Mengenal Era Postmodern, Doktrin utama dan Karakternya
Pengosongan nilai-nilai kebenaran dari segala sesuatu ini merupakan manifestasi dari pemikiran tokoh-tokohnya di Barat. Nietzsche, pengarang buku Thus Spoke Zarathustra, adalah salah satu tokoh yang menggagas pemikiran Postmo. Doktrin nihilisme yang menyertai zaman ini berasal dari pikirannya. Ujaran yang paling terkenal dari Nietzsche di antaranya adalah “Tuhan telah mati”. Secara logis tidak mungkin Tuhan bisa mati, oleh karena itu yang ia maksud adalah menggiring manusia untuk mematikan Tuhan dari pikiran mereka, diganti dengan konsep manusia super (Ubermensch). Namun, manusia super dalam pandangannya adalah seorang manusia yang bebas mengatur hidupnya tanpa ada otoritas Tuhan yang ditaati.
Karena Tuhan telah mati dari pikiran manusia, maka tidak ada kebenaran mutlak, tidak ada nilai-nilai yang pasti, tidak ada aturan yang mengatur manusia, dan segala sesuatu bebas dilakukan, inilah yang dimaksud dengan nihilisme. Tokoh-tokoh lain dalam fase Postmo selain Nietszche adalah Wittgenstein, Foucault, Jean Paul Sartre, dan yang lainnya.
Selain doktrin nihilisme, Postmo juga memiliki permasalahan lain, yaitu karakternya yang anti otoritas. Maksudnya, mengingkari otoritas, ketertataan, atau kekokohan yang ada. Misalnya, dalam Islam terdapat otoritas Tuhan, otoritas nabi, otoritas para ulama dan lain sebagainya sesuai yang disyariatkan agama. Tuhan yang memiliki otoritas Mahatinggi, bagi seorang penganut nilhilisme akan ditentang. Berbagai aturannya ditolak, dan dibuatlah aturan sendiri, sebagaimana konsep manusia supernya Nietzsche.
Bagaimana dengan otoritas nabi? Hal ini juga termasuk yang dilibas oleh para nihilis, karena sejatinya mereka mengklaim otoritasnya sendiri dan bertabrakan dengan otoritas sesungguhnya.
Lalu, bagaimana dengan para ulama? Hal yang paling krusial adalah dalam urusan ini. Orang-orang Islam yang terpengaruh dengan pemikiran Barat akan tidak percaya terhadap otoritas para ulama. Mereka mempertanyakan kembali otoritas para ulama yang selama ini telah diakui secara kokoh, seperti halnya dilakukan oleh para Feminis yang menentang Ulama Mufassirin, seperti Ibnu Katsir, Ibnu Jarir al-Thabari dan lain sebagainya.
Penafsiran para ulama yang telah secara kokoh terjaga dengan tradisi ilmu yang kokoh pula (‘Ulum al-Qur’an) dipertanyakan kembali, dan pada akhirnya dibuatlah penafsiran-penafsiran yang berbeda dan berlainan. Itulah mengapa kita jumpai kesimpulan-kesimpulan baru yang nyeleneh dalam agama. Dengan mengatasnamakan pembaruan dan keterbukaan pemikiran, syariat berkerudung dilanggar dengan menyatakan bahwa berkerudung tidak wajib, atau berjilbab tidak wajib. Untuk sampai pada kesimpulan tersebut, penafsiran para ulama didekonstruksi terlebih dahulu, ini adalah salah satu contoh anti otoritas.
Contoh lain misalnya, dalam hukum memakan babi, muncul tafsiran serampangan yang menyebutkan bahwa haramnya babi yang dimaksud adalah babi hutan, selain itu, babi ternak halal. Hal yang sama juga dilakukan pada penyimpulan bolehnya nikah beda agama, hukum waris yang sama rata, perempuan menjadi pemimpin rumah tangga, perempan menjadi imam shalat bagi laki-laki, perempuan menjadi khatib Jumat, dan lain sebagainya. Otoritas para ulama, otoritas agama, otoritas nabi dan otoritas ketuhanan adalah hal yang menghalangi kebebasan para nihilis, dan dengan demikian mereka melanggarnya.
Padahal, sudah jelas bahwa otoritas dalam Islam adalah hal yang penting. Tanpa ini, tidak akan ada yang bisa diikuti. Banyak sekali dalil-dalil secara normatif yang memerintahkan hal ini. Seperti perintah untuk menaati Allah, Rasul-Nya dan ulil amri. Selain itu, secara dalil ‘aqli pun, jika otoritas dihilangkan, manusia akan berjalan menuju kehampaan. Tidak ada tujuan, tidak ada kejelasan, dan tidak ada sesuatu yang diikuti. Hal ini disinggung oleh tokoh Barat sendiri, Jame Sire, dalam bukunya Naming the Elephant. Ia mengilustrasikan kehidupan nilihis seperti kereta yang masuk ke terowongan dan tidak keluar dari terowongan tersebut melainkan kereta tersebut memasuki kepada kegelapan yang hampa, tidak jelas, dan tidak berarti. Apakah itu tujuan hidup manusia? Terima kasih.
Di era yang serba
diliputi dengan ketidakjelasan, manusia dihadapkan kepada tantangan yang begitu
besar. Jika merujuk kepada fase perkembangan pemikiran di Barat, era ini
disebut dengan era Postmodern (Era setelah zaman modern). Era ini ditandai
dengan doktrin yang sangat kuat, yaitu nihilisme, yang bermakna mengosongkan
nilai-nilai dari segala sesuatu.
