyata pada kenyataannya paham ini masuk dan merubah ajaran Ekslusifisme yang menimbulkan ketegangan baru di dalam tubuh Umat beragama. Ketegangan itu terjadi antara Penganut Agama dengan pangusung gagasan pluralisme yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Untuk merukunkan Umat beragama cukup dengan merukunkan kehidupan sosial, dengan menghargai ajaran Ekslusifisme sebagai suatu kemestian dari setiap Agama, tanpa mengkompromikan keyakinan dari setiap Agama. Dengan demikian, suatu hal yang wajar jika Seorang Muslim mengatakan bahwa Agamanyalah yang benar, selain Agama Islam adalah sesat. Demikian pula seseorang yang beragama Kristen, Hindu, Budha dan yang lainnya akan mengatakan hal yang sama.
Dalam Undang-Undang Indonesia, penistaan agama terjadi jika ajaran Eksklusifisme disampaikan di muka umum. Yaitu, ajaran eklusifisme agama tertentu disampaikan bukan hanya kepada penganut ajaran tersebut, melaikan juga kepada penganut ajaran agama lainnya. Ceramah UAS tersebut disampaikan di tengah komunitas masyarakat muslim, di dalam masjid, dan di tempat tertutup. Jika Ceramah beliau dipermasalahkan, maka ceramah Pendeta-pendeta di Gerejanya, Biksu-biksu di Viharanya, serta Pemuka-pemuka Agama lainnya yang menyerukan Agama mereka di tengah komunitasnya masing-masing mesti juga dipermasalahkan. Dengan demikian, ceramah UAS tersebut tidak terkategori penistaan atau mengolok-olok ajaran Kristen.
Ketiga, “pernyataan tersebut seperti sebuah antithesis (perlawanan) dari peristiwa bersejarah 74 tahun silam (kemerdekaan RI)”. Pernyataan ini dihadirkan sebagai usaha Diferensiasi-Indeferensiasi. Kedua istilah tersebut merupakan strategi wacana bagaimana suatu kelompok disudutkan dengan menghadirkan kelompok atau wacana lain yang dipandang lebih dominan atau lebih bagus.[2] Dalam pernyataan Ogi tersebut, wacana ceramah UAS yang mengolok-olok Kristen disudutkan dan direndahkan dengan wacana lain yang lebih dominan yaitu wacana persatuan dalam kemerekaan 1945. Namun, sebetulnya kedua wacana tersebut tidak bisa dibandingkan, mengingat adanya perbedaan antara dua wacana tersebut, di mana ceramah UAS tidak terkategori penistaan agama atau pemicu perpecahan persatuan. Dengan kata lain, pernyataan kedua yang merupakan hyperrealita dikuatkan dengan pernyataan ke tiga yang hyperrealita pula, maka hasilnya adalah hyper-hyperrealita.
Ketiga wacana tersebut ditampilkan secara terus menerus dalam dunia informasi Masyarakat Indonesia. Sehingga secara tidak sadar, mereka yang tidak memiliki sikap kritis terhadap informasi yang ada akan hanyut terbawa arus wacana. Wacana di atas merupakan satu kasus dari sekian banyak kasus wacana yang ada di Indonesia. Issu-issu intoleran, pengarus utamaan gender, semuanya adalah untuk menciptakan kesepahaman (signified) dengan “kampanye” media secara besar-besaran. Semua yang diwacanakan tersebut hanya sekedar “make sense”. Dengan demikian, setiap orang mesti memahami sikap kritis dalam menyikapi berbagai informasi yang ada, jangan sampai termakan oleh wacana yang tidak sesuai dengan realita.
Terimakasih telah mengunjungi https://rukyatulislam.blogspot.com/
Terimakasih telah mengunjungi https://rukyatulislam.blogspot.com/
[1] http://www.rmolbengkulu.com/read/2019/08/18/18665/PMKRI:-Ustad-Abdul-Somad-Keblinger-Dan-Intoleran- diakses pada 27 agustus 2019.
[2] Eriyanto, 2003: 179

Social Plugin