Sebagai contoh, terdapat ujaran seorang pemilik
restoran yang sukses dengan mendagangkan daging babi, lalu ia berujar, “untuk menjadi kaya tidak harus
memperhatikan yang halal-halal”. Ia sudah tidak lagi memandang ada nilai dibalik
sesuatu yang ada di dunia ini. Seorang Muslim, akan melihat daging, misalnya,
tidak hanya sekadar fisiknya saja, melainkan memperhatikan sifat dan dzatnya.
Apakah daging tersebut diperoleh dengan cara yang benar? Apakah daging itu
secara zat merupakan yang dihalalkan? Secara umum, dapat dikatakan bahwa era Postmodern
adalah era yang menggiring manusia untuk meniadakan nilai kebenaran, ketuhanan,
keyakinan agama dalam segala hal.
Pengosongan nilai-nilai kebenaran dari segala sesuatu ini merupakan manifestasi dari pemikiran tokoh-tokohnya di Barat. Nietzsche, pengarang buku Thus Spoke Zarathustra, adalah salah satu tokoh yang menggagas pemikiran Postmo. Doktrin nihilisme yang menyertai zaman ini berasal dari pikirannya. Ujaran yang paling terkenal dari Nietzsche di antaranya adalah “Tuhan telah mati”. Secara logis tidak mungkin Tuhan bisa mati, oleh karena itu yang ia maksud adalah menggiring manusia untuk mematikan Tuhan dari pikiran mereka, diganti dengan konsep manusia super (Ubermensch). Namun, manusia super dalam pandangannya adalah seorang manusia yang bebas mengatur hidupnya tanpa ada otoritas Tuhan yang ditaati.
Karena Tuhan telah mati dari pikiran manusia, maka tidak ada kebenaran mutlak, tidak ada nilai-nilai yang pasti, tidak ada aturan yang mengatur manusia, dan segala sesuatu bebas dilakukan, inilah yang dimaksud dengan nihilisme. Tokoh-tokoh lain dalam fase Postmo selain Nietszche adalah Wittgenstein, Foucault, Jean Paul Sartre, dan yang lainnya.
Selain doktrin nihilisme, Postmo juga memiliki permasalahan lain, yaitu karakternya yang anti otoritas. Maksudnya, mengingkari otoritas, ketertataan, atau kekokohan yang ada. Misalnya, dalam Islam terdapat otoritas Tuhan, otoritas nabi, otoritas para ulama dan lain sebagainya sesuai yang disyariatkan agama. Tuhan yang memiliki otoritas Mahatinggi, bagi seorang penganut nilhilisme akan ditentang. Berbagai aturannya ditolak, dan dibuatlah aturan sendiri, sebagaimana konsep manusia supernya Nietzsche.
Bagaimana dengan otoritas nabi? Hal ini juga termasuk yang dilibas oleh para nihilis, karena sejatinya mereka mengklaim otoritasnya sendiri dan bertabrakan dengan otoritas sesungguhnya.
Lalu, bagaimana dengan para ulama? Hal yang paling krusial adalah dalam urusan ini. Orang-orang Islam yang terpengaruh dengan pemikiran Barat akan tidak percaya terhadap otoritas para ulama. Mereka mempertanyakan kembali otoritas para ulama yang selama ini telah diakui secara kokoh, seperti halnya dilakukan oleh para Feminis yang menentang Ulama Mufassirin, seperti Ibnu Katsir, Ibnu Jarir al-Thabari dan lain sebagainya.
Penafsiran para ulama yang telah secara kokoh terjaga dengan tradisi ilmu yang kokoh pula (‘Ulum al-Qur’an) dipertanyakan kembali, dan pada akhirnya dibuatlah penafsiran-penafsiran yang berbeda dan berlainan. Itulah mengapa kita jumpai kesimpulan-kesimpulan baru yang nyeleneh dalam agama. Dengan mengatasnamakan pembaruan dan keterbukaan pemikiran, syariat berkerudung dilanggar dengan menyatakan bahwa berkerudung tidak wajib, atau berjilbab tidak wajib. Untuk sampai pada kesimpulan tersebut, penafsiran para ulama didekonstruksi terlebih dahulu, ini adalah salah satu contoh anti otoritas.
Contoh lain misalnya, dalam hukum memakan babi, muncul tafsiran serampangan yang menyebutkan bahwa haramnya babi yang dimaksud adalah babi hutan, selain itu, babi ternak halal. Hal yang sama juga dilakukan pada penyimpulan bolehnya nikah beda agama, hukum waris yang sama rata, perempuan menjadi pemimpin rumah tangga, perempan menjadi imam shalat bagi laki-laki, perempuan menjadi khatib Jumat, dan lain sebagainya. Otoritas para ulama, otoritas agama, otoritas nabi dan otoritas ketuhanan adalah hal yang menghalangi kebebasan para nihilis, dan dengan demikian mereka melanggarnya.
Padahal, sudah jelas bahwa otoritas dalam Islam adalah hal yang penting. Tanpa ini, tidak akan ada yang bisa diikuti. Banyak sekali dalil-dalil secara normatif yang memerintahkan hal ini. Seperti perintah untuk menaati Allah, Rasul-Nya dan ulil amri. Selain itu, secara dalil ‘aqli pun, jika otoritas dihilangkan, manusia akan berjalan menuju kehampaan. Tidak ada tujuan, tidak ada kejelasan, dan tidak ada sesuatu yang diikuti. Hal ini disinggung oleh tokoh Barat sendiri, Jame Sire, dalam bukunya Naming the Elephant. Ia mengilustrasikan kehidupan nilihis seperti kereta yang masuk ke terowongan dan tidak keluar dari terowongan tersebut melainkan kereta tersebut memasuki kepada kegelapan yang hampa, tidak jelas, dan tidak berarti. Apakah itu tujuan hidup manusia? Terima kasih.

Social Plugin